Monday, December 22, 2014

Supernova : Turbulensi Film-Novel

'Titik bifurkasi (bifurcation point) atau yang biasanya disebut "Titik percabangan dua" adalah fenomena dimana sebuah sistem terbagi kedalam dua kemungkinan perilaku (behavior) akibat perubahan kecil  pada satu parameter. Perubahan lebih lanjut akan mengakibatkan percabangan dua dalam interval regular, sampai pada akhirnya masuk ke kondisi Chaos*. Rangkaian dari instabilitas melalui peningjatan kompleksitas, menjadiakan chaos merupakan fenomena dari suatu sistem kompleks.' Demikian pendahuluan yang layak dari saya atas film Supernova ini. Bifurkasi menjadi kata yang paling asing ketika menyaksikan film ini.

Film ini saya tonton tanpa ada pengetahuan sedikit pun akan jalan ceritanya. Satu-satunya informasi yang saya pegang adalah film ini diangkat dari novel karya Dewi 'Dee' Lestari yang disebut-sebut sangat 'canggih', karena bisa mengangkat sebuah tema yang berat dalam jalinan kisah cinta yang melibatkan sains. Bingung? Sama.

Satu pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran saya adalah, ketika menyaksikan sebuah video klip lagu, bisa dibuat dengan begitu hebat. Baik dari segi narasi cerita, animasi yang imajinatif, dan visualisasi yang cantik. Sesuatu yang boleh dibilang hampir tidak pernah ditemukan dalam versi film full. Dalam 15 menit pertama, terus terang saya langsung suka dengan film ini, karena apa yang menjadi pertanyaan dan bayangan saya bisa diwujudkan di sini. Sebuah film dengan olah rasa video klip.

Memang, karena ketidaktahuan saya tentang novel yang memang belum saya baca. Sedari awal duduk, saya lansung dijejali berbagai susunan kalimat, kata, dan istilah yang membuat kening berkerut, hingga berpikir, "Sudahlah, tak usah dipikirkan, nikmati saja filmnya". Pada titik ini juga saya langsung merasa tidak perlu lagi baca novelnya, karena hanya dengan kalimat-kalimat yang sepertinya dikutip dari buku saja, sudah susah mencerna filmnya, apalagi harus membaca novelnya secara keseluruhan.

Bisa jadi, kalimat kalimat puitis dan indah yang dibalut istilah sains itu memang memiliki makna terdalam yang membantu memahami maksud cerita ini. Sayangnya, para pemain, khususnya tokoh Ferre/Re, membuat seolah gelontoran kalimat itu sesuatu yang ringan saja. Ringan, jika berarti memudahkan pemahanan, tentu baik. Tapi, jika ringan berarti tidak penting? Ya, jadi malah terabaikan. Begitulah para tokoh terutama Re memperlakukannya. Kata-kata yang mengalir snagat cepat beradu satu sama lain malah mengaburkan setiap katanya.

Tampilan futuristik dari media obrolan Supernova awalnya adalah sesuatu yang 'keren' di film ini. Sayangnya, ketika 'petuah' Supernova dituangkan bulat-bulat dalam bentuk tulisan memenuhi layar, apalagi yang bisa dinikmati? Membacanya saja belum tuntas, sudah harus berkonsentrasi pada adegan berikutnya, sementara otak masih memroses apa maksud dari tulisan tersebut.

Siapa atau apakah Supernova itu? Saya seperti tidak ikhlas kalo jawabnya adalah 'Diva'. Ya, dia bisa jadi siapapun tokoh yang penting di fiilm ini. Tapi Diva? Di mana keterlibatannya yang katanya menghubungkan begitu banyak orang dalam jalinan kisah ini? Beberapa chat-nya tidak menggambarkan seperti itu. Lalu, sosok Diva sebagai model sekaligus pelacur papan atas jelas tidak memberikan keterlibatan apa pun dalam cerita ini. Sepertinya, biarkan sajalah Supernova menjadi misterius.

Secara keseluruhan. film ini memenuhi banyak harapan akan visualisasi sinematik yang indah, animatif, imajinatif, dan futuristik. Hanya saja, menyajikan bentuk novel secara bulat, dialog puitis dalam bahasa keseharian, mungkin akan sangat asing bagi sebagian kita. Tidak nyata, bahkan. Anda pernah menyaksikan film Coriolanus (2011)? Film ini berpotensi seperti itu dalam kerumitan pemahaman diksinya. Pun begitu, film ini layak tonton, terutama sebagai penyadaran, bahwa Indonesia ada seorang penulis dengan konsep yang luar biasa seperti ini, dan usahanya untuk menampilkan bahasa tulis ke dalam media visual seperti film.

'Jika Anda masih melihat dunia dengan hitam dan putih, bersiaplah mengalami turbulensi'

Saturday, December 20, 2014

Pendekar Tongkat Emas : (belum) Sebuah Karya Emas

Setelah lama hilang, akhirnya di penghujung tahun 2014 ini ada sebuah film Indonesia yang mengangkat tema silat klasik. Sebuah waktu yang tepat untuk melepas kerinduan dengan kejayaan masa lalu.

Pendekar Tongkat Emas berkisah tentang Cempaka (Christine Hakim), seorang mahaguru ilmu tongkat dari peguruan tongkat emas yang hendak mewariskan perguruan dan ilmu terakhirnya kepada salah satu dari empat murid terbaiknya, Biru ( Reza Rahardian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia), dan Angin (Aria Kusumah). Biru dan Gerhana adalah anak dari musuh-musuh Cempaka di masa lalu yang telah tewas terbunuh dan dirawat layaknya anak kandungnya sendiri. Dengan kemampuan silat paling tinggi di antara saudara yang lain, Biru merasa paling berhak menerima warisan Tongkat Emas dan ilmu pamungkasnya, Tongkat Emas Melingkar Bumi. Sayang, hanya kekecewaan dan kemarahan yang diperolehnya ketika Guru Cempaka lebih memilih Dara sebagai penerus.

Dalam perjalanan pengasingan guna berlatih secara rahasia, Cempaka, Dara, dan Angin dihadang oleh Biru dan Gerhana, setelah beberapa malam sebelumnya mereka meracuni guru mereka tersebut. Pertarungan tidak seimbang pada akhirnya membuat Cempaka tewas, sementara Dara dan Angin terjatuh ke bawah jurang. Di saat itulah sesosok bayangan menyambut dan menyelamatkan mereka berdua.

Biru dan Gerhana, diterima menjadi murid utama perguruan Sayap Merah dan mengumumkan kematian guru Cempaka, sembari menuduh Dara dan Angin sebagai pembunuhnya. Tidak butuh waktu lama bagi mereka sampai menarik simpati guru Sayap Merah dan menggantikannya, juga dengan meracuni terlebih dahulu. Maka, Biru pun menjadi guru dan melebarkan sayap perguruannya, menantang perguruan silat lain, mengancam kedatuan persilatan, dan meresahkan masyarakat.

Dara, beserta Angin, ditolong oleh pemuda misterius bernama Elang (Nicholas Saputra), sosok yang kemudian memberi jalan bagi mereka untuk mencari Naga Putih, pewaris lain ilmu pamungkas Tongkat Emas. Bersamanya, Dara berlatih dan berjuang menuntut balas atas kematian Guru Cempaka, sekaligus mengakhiri kekacauan yang dibuat oleh Biru dan Gerhana.

***

Pada media sosial, sudah banyak viral akan film ini, dan sambutannya sangat positif dengan puja-puji di sana sini. Semakin memotivasi untuk segera menyaksikan film ini. Belum lagi jajaran pemainnya yang tidak main-main. Sayang, saya harus tidak sepakat dengan banyak pengguna media sosial tersebut.

Cerita yang dibawakan dalam film ini tentu sangat klasik. tidak ada yang baru, karena memang begitulah cerita cerita silat adanya. Yang mengagumkan dari film ini adalah bagaimana properti dan make up mencoba untuk tampil sealamiah mungkin, menyesuaikan dengan jamannya. Belum lagi panorama alam yang disajikan, membuat bagian film ini lebih cocok untuk National Geographic alih-alih film silat.

Sayangnya, ada beberapa celah yang mengganggu buat saya.

Pertama. Seperti komentar teman, kehadiran Eva Celia membuat film ini menjadi bias. Apakah ini film anak-anak? Atau kisahnya seorang anak lalu menjadi dewasa? Tidak ada perubahan tampilan pada dirinya jika bercerita film ini merupakan cerita beberapa tahun perjalanan hidup.

Kedua. Koreografi pertarungannya bagus, hanya saja sepertinya tidak punya cukup persediaan. Karena, gerakan jurus yang hampir sama terlihat berulang-ulang. Atau mungkin memang ilmu silat yang mereka kuasai terbatas tetapi sangat hebat?

Ketiga. Apa urusannya penduduk sampai mengungsi, mengingatkan pada film Exodus yang juga sedang tayang saat ini. Mereka ini adalah perguruan silat, bukan bangsa penjajah. Atau perguruan juga bisa menjajah? Lalu di mana peran pemerintah? (Lho?!)

Keempat. Dialog dan emosi yang tampil dalam film ini terkesan datar. Walau Reza mencoba terlihat bengis dan licik, sementara Nico tetap cool layaknya Rangga AADC, tidak ada keterlibatan emosi dari penonton. Percintaan Biru dan Gerhana pun seolah ada dan tiada. Romantisme Elang dan Dara pun muncul malu-malu.

Kelima. Berapa lama waktu yang dibutuhkan Dara untuk berlatih dan menguasai jurus pamungkas tongkat emas? Rasanya sebentar saja. Bisa jadi Anda sedang menembus ruang waktu bersama Interstellar, karena nyatanya Gerhana sudah memiliki anak! Bukan sekedar bayi, tapi anak berusia 5-6 tahun.

Keenam. Cempaka berpesan bahwa Tongkat Emas jangan sampai jatuh ke tangan orang yang salah. Sehebat apakah senjata ini? Bagi anda yang tau, silakan beri tahu saya. Karena sampai saat ini saya tidak tahu kehebatan apa pun dari tongkat ini, kecuali mungkin tongkat ini terbuat dari emas dan bernilai tinggi jika dijual.

Ketujuh. Adegan pertarungan terakhir memang menjadi sajian utama film ini. Yang bagus, tetapi sayangnya, terlalu panjang. Ya, dengan durasi pertarungan yang lama, dimulai dari muka perguruan Sayap Merah hingga tiba-tiba mereka melompat ke rumah perguruan tongkat emas (mungkin hanya bersebelahan pagar), sementara adegan adu jurusnya tidak terlalu istimewa dan beragam.

***

Melihat bagaimana para pemain melakukan aksi bertarung, harus diakui film ini memang luar biasa. Terlihat kesungguhan aktor dan aktris yang memaksakan beradegan silat tersebut. Sebagai sebuah usaha juga mengangkat kembali genre silat klasik. memang seharusnya film-film seperti ini diperbanyak, dengan aktor dan aktris lain. Mana tahu, akan lahir Adven Bangun dan Barry Prima generasi baru. Film yang tepat untuk mengisi waktu luang anda. Ya, hanya gunakan waktu anda yang sangat luang, dan terimalah persembahan terbaik anak negeri.

Thursday, December 11, 2014

Exodus : Gods and Kings

Salah satu film besar di penghujung tahun 2014 akhirnya keluar. Film bertema religius dengan tokoh yang tidak kalah populer setelah 'Noah' beberapa waktu lalu.

Dikisahkan, Moses (Christian Bale) adalah anak angkat dari Seti I ( John Turturro), penguasa Mesir, dan bersaudara dengan Rameses II (Joel Edgerton). Dalam kesempatan perang melawan kaum Hitti, sebelum berangkat, diramalkan bahwa salah satu dari mereka akan menyelamatkan yang lain dan akan menjadi pemimpin. Terjadi dalam serbuan tersebut, Moses menyelamatkan Rameses dari tikaman salah seorang musuh. Seti pun berpendapat, seandainya Moses adalah benar anaknya, maka ia memang pantas untuk menjadi penerus.

Dalam sebuah misi ke Pithom, Moses mendapati di sana ada begitu banyak budak yang dianggap oleh sang gubernur mengancam keselamatan jiwanya, sehingga ia merasa perlu untuk menekan para budak tersebut. Mencoba berbicara secara langsung dengan para budak, Moses berhadapan dengan Nun (Ben Kingsley) yang mengatakan bahwa ia bukanlah seorang anak Mesir seperti yang ia anggap selama ini. Ia justru adalah orang yang diramalkan untuk membebaskan para budak, bangsa Hebrew. Dipenuhi tanda tanya dan kebimbangan, Moses pulang ke Memphis dan mendapati Seti I dalam kondisi sekarat, hingga akhirnya meninggal dunia.

Di tengah perseteruannya dengan Rameses yang dipengaruhi oleh sang ibu, Tuya (Sigourney Weaver), Moses akhirnya diasingkan seorang diri tanpa perbekalan. Niatan Rameses untuk membunuhnya sulit terwujud karena Moses tidak melakukan kesalahan yang fatal. Di tengah perjalanannya menembus gurun pasir, Moses akhirnya sampai di sebuah desa. Menikah dan menjadi penggembala. Hingga sembilan tahun kemudian. Dalam sebuah badai menerjang saat ia menggembalakan dombanya, Moses ditimpa reruntuhan batu bukit hingga terendam lumpur. Dalam kondisi sekarat, ia melihat pohon yang berapi-api dan kemunculan seorang bocah misterius. Bocah yang menyadarkannya akan diri dan tugasnya yang belum selesai. Misi yang membuatnya harus kembali ke Mesir, meninggalkan anak istrinya, menuju bangsanya yang tertindas.

Moses kembali ke Mesir dan mulai menghimpun bangsa Hebrew untuk bersatu dan membebaskan mereka dari penindasan. Sebuah tindakan yang dibalas Rameses dengan hukuman demi hukuman kepada bangsanya. Dianggap tidak cukup meyakinkan untuk menjalankan misinya, sang bocah misterius hadir kembali dan mengatakan akan hadirnya sepuluh wabah menerpa Mesir. Maka dimulailah, dari air sungai nil yang memerah darah, membunuh semua ikan yang ada di dalamnya, kemunculan jutaan kodok hingga masuk ke kota dan mati, hingga kematian hewan ternak dan gagal panen. Rameses, di tengah kekeraskepalaannya menerima permintaan Moses untuk mengalah, justru semakin beringas. Ancaman terakhir pun tiba, tak ada seorang anak pun, kecuali akhirnya mati pada malam tersebut, termasuk anak satu satunya dari Rameses. Akibat keputusasaannya, Rameses akhirnya mengijinkan Moses beserta para pengikutnya pergi meninggalkan Mesir.

***

Setelah Noah yang menggunakan penceritaan yang dianggap berbeda dari kebanyakan cerita cerita sebelumnya, kali ini Exodus mencoba menceritakan Moses sejak ia menjelma menjadi jenderal perang Mesir, sekaligus 'Pangeran Mesir'. Seolah ingin merasionalkan cerita yang ada, Exodus seperti akan menghindari kejadian dan tokoh metahuman yang muncul di film Noah. Cerita yang familiar bagi para penonton, setidaknya saya, dimulai dari akhirnya ia berjumpa (calon) istrinya di sumur umum, lalu menikah, hingga akhirnya mendapat tugas dari Tuhan.

Moses, atau biasa dikenal Musa, adalah seorang prajurit bahkan jenderal perang? Tidak pernah membayangkan hal tersebut sebelumnya. Apalagi ketika ia mengajarkan kepada para budak bagaimana menggunakan pedang, panah, berkuda, untuk beperang. Terlepas dari itu, karakter Moses yang diperankan Bale ini sepertinya tidak cukup kuat. Maaf, John Cusack di '2012' saja masih lebih menarik perhatian daripada Bale di sini, itu jika kita fokus pada wabah yang menerpa Mesir pada film ini. Pun begitu, keberadaan penyebaran wabah ini tergambar dengan cukup baik, kengerian dan kepedihan bisa terbangun dengan halus dari awal sampai akhir, meski tidak sampai pada puncak. Hal yang cukup janggal melihat seorang Moses tidak perlu bersusah payah menyembunyikan dirinya, padahal ia orang paling dicari di Mesir. Ia masih bisa hadir di penghukuman gantung, berkuda, bahkan melatih para budak. Bisa jadi, Rameses terlalu fokus pada penyelesaian wabah sehingga menyepelekan kehadirannya.

Efek khusus yang digunakan cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisi wabah yang menyerang, dan tentu saja yang paling ditunggu, laut terbelah. Khusus untuk laut terbelah, saya justru tidak berhasil mendapati kejadian ini, karena memang tidak digambarkan laut terbelah seperti yang ada dalam imaji. Saat bangun tidur, Moses dan pengikutnya sudah melihat Laut Merah surut dalam radius yang sangat luas. Sekali lagi menentang imaji saya, untuk sesuatu yang masuk akal, kita bicara rombongan yang jumlahnya ratusan ribu bahkan mungkin jutaan, bukan sekadar ratusan orang, sehingga visual laut yang terbelah layaknya terowongan tidak ada di sini. Tapi, saya gagal menangkap gemuruh keriuhan dan kengerian saat laut kembali menyatu. Yang ada hanya adegan tsunami besar, Cukup.

Dengan durasi 2.5 jam, sulit untuk mendapatkan sesuatu yang 'memorable' dari film ini. Dialognya datar, bahkan cenderung tanpa emosi. Aksi peperangannya pun seolah tak sungguh-sungguh. Tak ada cipratan darah, bagian tubuh yang terpotong, apalagi kepala terpenggal. Moses di sini memang lebih digambarkan sebagai pembebas. secara fisik. Membebaskan dari perbudakan, melalui perlawanan. Jika Moses, atau Musa, dianggap sebagai Nabi dalam artian spiritual, tidak ada dalam film ini. Nilai apa yang coba disampaikan oleh sineas? Mungkin anda bisa beritahu saya.

Wednesday, December 10, 2014

Big Hero 6 : Panda-robot-Avengers

Apa jadinya ketika Disney bertemu Marvel? Film Big Hero 6 ini bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Di kota San Fransokyo, Hiro Hamada, seorang remaja jenius tertarik dengan dunia robot menghabiskan waktunya dengan dunia pertarungan robot yang tidak jarang dicampur dengan taruhan, sesuatu yang ilegal tentu saja. Sang Kakak, Tadashi Hamada, merasa cemas bakat adiknya ini terbuang sia-sia. Maka Tadashi mengajak Hiro ke laboraorium kampusnya dan mengenalkan Hiro kepada teman-temannya, Wasabi, GoGo, Honey, dan Fred. Tadashi memamerkan penemuannya, sebuah robot pelayanan kesehatan bernama Baymax. Hiro, terutama selepas pertemuannya dengan Prof. Callaghan, termotivasi untuk melnajutkan kuliah di kampus tersebut. Namun, satu hal yang menjadi tantangan. Untuk bisa masuk mendaftar jadi mahasiswa di kampus tersebut, Hiro harus membuat penemuan yang bisa mengesankan Prof. Callaghan.

Didukung oleh Tadashi dan teman-temannya, Hiro akhirnya bisa menyelesaikan proyeknya dan mempresentasikan dengan baik di depan hadirin, termasuk Callaghan, dan ilmuwan-pebisnis, Alistair Krei, yang tertarik untuk membeli penemuan Hiro, sebuah mikrorobot yang bisa dikendalikan dengan pengendali syaraf hanya dengan menggunakan pikiran penggunanya. Hiro yang merasa tidak perlu menjual penemuannya dengan cepat menolak tawaran tersebut. Saat pulang dari kampus, mereka mendapati laboratorium mereka terbakar, dan Callaghan ada di dalamnya. Tadashi segera masuk menembus kobaran api. Sayang, gedung tersebut meledak, dan Tadashi beserta Callaghan dinyatakan meninggal.

Di tengah kesedihannya, suatu hari secara tidak sengaja Baymax muncul dari kotak penyimpanannya. Sebagai robot kesehatan, ia bisa memindai kondisi fisik dan psikis pasien. Ia menemukan bahwa sisa mikrorobot yang dimiliki Hiro bergerak seolah hendak ke suatu tempat. Baymax pun mengikuti mikrorobot tersebut. Hiro mengejar Baymax hingga mereka tiba di suatu gudang kosong, yang ternyata di dalamnya sebuah pabrik yang membuat begitu banyak mikrorobot. Tidak sampai di situ saja, Hiro dan Baymax dikejutkan dengan hadirnya seseorang dengan memakai Topeng Kabuki yang mampu mengendalikan mikrorobot tersebut dengan pikirannya dan mulai menyerang mereka. Apa hubungan orang ini dengan kecelakaan dan kematian Tadashi serta Callaghan di laboratorium kampus tersebut?

***

Setelah agak kecewa dengan Interstellar, Big Hero 6 bisa jadi akan sedikit menyembuhkan luka tersebut. Disney, setelah sukses dengan Frozennya, kembali mengibarkan diri sebagai spesialis film animasi kelas atas. Film ini tentu saja akan diharapkan sukses seperti film-film mereka sebelumnya.

Masih dengan formula film keluarga di mana kali ini tokohnya seorang anak remaja yang kehilangan kakak kandungnya dan tinggal bersama bibi mereka, Hiro, tokoh utamanya, mencoba memecahkan misteri siapakah penjahat yang bisa mengendalikan penemuannya, dengan bantuan teman-temannya. Tergambar dengan baik bagaimana hubungan persaudaraan keduanya, walau sepertinya masih bisa lebih intens lagi. Sementara hubungan persahabatan Hiro dengan keempat temannya berasa datar, tidak tergambar ikatan emosional yang kuat di antara mereka.

Baymax menjadi bintang dari film ini, dengan tampilannya yang memang dibuat lucu dan imut, seperti 'marsmallow berjalan', memang sulit membayangkan bahwa robot ini akan menjadi robot jagoan. Tapi, Kungfu Panda sudah menjawab bahwa hewan sebulat panda pun bisa menjadi jagoan. Dialog dan gerak geriknya cukup memberikan humor yang menggelitik di sepanjang film ini. Transformasi robot lucu menjadi robot jagoan berlangsung mulus dalam durasi 1,5 jam. Bahkan ketika ia harus bersikap 'kejam' akibat program pelayanan kesehatannya dicabut oleh Hiro.

Sayangnya, lagi-lagi, emosi yang muncul dalam film ini kurang ditampilkan secara maksimal. Penonton tidak cukup merasakan kehilangan Hiro akan Tadashi. Persahabatan yang timbul antara Hiro dan Baymax pun terkesan biasa-biasa saja. Apalagi dengan Wasabi, GoGo, Honey, dan Fred, empat orang yang kemudian menjadi 'sidekick'-nya. Inovasi alat-alat penemuan mereka menjadi alat bantu superhero pun jadinya seperti tiba-tiba. Seolah durasi yang tersedia tidak cukup untuk menuangkan keseluruhan film ini.

Big Hero 6, layaknya film Disney lainnya, mencoba menawarkan pesan nilai. Bermanfaat bagi orang lain, seperti tujuan Tadashi membuat Baymax, diterjemahkan lebih luas oleh Hiro. Ya, Baymax adalah sebuah robot pelayanan kesehatan. Tapi, Baymax juga robot superhero yang bersama Hiro dan rekan-rekan mencoba menolong sesama. Dan, seperti film lainnya yang merupakan awal dari sesuatu, film ini menyimpan potensi untuk dibuat sekuel. Tidak salah, karena sineas film ini akan punya kesempatan lebih besar untuk lebih memaksimalkan apa yang sudah ada pada film ini. So, welcome the new hero.

Interstellar : Gravitasi Melampau Waktu?


"Ketika bumi sudah tidak bisa lagi menopang kehidupan manusia, apakah manusia akan punah?'
Film yang bercerita tentang akhir kehidupan manusia dan dunia sudah cukup banyak. Baik karena peristiwa alam maupun serangan alien. Dan manusia, seperti biasa, selalu beradaptasi dan berjuang menyelamatkan spesiesnya.

Dikisahkan, dalam waktu yang tidak terlalu jauh di masa depan, kehidupan manusia terancam. Kesulitan pangan dan kelaparan mengancam karena rusaknya perkebunan dan gagal panen. Pemerintah (AS) lebih fokus pada penyelamatan manusia daripada bidang lain, bahkan seorang pilot sekaligus insinyur seperti Cooper (Matthew McCounaghey) harus kembali jadi petani, mengurus ladangnya, sedikit dari yang tersisa, hanya tinggal tanaman jagung yang dapat hidup, bersama bapak mertua dan kedua anaknya, lelaki dan perempuan. Anak perempuannya, Murph (Mackenzie Foy/Jessica Chastain), merasa ada sosok hantu di kamarnya yang selalu menjatuhkan buku-buku dari lemari. Sesuatu yang bagi Cooper 'tidak ilmiah'. Hingga pada suatu badai pasir menerjang, Cooper mendapati jatuhnya pasir membentuk sebuah pola biner yang berisi koordinat lokasi. Ketika Ia beserta Murph ke sana, diketahui bahwa ternyata itu adalah lokasi NASA.

NASA mengembangkan Proyek Lazarus secara rahasia karena tidak ingin menimbulkan protes dari masyarakat, bahwa uang negara dihabiskan banyak untuk proyek luar angkasa sementara masih banyak orang kelaparan. Proyek ini telah mengirim 12 orang ke luar angkasa menembus wormhole/lubang cacing ke 12 sistem galaksi yang berbeda untuk mencari planet yang cocok untuk dihuni oleh manusia. Hanya ada tiga orang yang mengirimkan respon kembali ke bumi, yang harus ditindaklanjuti dengan mengirim tim untuk kemudia menjalankan Rencana A : Pemindahan manusia yang tersisa ke planet yang ada, dan Cooper dipilih untuk menjadi pilot pesawat ini bersama Dr. Amelia Brand (Anne Hathaway), Doyle (Wes Bentley), dan Romilly (David Gyasi).

***

Christopher Nolan kembali menghadirkan film sci-fi yang makin mempertaruhkan namanya sebagai sineas jempolan dengan mengangkat tema lama dengan kemasan baru ini. Manusia diambang kepunahan lalu ada sekelompok orang yang berjuang menyelamatkannya adalah tema yang sudah mengakar di film-film Hollywood. Yang menjadi perbincangan kemudian adalah bagaimana film ini secara spesifik mencoba berbicara tentang perjalanan melalui Lubang Cacing/Wormhole, menembus Lubang Hitam/Blackhole, dengan berbagai atribut teori Relativitas Einstein yang ada. Rumit? Seolah ingin mengiyakan, Nolan sampai harus menggunakan jasa seorang ilmuwan, Kip Thorne, sebagai konsultan khusus pada bagian ini. Jadi jika Anda tidak memahami apa yang dibicarakan para tokoh di film ini, terima kasih, Anda sama dengan saya.

Ketika saya hendak melihat film ini, tentu harapan bahwa ini adalah karya Nolan seharusnya tidaklah menjadi film yang biasa. Sayangnya, harapan itu seolah pupus bahkan saat film ini belum mencapai separuhnya. Tidak ada yang salah dalam film ini. Ceritanya jelas, sentuhan efek khususnya bagus, mengabaikan detil teknis ilmiah di dalamnya, film ini bagus. Tapi untuk sebuah film dari Nolan? Jalan cerita film ini cukup kuat, dengan sentuhan emosi dan konflik yang dibangun antara karakter Cooper dan Murph, konflik rasional-emosional yang membuat Cooper setengah hati menjalankan misi ini, hingga ketegangan yang timbul dari penjelajahan ke planet antah berantah.

Anggapan saya bahwa film ini adalah action sci-fi seolah runtuh justru karena drama yang terbangun di dalamnya. Bagaimana Cooper, yang berjuang demi menyelamatkan keluarganya dan banyak keluarga lainnya di bumi, harus dihadapkan pada kenyataan bahwa, karena relativitas waktu, mereka harus berjuang untuk manusia yang mungkin masih hidup dalam hitungan puluhan tahun ke depan, dalam hitungan waktu bumi. Bagaimana tidak, saat hendak mendarat ke planet pertama saja, satu jam di sana sama dengan tujuh jam di bumi. Penonton pun dibuat hanyut kesedihan Cooper yang telah melewatkan 23 tahun kehidupan anak anaknya di bumi. Dilema juga dihadapi Cooper ketika harus memilih untuk segera kembali ke bumi dengan resiko seluruh manusia (tentu termasuk keluarganya) telah mati bahkan punah, atau melanjutkan misi dengan Rencana B : Membangun koloni manusia baru dengan bibit DNA yang mereka bawa dari bumi.

***

"KIta berani berkorban untuk diri kita dan keluarga kita. Orang-orang yang dekat dan kita kenal. Tapi apakah kita, manusia, mau berkorban untuk mereka yang ada di masa mendatang? Orang-orang yang kita tidak pernah tau?", lebih kurang begitu Doyle membangun kesadaran Cooper. Bahwa empati tidak bisa melampaui waktu. Apakah yang kita lakukan saat ini, dalam hidup kita, hanya untuk diri sendiri dan keluarga kita, atau untuk umat manusia ratusan bahkan ribuan tahun mendatang, waktu di mana kita bisa jadi tidak diingat pernah berkorban untuk mereka?

'Manusia selalu diajarkan untuk meninggalkan bumi, bukan menyelamatkannya'. Saat bumi sudah mencapai batas menopan tidak hanya kehidupan tapi juga keserakahan manusia, akankah bumi mati? Lalu saat itu tiba, apakah kita, manusia, juga akan ikut mati? Disebutkan, manusia akan selalu beradaptasi mengatasi masalahnya. Ketika ancaman kerusakan yang berakibat kepunahan itu benar akan tiba, apa yang bisa dilakukan manusia?

Nolan, sepertinya lebih hendak memberikan sebuah nilai alih-alih hiburan efek khusus yang memanjakan atau ketegangan yang demikian intens. Ketika harapan film ini akan seru, saya pribadi menganggap kenyataannya sungguh mengecewakan. Tapi mendapati hal lain daripada sekedar perjalanan luar angkasa, itu nilai tambah tersendiri. Terlepas dari beberapa kejanggalan secara ilmiah atas penggambaran luar angkasa seperti wormhole-blackhole dan kejadian di sekitarnya, film ini setidaknya mendasari pada satu keilmuan yang tidak sembarangan. Walau anda tidak mungkin seketika menjadi ahli fisika atau astronomi hanya dengan menonton film berdurasi 2.5 jam ini.

Monday, October 20, 2014

Internalisasi Corporate Values (ICV) 2014 KPP Pratama Palembang Ilir Timur


Apakah sebuah 'kementerian' seperti Kementerian Keuangan bisa disebut sebagai 'corporate' yang biasa diartikan sebagai perusahaan? Sejatinya, penggunaan istilah 'corporate values' memberikan kebingungan tersendiri buat saya. Tapi, okelah, anggap saja itu istilah agar lebih simpel dan menarik.

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 312/KMK.01/2011 tanggal 12 September 2011 tentang Nilai-nilai Kementerian Keuangan, untuk mewujudkan sebuah instansi pemerintahan terbaik, berkualitas, dan bermartabat, serta menyatukan nilai-nilai yang tersebar di Direktorat-direktorat Jenderal di lingkungan Kementerian Keuangan, maka ditetapkanlah nilai-nilai yang layak menjadi acuan bagi lebih dari 67 ribu pegawai. Nilai-nilai itu adalah :
1. Integritas
Dalam Integritas terkandung makna bahwa dalam berpikir, berkata, berperilaku, dan bertindak, Pimpinan dan seluruh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan melakukannya dengan baik dan benar serta selalu memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.
2. Profesionalisme
Dalam ProfesionaIisme terkandung makna bahwa dalam bekerja, Pimpinan dan seluruh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan melakukannya dengan tuntas dan akurat berdasarkan kompetensi terbaik dan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi.
3. Sinergi
Dalam Sinergi terkandung makna bahwa Pimpinan dan seluruh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan memiliki komitmen untuk membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya yang bermanfaat dan berkuaIitas.
4. Pelayanan
Dalam Pelayanan terkandung makna bahwa dalam memberikan pelayanan, Pimpinan dan seluruh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan melakukannya untuk memenuhi kepuasan pemangku kepentingan dan dilaksanakan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat, dan aman.
5. Kesempurnaan
Dalam Kesempurnaan terkandung makna bahwa Pimpinan dan seluruh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik.

Sejak tiga tahun ditetapkan, berbagai program telah dibuat untuk menunjang tercapainya perwujudan nilai-nilai tersebut. Sebut saja mulai dari sosialisasi, in-house training, hingga kegiatan tematik lainnya seperti renungan dan doa pagi, pemberian motivasi, pemilihan pegawai teladan bulan ini (employee of the month), hingga kegiatan luar kantor yang bisa dianggap puncak dari Internalisasi nilai-nilai ini dikemas dalam bentuk semacam outbond.

***

Kegiatan ICV dalam bentuk outbond bisa jadi seperti mercusuar program ini. Satu jenis kegiatan yang bisa menghabiskan 70% total anggaran tentu harus benar-benar memberikan manfaat dalam proses internalisasi. Pertanyaannya, apa yang bisa diraih dengan outbond yang berisi berbagai macam games dengan internalisasi nilai?

Pelatihan manajemen modern telah mengajarkan bahwa pemberian materi di kelas saja tidak cukup untuk peserta penerima materi dapat memahami dengan baik hal-hal yang sudah disampaikan. Sebelum benar-benar dalam situasi nyata, simulasi menjadi alat bantu yang baik untuk tujuan tersebut dan berbagai games dalam outbond dianggap tepat untuk memberikan simulasi atas perwujudan penerapan nilai-nilai tersebut dalam dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari.

Minggu, 12 Oktober 2014, bertempat di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, KPP Pratama Palembang Ilir Timur melaksanakan outing Internalisasi Corporate Values (ICV) untuk tahun 2014 ini. Ini adalah ICV keempat yang saya ikuti, kedua kalinya di kantor ini. Dalam cuaca buruk, di mana kabut asap sudah menyerang Kota Palembang sejak dua bulan terakhir, berangkat ke lokasi pukul 07.00 WIB merupakan sebuah tantangan tersendiri. Hingga tiba di lokasi dan dimulai kegiatan pukul 08.00 WIB, belum ada tanda-tanda kabut akan menipis. Maka dimulailah kegiatan dengan bagi-bagi masker. Ya, bahkan foto dokumentasi pun wajah-wajah pegawai ini bertutup masker.

Seperti biasa, untuk games, peserta dibagi dalam tim di mana kali ini dibentuk tujuh tim dengan peserta delapan sampai sepuluh orang. Tiap tim ditandai dengan warna pada pita yang dibagi oleh panitia. Masing-masing tim disediakan karton putih dan spidol, apalagi kalau bukan membuat simbol dan nama tim. Ya, kali ini tidak seperti biasanya, tidak dibutuhkan yel-yel, nyanyi-nyanyian, dan sejenis itu.

Game pertama adalah membangun konstruksi dengan sedotan. Hampir semua yang pernah mengikuti training/outbond pernah memainkan permainan ini. Dibutuhkan perencanaan dan kerja sama yang baik dari tiap anggota tim untuk bisa membuat konstruksi (seperti) bangunan setinggi mungkin tanpa goyah apalagi ambruk meski tertiup angin. Sulit? Iya, tapi bukan berarti tak mungkin.

Game kedua lebih melibatkan fisik. Membalik sisi alas/karpet yang dihuni lima orang tanpa bagian tubuh kecuali tangan di luar menyentuh tanah. Diperlukan selain perencanaan dan kerja sama tim, adalah fleksibilitas tubuh dan sedikit pengorbanan untuk saling injak, pangku, bahkan gendong, tergantung strategi masing-masing.

Salah satu permainan paling populer menjadi game ketiga, balap hulahoop. Hati-hati memar kepala atau bagi mereka yang berkacamata. Tidak jarang ketiak teman hinggap di wajah, atau badan terkilir karena kurang lentur. Tapi sepertinya semua sakit tidak terasa hingga permainan selesai sudah.

Main air! Sayangnya saat ini musim kemarau, bahkan sungai yang seharusnya mengalir di sisi-sisi Taman ini ikut mengering. Toxic bomb dan pipa bocor jadi dua permainan berikutnya. Strategi yang tepat, kecepatan dan pengaturan anggota tim untuk melakukan pekerjaannya menjadi penting di sini. Basah? Siapa takut! Harusnya sih basah sekalian layaknya mandi, tapi, lagi-lagi musim kemarau, basahnya pun secukupnya saja.

Penggunaan games outbond dalam pelatihan manajemen biasanya untuk membuka pola komunikasi yang selama di kantor biasanya tertutup atau tersumbat. Jalur birokrasi, keengganan bawahan, dan hal lain biasanya menjadi hambatan, padahal komunikasi adalah kunci tercapai tidaknya suatu tujuan. Dalam games, semua batas-batas dihapus. Tidak ada jabatan di sini, derajat semua anggota tim dalam permainan adalah sama. Tidak selalu kepala seksi menjadi ketua tim. Tidak selalu kepala kantor tahu semua pemecahan dan strategi terbaik memenangkan permainan. Kapan lagi bawahan bisa digendong atasan? Atau bahkan agak (sedikit) menjahili? Tentu, berharap hanya dengan bermain selama tiga jam lalu semua nilai-nilai da[at terserap dalam setiap pribadi adalah mimpi yang terlalu tinggi, bahkan di siang bolong. Setidaknya, jika direncanakan, dikemas, dan dilaksanakan dengan tepat, ada hal yang membekas dan menjadi pengalaman tersendiri bagi tiap peserta kegiatan. Bahwa kegiatan ICV ini bukan basa-basi, bukan kegiatan penghabis anggaran yang memang sudah tipis dari awal, tapi memang menjadi salah satucara efektif, bagaimana setiap pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan menjadi agen perubahan bagi instansi pemerintahan.

Pertanyaannya, masihkah akan ada ICV Kementerian Keuangan di Institusi Perpajakan tahun depan? 

Dracula Untold : Sebuah Film Yang Memang Tidak Perlu Diceritakan

Film dengan nama judul besar akhirnya tayang di Oktober ini, film yang boleh jadi masuk dalam daftar tunggu untuk ditonton. Film tentang tokoh yang legendaris, yang hampir semua orang tahu kisahnya.

Alkisah, negara Transylvania dipimpin oleh seorang Raja (tapi lebih dikenal sebagai Pangeran) bernama Vlad II (Luke Evans), yang dibesarkan dan dididik secara keras oleh Kesultanan Turki hingga menjadi ksatria yang tangguh dan ditakuti dengan nama Vlad The Impaler (Vlad Si Penyula) karena ia dikenal suka menyula musuh-musuh yang dibunuhnya. Kembali mencoba memimpin negara dalam masa tenang, Vlad harus menghadapi kenyataan bahwa Sultan Mehmet II (Dominic Cooper) dari Kesultanan Turki telah tiba di gerbang kerajaannya, menuntut ia menyerahkan 1.000 anak untuk dijadikan prajurit perang berikut anaknya sendiri, Ingeras (Art Parkinson), layaknya ia dulu diserahkan oleh ayahnya kepada Sultan Turki.

Vlad dilanda kebimbangan dengan desakan istrinya, Mirena (Sarah Gadon), untuk tidak menyerahkan anak mereka satu-satunya, sementara itu berarti membangkang dan menantang perang Sultan Mehmet II, sesuatu yang akan menghadirkan mimpi buruk bagi kerajaan dan rakyatnya, mengingat mereka tidak punya cukup pasukan untuk menghadapi ratusan ribu pasukaan Kesultanan Turki. Di tengah keputusasaannya, Vlad lalu mendaki Gunung Broken Tooth untuk bertemu dengan monster yang telah menjadi misteri selama ratusan tahun di biara tua mereka, monster yang haus akan darah dan menguasai gelap malam. Hingga akhirnya, dengan harapan bisa menghadapi pasukan Turki dan menyelamatkan rakyatnya, Vlad menerima penawaran monster tua tersebut, meminum darahnya, lalu mati dan bangkit lagi dengan kekuatan super, bisa mendengar suara dari kejauhan, melihat di kegelapan, dan mengendalikan makhluk malam.

Maka, demikianlah, seorang diri, Vlad menghabisi 1.000 pasukan Turki hanya dalam satu malam. Waktu yang terbatas, karena dalam perjanjiannya, ia hanya punya tiga hari untuk bertahan dari godaan kehausan akan darah manusia agar ia bisa kembali menjadi manusia sedia kala, atau mengikuti hasrat nafsunya, dan jadi monster penghisap darah untuk selamanya dalam keabadian.

...

Kisah Drakula merupakan salah satu kisah paling dikenal dari Barat. Mencapai puncak popularitasnya ketika novel yang ditulis Bram Stoker diangkat ke dalam film yang dibintangi Keanu Reeves dan Gary Oldman pada tahun 1992. Banyak film yang diangkat bercerita tentang sosok penghisap darah itu sendiri, yang tidak kalah populer adalah Van Helsing (2004) yang dibintangi oleh Hugh Jackman dan Richard Roxburgh. Kali ini, sutradara Gary Shores dan para penulis skenario mencoba mengangkat kisah drakula melalui sisi sejarah asal mula kelahiran sosok penghisap darah ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sosok Drakula dinisbatkan kepada Vlad II dari Transylvania, yang bagi sebagian orang telah dikenal dengan kekejamannya terhadap musuh dengan cara menyula mereka. Ribuan pasukan Turki menjadi korbannya yang membuat Sultan Mehmet mengerahkan lebih banyak pasukan untuk menyerangnya.

Berfokus pada latar belakang tersebut, entah tidak mau terjebak dalam sejarah yang bisa saja diperdebatkan, atau memang semata hanya ingin mengambil latar belakang itu, film ini justru menjadi kehilangan arah. Apakah ingin mengggali sisi terdalam seorang Vlad hingga ia menjadi Drakula? Atau pertentangannya dengan Mehmet II? Keduanya tidak dapat terpenuhi dengan baik.

Kita bisa memahami alasan terdalam Vlad menerima penawaran untuk mendapatkan kekuatan tersebut, mengorbankan hidupnya demi rakyat dan anaknya. Namun Drakula sebagai ikon penghisap darah tidak kita dapati. Ya, walau memang diceritakan ia berusaha untuk tidak minum darah, tetap saja adegan ketika ia mengigit dan meminum darah istrinya tidak bisa dikatakan mengesankan. Kita telah kehilangan sosok penghisap/peminum darah! Perang dengan Turki? Mau dibuat 100.000 pasukan Turki, jika hanya melawan satu orang Vlad, jelas tidak akan menggambarkan sebuah perang yang kolosal. Bahkan juga tidak dengan pertarungan terakhirnya dengan Mehmet II. Lagipula, memangnya Mehmet II terbunuh di peperangan melawan Vlad II?

Jika anda penggemar konspirasi, kehadiran film Dracula Untold di saat ini tentu menemukan momennya. Siapa yang tidak tau Turki saat ini? Sebagai sebuah mercusuar kebangkitan Daulah Islam (walau tidak mengklaim kekhalifahan), Turki di sini dengan tepat digambarkan sebuah negara ekspansif, dengan Sultan yang gila kuasa dan gila perang, dan prajurit yang kejam tanpa belas kasihan. Walau bisa jadi berbeda, tetap saja nama 'Turki' melekat di sini, meski pembuat film tidak sedikitpun menyinggung soal keagamaan di sini. Turki di sini adalah sebuah Kesultanan, titik. Bukan sebuah imperium dengan nilai agama yang lekat. Sebuah penggambaran yang cukup 'aman'.

Pada akhirnya, sulit mengatakan bahwa film ini akan menjadi sebuah film yang memorable, layaknya film-film tentang Drakula sebelumnya. Sebagai sebuah hiburan, bolehlah, duduk dan nikmati, bahwa film ini akan bercerita tentang seorang Ayah, seorang Raja, yang begitu mencintai keluarga dan rakyatnya, hingga batas-batas kemanusiaannya.

...

Apa yang akan Anda lakukan untuk anak Anda? Jika anda seorang pemimpin (apalagi pimpinan), seberapa jauh Anda akan berkorban untuk mereka yang Anda pimpin? Terkadang, demi orang yang kita cintai, gelap yang paling kelam sekalipun akan kita tempuh. Meski pada akhirnya berarti justru mengorbankan mereka yang kita cintai.

The Maze Runner : A-maze-ing Young-Adult Movie, So Far

                                             Kembali, film bertema young-adult diangkat ke layar lebar dari sebuah novel yang boleh jadi -seperti biasa- tidak terlalu dikenal. Bisa jadi juga sudah tidak ada lagi ide segar dari para sineas Hollywood sehingga mereka berlomba menjadikan novel sebagai materi film. Atau, ini justru sebuah ujian kreatifitas?

Film ini bercerita tentang seorang remaja laki-laki bernama Thomas (Dylan O'Brien) yang terbangun tiba-tiba di antara sekumpulan remaja laki-laki lainnya di sebuah tempat yang asing yang disebut dengan The Glade. Tanpa memiliki ingatan apapun tentang dirinya, termasuk namanya sendiri hingga muncul dalam ingatan kemudian, Thomas berada dalam kebingungan dan ketakutan saat menyadari tempat itu terkurung tembok-tembok tinggi dan mereka yang ada di sana berjuang bertahan hidup dengan caranya sendiri. The Gladers ini dipimpin oleh Alby (Aml Ameen), disebut-sebut sebagai orang pertama yang dikirim ke tempat terpencil ini, membuat aturan agar komunitas ini tetap bersatu dan bertahan hidup sambil mencari cara untuk keluar menembus kuruang tembok-tembok ini.

Salah satu aturan yang mengikat The Gladers adalah larangan untuk masuk ke dalam celah dinding yang terbuka, yang hanya boleh dimasuki mereka yang tergabung dalam Runner. Tugas mereka khusus, masuk ke dalam labirin di balik dinding, mencatat semua jalan sambil terus mencoba mencari jalan keluar. Hal sulit dari labirin ini adalah, setiap malam susunannya selalu berubah, seperti hidup, dan membentuk susunan baru. Disebutkan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa bertahan satu malam di dalam labirin. Ini dikarenakan pintu gerbang labirin ini terbuka setiap pagi dan menutup menjelang matahari terbenam.

Suasana semakin tidak menentu ketika salah seorang Runner bernama Ben tiba-tiba dalam keadaan seperti kerasukan menyerang Thomas sambil bergumam bahwa ini semua salahnya. Kondisi ini adalah sesuatu yang lazim ketika seseorang disengat Griever, makhluk yang menguasai labirin dan senantiasa menjadi ancaman bagi setiap Runner ketika masuk ke dalam sana. Dengan kondisi yang semakin memburuk dan tidak mungkin terobati, Ben, sesuai tradisi, akhirnya dibuang ke dalam labirin. Merasa keadaan semakin tidak menentu, Alby ditemani Minho (Ki Hong Lee), ketua regu Runner, masuk ke dalam labirin hingga menjelang senja, ketika sebagian menganggap mereka sudah tidak mungkin pulang, mereka berdua kembali dalam keadaan Alby tengah sekarat tersengat. Tidak dapat berdiam diri menghadapi kemungkinan keduanya bermalam di dalam labirin, Thomas memaksa masuk ke dalam labirin tepat ketika akhirnya gerbang tertutup. Untuk pertama kalinya, ia harus menghadapi ancaman sebenarnya dari Labirin.

....
  
Di angkat dari novel berjudul sama karya James Dashner, tema yang diusung adalah keadaan ketika kondisi bumi telah mengalami kehancuran luar biasa (post-apocalyptic). Bermain di wilayah young-adult, berbeda dengan genre yang sama yang telah diangkat beberapa kali dalam film di mana jagoannya adalah perempuan dan sepertinya menyasar penonton perempuan dengan kisah kasih khas remaja, film ini justru menggambarkan keadaan yang jauh dari manis dan romantis. Suasana yang keras dan mencekam tergambarkan di hampir 1.5 jam durasi film ini. Tidak ada ruang untuk menampilkan kisah percintaan (dan itu bagus, mengingat hampir semua karakter dalam film ini adalah (remaja) laki-laki) dan menggantinya dengan gambaran betapa pentingnya aturan dan persatuan dalam sebuah komunitas, apalagi ketika berhadapan dengan situasi hidup-mati.

Menarik mencermati bagaimana karakter Gally (Will Poulter) saat mengambil alih kepemimpinan The Gladers ketika Alby tengah sekarat. Ia mencoba tetap bertahan dengan aturan yang mereka buat dan jaga selama tiga tahun demi keutuhan mereka. Kekeraskepalaannya menghukum Thomas dan lain-lain yang mencoba lari ke dalam Labirin, bahkan selepas rombongan Grieve menyerang desa mereka, menunjukkan bagaimana seseorang bisa begitu bertahan dengan ide, prinsip, dan aturan yang dibuat sendiri, justru ketika mereka berada di dalam kungkungan tembok tinggi, hingga merasa lebih baik dan nyaman berada di dalam sebuah penjara tersebut, alih-alih mencoba keluar dan meraih kebebasan mereka. Atau mati ketika mencobanya. Jika menggunakan istilah 'zona nyaman', bisa jadi ini gambarannya. Kita berada di zona nyaman yang awalnya mengurung kita, membatasi pikiran dan diri kita dengan tembok-pemikiran sehingga kita tidak bisa berkembang dan maju, stagnan di tempat. Lalu kita membuat alasan dan pembenaran mengapa kita tidak seharusnya mencoba keluar mencari jalan meninggalkan zona nyaman tersebut. Kita bisa jadi gagal dan terbuang, tapi kita juga telah membuka kesempatan untuk maju.

...

Perlu mencari beberapa referensi sebelum memastikan diri menyaksikan film ini, agar tidak terjebak dalam film-film bertema sejenis yang memang sedang tren. Dan ketika ceritanya memang tidak sama seperti yang lain, maka buat Anda yang ingin menyaksikan sebuah film remaja, tanpa laki-laki bertelanjang dada dan berotot kekar, ataupun cerita 'menye-menye' romantis yang memuakkan, ini adalah pilihan yang, sampai saat ini, tepat. Dan karena film ini diangkat dari sebuah novel yang bisa dibilang berseri, jangan kaget jika di akhir film akan ada kesan film ini harus ada sekuelnya. Yah, buat saya, memang harus.

The Fault in Our Stars : One Hell of a 'Sick' Movie, Trully


Demi apa sehingga aku harus nonton film cinta remaja? *mehh* Yah, anggap saja khilaf di penghujung kepenatan.

The Fault in Our Stars berkisah seorang gadis penderita kanker tiroid, Hazel Grace Lancaster (Shailenne Woodley) yang sudah mengancam paru-parunya dan membuatnya depresi, hingga orang tuanya yang begitu mencintainya mendorongnya bergabung dalam komunitas pendukung penderita kanker di kotanya. Di sanalah ia berjumpa dengan Augustus Waters (Ansel Elgort), penderita 'osteosarcoma' yang telah kehilangan kaki kanannya. Ikatan pertemanan di antaranya perlahan menguat, hingga Hazel merekomendasikan novel favoritnya, An Imperial Affection, kisah seorang gadis penderita kanker yang dianggapnya memiliki pengalaman hidup yang sama dengan dirinya. Gus demikian penasaran dengan akhir kisah pada novel yang mereka anggap menyisakan banyak pertanyaan. Sayangnya, penulis novel, Peter Van Houten (Willem Dafoe) telah meninggalkan Amerika menuju Amsterdam.

Gus, dengan optimisnya, menjanjikan bahwa mereka bisa ke Amsterdam untuk berjumpa Van Houten dan bertanya banyak hal tentang novel tersebut. Sesuatu yang sempat menjadi angan-angan saja ketika penyakit Hazel tiba-tiba kembali menyerang. Sang Ibu, dengan cintanya yang amat sangat, mencoba meyakinkan bahwa semua keinginannya bisa saja terwujud, meski untuk ke mana mana Hazel harus membawa tabung oksigen sendiri, hingga akhirnya mimpi Hazel (dan Gus) bisa tercapai.

....

Setelah 'Dying Young' pada tahun 1991 yang menyentuh tentang penderita kanker, tahun 2014 ini sebuah film yang diangkat dari novel tulisan John Green kembali mencoba bicara tentang kisah cinta remaja, sama sama penderita kanker, untuk mengisi hari dan hidup mereka yang bisa dibilang tinggal menunggu waktu saja. Awalnya aku merasa bahwa film ini akan sangat klise, dan memang benar, film ini plotnya sangat sederhana : kisah cinta dua remaja yang mengejar impian (terakhir) mereka hingga akhirnya dipisahkan oleh maut.

Apa yang membuat sesuatu yang klise menjadi istimewa? Pertama, pilihan kata yang memikat namun tak mencoba puitis  membuat dialog antar karakter utama menjadi indah sekaligus cerdas. Personifikasi yang tidak berlebihan tapi bisa menjelaskan situasi yang mereka hadapi. Film ini juga tidak mencoba mengeksploitasi penyakit dan kesedihan mereka, bahkan justru memberikan lelucon segar (namun tanpa melecehkan) terhadap kondisi diri mereka. Keceriaan dan kesedihan dihadirkan silih berganti tanpa kesan dipaksakan, tidak menghadirkan konflik yang dibuat-buat antar karakter. Bahkan bisa dibilang, kecuali karakter Van Houten, tidak ada konflik antar karakter, misal ketidaksetujuan orang tua Hazel dengan Gus. Oke, yang ini terlalu sinetron Indonesia.

Hazel, digambarkan sebagai gadis yang telah menerima kenyataan bahwa ia bisa meninggal kapan saja, tetap ceria dan realistis. Sementara Gus adalah sosok pria yang positif, optimis, penuh humor yang membuat 'chemistry' di antara mereka menjadi kuat.

Yang menarik adalah ketika Gus, yang sadar tidak mungkin menikah dan membuat acara pra-pernikahan, memilih membuat acara pra-pemakaman, karena ia tidak mungkin bisa melihat acara pemakamannya sendiri. Menarik, karena ini sesuatu yang boleh jadi belum pernah diperlihatkan sebelumnya. Memberikan kesadaran pada kita bahwa kematian seharusnya lah dipersiapkan dengan matang. Lalu, bagaimana mereka membuat pidato perpisahan yang indah untuk Gus, mengharukan tapi tidak mengumbar air mata. Hingga pada pemakamannya sendiri, ketika Hazel memilih untuk tidak membacakan lagi pidato perpisahan itu karena menurutnya, "Upacara pemakaman itu untuk mereka yang masih hidup, bukan yang telah mati".



Jika kita telusuri mesin pencari semacam Google, akan banyak kita jumpai kutipan-kutipan dari novel ini begitu banyak, yang mengingatkan pada beberapa novel baik lainnya. Walau aku sendiri belum pernah membaca novelnya (sudah ada versi Indonesianya?), sepertinya film ini telah dieksekusi dengan baik. Ingin menyaksikan film remaja tapi tak murahan? Roman yang tidak picisan? Sebuah keharuan tanpa perlu mempertontokan tangis meraung? Film ini ibarat makanan ringan yang mengenyangkan, yang layak jadi pilihan.

Tuesday, September 16, 2014

Mari Lari (Lagi)

Benar, judul di atas diambil dari salah sebuah film yang pernah tayang di bioskop di seluruh Indonesia. Ceritanya? Tidak tahu, belum nonton. Tapi film ini dibuat dan diperuntukkan bagi para penggiat lari terutama di Indonesia yang semakin hari semakin banyak dan semakin semarak. Tidak heran jika beberapa korporasi mengadakan kegiatan lari (biasanya 10 km) dalam setiap 'event' hari Minggu mereka.

Tulisan ini tidak berbicara tentang film itu, tentu saja. Tulisan ini adalah tentang gairah saya untuk lari pagi lagi.

Ya, awalnya dulu saya memang termasuk suka lari pagi. Boleh jadi ini diwariskan oleh Bapak yang hingga saat ini masih rutin jalan pagi. Ya, mengingat usianya yang sudah di atas 70 tahun dan dengan segala macam penyakit di tubuhnya, lari tidak lagi menjadi pilihan. Justru kondisi itu yang membuat  semangat ini tumbuh lagi. Kesadaran bahwa aktifitas fisik yang kurang sangat beresiko bagi kondisi badan. Belum lagi pekerjaan yang memanjakan hingga malas bangkit dari kursi di depan komputer.

Pernah, beberapa bulan lalu kembali ke gym dan mulai angkat beban, tapi hal ini butuh waktu dan biaya ekstra secara saya termasuk pemilih dalam urusan tempat gym. Maraknya olahraga lari ini semacam pembakar untuk memulai lagi. Apalagi katanya lari bisa cukup membakar lemak untuk selanjutnya lebih menjanjikan menurunkan berat badan dan membentuk perut lebih rata, haha ... Belum lagi cerita salah seorang kawan bahwa 'pacarnya' rutin lari pagi untuk menjaga 'stamina'. Wah ... ini benar-benar godaan yang menarik! Membayangkan bagaimana gagahnya lari di pantai, atau dengan medan yang lebih berat seperti perbukitan menanjak dan menurun. Mengkhayal untuk saat ini boleh-boleh saja, kan?

Tahap awal, saya kembali lari cukuplah 15 menit setiap pagi. Karena saya tinggal di lingkungan militer, tidak sedikit orang-orang yang juga lari, tak hanya pagi tapi sore hari, bahkan dengan jaket parasutnya. Kalo yang ini, teman SMA saya pernah coba karena terobsesi menurunkan berat badan. Hasilnya? Typus!

Jadi, target saya dengan lari adalah :
1. Berharap kondisi tubuh lebih baik (baca : sehat) dengan aktifitas fisik yang moderat hingga berat
2. Meningkatkan stamina dan kebugaran untuk aktifitas pagi hingga malam
3. Menjaga berat badan dan kalau bisa membentuk hingga ke kondisi ideal

Entah benar ada efeknya atau tidak, dengan rutin lari pagi 15 menit selepas Subuh setidaknya 4 hari dalam seminggu, setidaknya stamina buat main futsal selama satu jam dapat terjaga. Terlepas dari pola bermain yang tidak terlalu ngotot, minggu lalu saya main futsal 45 menit tanpa ganti.


Sayangnya, untuk saat ini kondisi sedang tidak bersahabat. Musim kering tiba, kabut asap mulai pekat di pagi hari, tidak ada lagi udara segar. Rasanya mudah sesak nafas. Sungguh, ini benar-benar menggoda buat berhenti lagi. Ah, mungkin ini ujian. Semangat !!!

Bahan bacaan :
- http://www.active.com/running/articles/3-ways-to-burn-fat-effectively-while-running
- http://www.runnersworld.co.za/nutrition/weight-loss/fat-burning-running-workouts/
- http://running.about.com/od/faqsaboutweightloss/f/Can-I-Burn-Fat-By-Running.htm

Wednesday, September 3, 2014

Hercules : Kisah Manusia Setengah Dewa Tanpa Dewa-dewa



Siapa yang tidak tau dengan Hercules? Kisahnya sudah sangat melegenda, bahkan serialnya di salah satu televisi swasta pun sempat berjaya. Kini, Brett Ratner meluncurkan remake terbaru dari kisah manusia setengah dewa ini.

Diperankan oleh Dwayne 'The Rock' Johnson, Hercules memimpin sekumpulan prajurit bayaran yang terdiri dari peramal (Amphiaraus/Ian McShane), ahli melempar pisau (Autolycus/Rufus Sewell), pemanah Amazon (Atalanta/Ingrid Berdal), prajurit tanpa rasa takut (Tydeus/Aksel Hennie), dan sang pencerita ulung (Iolaus/Reese Ritchie). Dibuka dengan cerita seperti biasa, sebagai anak dari Zeus, Hercules dikisahkan harus melaksanakan dua belas tugas yang diembankan dewa kepadanya sebagai wujud kompromi atas perdamaian dirinya dengan Dewi Hera. Kisah lalu berlanjut masuk dalam suasana pertarungan brutal antara Hercules dan rekan melawan para perompak sebagai misinya sebagai pasukan bayaran.

Hercules lalu ditemui oleh Ergenia, anak dari Raja Cotys, yang sedang dalam kesusahan karena harus berperang melawan pemberontak bernama Rheseus yang berdasar desas-desus bekerja sama dengan para Centaur (manusia setengah kuda) dan memiliki begitu banyak pasukan yang kejam. Dengan imbalan emas seberat tubuhnya, Hercules menerima pekerjaan untuk melatih dan mengalahkan Rheseus tersebut. Belum lagi ketika mereka harus kehilangan banyak pasukan karena berperang melawan suku barbar, desa yang seharusnya sudah dihancurkan lebih dulu oleh Rheseus.

Dalam situasi yang pelik ini, ternyata Hercules masih dibayangi masa lalunya, kematian atas istri (Megara/Irins Shayk) dan ketiga anaknya yang misterius. Ini adalah tugas kedua belas yang tak kunjung dituntaskan olehnya, membunuh masa lalu yang menghantuinya.

...

Saya tak pernah membaca sinopsis apapun terkait kehadiran film yang sudah lama kabar akan beredar ini, bahkan sampai ada versi lainnya, Legend of Hercules. Dalam bayangan saya, apa yang bisa dilakukan Hercules ketika saudaranya, Perseus, telah menyita perhatian penonton dengan pertarungan seru antara Tiga Dewa (Zeus, Hades, dan Poseidon) melawan Kronos? Pertarungan para dewa apalagi yang bisa dihadirkannya?



Maka, tidak salah jika pembuat film mengambil sisi yang lebih 'manusiawi' yang mengingatkan saya akan film Troy (2004), cerita tentang manusia keturunan dewa yang terlibat dalam peperangan manusia tanpa sedikit pun menampilkan para dewa, dalam level apapun. Maka, mau tidak mau, saya sudah punya pembandingnya.



The Rock, terlepas dari latar belakangnya sebagai pegulat profesional dengan deretan filmografi sebagai bintang aksi laga, tampangnya yang komikal jelas tidak bisa mengangkat keseriusan karakter Hercules yang kehilangan keluarganya secara tragis ini. Belum lagi film ini mencoba memberi bumbu sisipan lelucon yang harus memaksa untuk sekedar senyum. Plot lain yang coba diabaikan adalah mengenai, benarkah Hercules anak Zeus? Apakah ia memang manusia setengah dewa? Lalu darimana ia punya kekuatan untuk meruntuhkan patung Hera yang begitu besar untuk menumpas pasukan Raja Cotys pada akhirnya? Mungkin ia terlalu banyak nge-gym.

Hal berbeda yang coba ditawarkan oleh film ini, yang justru menjadi daya tarik, adalah kehadiran karakter Iolaus, keponakan Hercules, yang bertugas menceritakan legenda-legenda pertarungan dan kisah hidup Hercules. Tidak hanya menjadi juru bicara, Iolaus justru lebih seperti seorang penebar propaganda, membakar semangat pasukan sendiri dan menakuti lawan-lawannya. Dalam kenyataannya, sosok seperti ini tidak bisa dilupakan begitu saja dari sejarah. Bahkan seorang Hittler punya Goebbels di sampingnya.

Buat saya yang tidak tau seperti apa tampilan pacar dari mega bintang sepakbola Cristiano Ronaldo, bisa melihat sekilah Irina Shayk di sini sebagai istri dari Hercules. Semoga penampilannya yang sekilas ini bukan hasil dari editing Lembaga Sensor Indonesia.

...

'Tidak penting apakah ia manusia setengah dewa atau bukan, ketika ia menilai dirinya pahlawan, ia bisa menjadi pahlawan'. Sebuah kutipan yang coba digambarkan di sepanjang film ini, bahwa ini adalah film tentang Hercules yang dikenal sebagai manusia setengah dewa anak Zeus yang kuat luar biasa, namun tidak sedikit pun memberi gambaran dewa atau bahkan hal-hal ajaib di sini.

Ketika perang kolosal antara ribuan pasukan Cotys dari Thrace dan Rheseus bertemu, kita akan melihat banyak orang namun terlalu sedikit untuk mengatakannya ribuan. Sepertinya pihak produksi benar-benar menggunakan banyak pemain figuran tanpa tambahan efek visual. Kembali lagi, jika harus membandingkan dengan dua seri Perseus, film ini jelas ketinggalan dari keberlimpahan efek visual.

Apakah saya ikut merasakan kesedihan Hercules yang kehilangan keluarganya? Atau kepuasan ketika ia akhirnya tau siapa dalam di balik tragedi itu? Tidak. Apakah saya merasakan hal yang getir dari Tydeus yang katanya hidup seperti hewan sebelum ditemukan oleh Hercules? Lalu sedih ketika ia mengorbankan dirinya? Tidak. Apakah ada rasa-rasa cinta antara Megara dan Hercules? Juga tidak. Film ini terlalu kering akan jalinan kisah dan emosi. Bahkan ketika hendak mengumbar aksi juga masih terlalu tanggung. Kecuali anda memang penggemar berat The Rock, atau penasaran dengan penampilan Irina Shayk, atau memang penggemar kisah-kisah Yunani, maka baiknya letakkan film ini di urutan bawah daftar film yang wajib Anda tonton.

The Fault in Our Stars : One Hell of a 'Sick' Movie, Trully

Demi apa sehingga aku harus nonton film cinta remaja? *mehh* Yah, anggap saja khilaf di penghujung kepenatan.

The Fault in Our Stars berkisah seorang gadis penderita kanker tiroid, Hazel Grace Lancaster (Shailenne Woodley) yang sudah mengancam paru-parunya dan membuatnya depresi, hingga orang tuanya yang begitu mencintainya mendorongnya bergabung dalam komunitas pendukung penderita kanker di kotanya. Di sanalah ia berjumpa dengan Augustus Waters (Ansel Elgort), penderita 'osteosarcoma' yang telah kehilangan kaki kanannya. Ikatan pertemanan di antaranya perlahan menguat, hingga Hazel merekomendasikan novel favoritnya, An Imperial Affection, kisah seorang gadis penderita kanker yang dianggapnya memiliki pengalaman hidup yang sama dengan dirinya. Gus demikian penasaran dengan akhir kisah pada novel yang mereka anggap menyisakan banyak pertanyaan. Sayangnya, penulis novel, Peter Van Houten (Willem Dafoe) telah meninggalkan Amerika menuju Amsterdam.

Gus, dengan optimisnya, menjanjikan bahwa mereka bisa ke Amsterdam untuk berjumpa Van Houten dan bertanya banyak hal tentang novel tersebut. Sesuatu yang sempat menjadi angan-angan saja ketika penyakit Hazel tiba-tiba kembali menyerang. Sang Ibu, dengan cintanya yang amat sangat, mencoba meyakinkan bahwa semua keinginannya bisa saja terwujud, meski untuk ke mana mana Hazel harus membawa tabung oksigen sendiri, hingga akhirnya mimpi Hazel (dan Gus) bisa tercapai.

....

Setelah 'Dying Young' pada tahun 1991 yang menyentuh tentang penderita kanker, tahun 2014 ini sebuah film yang diangkat dari novel tulisan John Green kembali mencoba bicara tentang kisah cinta remaja, sama sama penderita kanker, untuk mengisi hari dan hidup mereka yang bisa dibilang tinggal menunggu waktu saja. Awalnya aku merasa bahwa film ini akan sangat klise, dan memang benar, film ini plotnya sangat sederhana : kisah cinta dua remaja yang mengejar impian (terakhir) mereka hingga akhirnya dipisahkan oleh maut.

Apa yang membuat sesuatu yang klise menjadi istimewa? Pertama, pilihan kata yang memikat namun tak mencoba puitis  membuat dialog antar karakter utama menjadi indah sekaligus cerdas. Personifikasi yang tidak berlebihan tapi bisa menjelaskan situasi yang mereka hadapi. Film ini juga tidak mencoba mengeksploitasi penyakit dan kesedihan mereka, bahkan justru memberikan lelucon segar (namun tanpa melecehkan) terhadap kondisi diri mereka. Keceriaan dan kesedihan dihadirkan silih berganti tanpa kesan dipaksakan, tidak menghadirkan konflik yang dibuat-buat antar karakter. Bahkan bisa dibilang, kecuali karakter Van Houten, tidak ada konflik antar karakter, misal ketidaksetujuan orang tua terhadap hubungan Hazel dengan Gus. Oke, yang ini terlalu sinetron Indonesia.

Hazel, digambarkan sebagai gadis yang telah menerima kenyataan bahwa ia bisa meninggal kapan saja, tetap ceria dan realistis. Sementara Gus adalah sosok pria yang positif, optimis, penuh humor yang membuat 'chemistry' di antara mereka menjadi kuat.

Yang menarik adalah ketika Gus, yang sadar tidak mungkin menikah dan membuat acara pra-pernikahan, memilih membuat acara pra-pemakaman, karena ia tidak mungkin bisa melihat acara pemakamannya sendiri. Menarik, karena ini sesuatu yang boleh jadi belum pernah diperlihatkan sebelumnya. Memberikan kesadaran pada kita bahwa kematian seharusnya lah dipersiapkan dengan matang. Lalu, bagaimana mereka membuat pidato perpisahan yang indah untuk Gus, mengharukan tapi tidak mengumbar air mata. Hingga pada pemakamannya sendiri, ketika Hazel memilih untuk tidak membacakan lagi pidato perpisahan itu karena menurutnya, "Upacara pemakaman itu untuk mereka yang masih hidup, bukan yang telah mati".

Jika kita telusuri mesin pencari semacam Google, akan banyak kita jumpai kutipan-kutipan dari novel ini begitu banyak, yang mengingatkan pada beberapa novel baik lainnya. Walau aku sendiri belum pernah membaca novelnya (sudah ada versi Indonesianya?), sepertinya film ini telah dieksekusi dengan baik. Ingin menyaksikan film remaja tapi tak murahan? Roman yang tidak picisan? Sebuah keharuan tanpa perlu mempertontokan tangis meraung? Film ini ibarat makanan ringan yang mengenyangkan, yang layak jadi pilihan.

Tuesday, September 2, 2014

Donor Darah Edisi Perdana

-- Cerita ini terjadi pada tanggal 15 Agustus 2014 silam --


'Saya lagi butuh darah buat anak saya. Butuh empat kantong, tapi baru dapat satu kantong. Makanya minta tolong Mas-mas pegawai bank situ buat donor'

Itu adalah sepenggal obrolan dari salah seorang Ibu yang duduk di depan saya saat menunggu antrian di Unit Donor Darah (UDD) PMI Kota Palembang, tadi pagi jelang siang. Ini adalah pengalaman perdana saya donor darah, setelah beberapa kali di beberapa kesempatan sejak masa kuliah, saya ditakdirkan selalu melewatkan kesempatan tersebut.

Pagi hari itu, tiba-tiba pesan pop-up di layar komputer saya muncul. Dari salah seorang teman. "Jar, kamu golongan darahnya apa, ya?". Berlanjut obrolan singkat, intinya ia butuh darah buat salah satu anggota keluarganya yang hendak operasi cesar. Maka begitu jam lewat pukul sepuluh, kami segera bergegas menuju UDD PMI.

Tidak terlalu ramai, hanya lima sampai enam orang saja di kursi tunggu. Sejenak isi formulir, tidak lama kemudian nama saya pun dipanggil. Duduk berhadapan dengan seorang ibu yang dengan tangkas menusuk ujung jari tengah tangan kanan saya hingga berdarah. Lalu, ketika saya lengah, ia tempelkan tabung kecil di sana dan dengan seksama dan dalam tempo yang singkat menekan ujung jari tersebut, "creett", darah segar mengalir deras mengisi rongga tabung itu, yang kemudian dengan indahnya ditepuk-tepukkan ke bilah kaca kecil, diberi warna biru, kuning, dan merah membentuk pola gradasi warna. Coretan-coretan dibuatnya pada formulir isian saya. Hb, oke. Golongan darah, A. Lalu saya disuruh masuk.

Di ruangan ukuran 3x5 meter, ada tiga pasang pembaringan yang masing-masing telah diisi tiga orang. Tiap lengannya terpasang selang yang berwarna merah, dengan kantong darah tergeletak di atas timbangan (sayur). Oke, suasananya semakin mencekam ini. Demi menghilangkan kegugupan, saya sejenak ke toilet, menuntaskan apa yang tertahan, untuk kemudian masuk lagi dan dengan elegannya berbaring. Lengan kiri sepertinya pilihan yang baik buat 'diinfus'.

Seorang Ibu menunjukkan pengalamannya dengan tidak butuh setengah menit untuk memasang jarum. Jujur saja, saya tak berani melihat, biarkan saja sistem yang bekerja. Sekitar sepuluh menit berbaring, seorang mbak perawat mendekat.
"Masih lama lagi?", saya tanya
"Ini sudah selesai, mau dicabut", jawabnya
"Berapa banyak?"
"350"
Wah, 350 mL untuk donor perdana, hehe...

....

Ternyata jarumnya tak terasa menancap dalam 
Ternyata jarumnya tak terasa menancap dalam

Kembali ke awal obrolan bersama ibu tadi. Saya bertanya juga pada teman ini, yang ternyata sudah membawa dua orang teman satu ruangan untuk donor juga kemarin. Jadi, demi kelancaran operasi tersebut yang membutuhkan tambahan darah, teman ini harus swalayan, mencari sendiri darah yang dibutuhkan. Begitupun dengan sang Ibu tadi. Menjadi bertanya-tanya, demikian tipis kah stok darah? Sehingga keluarga pasien harus mencari sendiri?

Semoga saja, ini bukan pengalaman saya yang pertama dan terakhir. Semoga saja saya tetap sehat sehingga darah saya aman buat didonorkan. Seperti kutipannya : Setetes darah Anda membawa kehidupan bagi sesama.

Lucy : A Female 'Limitless'

Bagaimana jika manusia, yang selama ini dibilang baru menggunakan 10% kemampuan otaknya, ternyata bisa menggunakan hingga 100%? Itulah tema utama dari film ini.

Lucy, bercerita tentang seorang perempuan biasa bernama Lucy (Scarlett 'ScarJo' Johansson) yang sedang kuliah di Taipei dan dalam sebuah kesempatan harus dengan terpaksa membawa sebuah koper kepada seorang mafia bernama Mr. Jang (Choi Min Sik) yang berisi sebuah narkotika jenis baru yang akan diedarkan ke Eropa. Bersama tiga orang lainnya, perut mereka dibedah dan diisi dengan narkotika berlabel CHP4 tersebut untuk diselundupkan ke Amerika, Italia, Jerman, dan Perancis.

Dalam sebuah sekapan sekelompok preman, Lucy dipukuli yang membuat kemasan narkotik tersebut bocor dan mengkontaminasi tubuhnya, membuatnya mampu meningkatkan kemampuan penguasaan terhadap otaknya sehingga ia bisa dengan segera menggunakan senjata, berkelahi, berbahasa Mandari, dan lain-lain. Dalam sebuah kecelakaan tersebut, ia tiba-tiba menjadi seperti super hero.

.....

Sebuah obat-obatan ternyata mampu meningkatkan kemampuan pemakainya secara signifikan? Bukan sesuatu yang baru sebenarnya. Dalam sebuah film, Limitless (2011) yang diperankan oleh Bradley Cooper juga telah digambarkan bagaimana hanya dengan mengkonsumsi obat tertentu, ia bisa dengan segera menjadi lebih cerdas, lebih kuat, dan lebih cepat. Lalu apa yang membuat Lucy menjadi berbeda?


Faktor utama tentu pada tokoh utama, Scarlett Johansson, yang memang telah menarik perhatian peminat film, terutama sejak perannya sebagai Black Widow dalam The Avengers semakin membuat kehadirannya semakin dinanti. Lagipula, tokoh utama perempuan sebagai jagoan, di luar genre young-adult seperti Hunger Games ataupun Divergent masih jarang.

Yang kedua adalah hipotesis mengenai kemampuan manusia yang baru menggunakan 10% kemampuan otaknya, dan kemungkinan yang akan timbul jika manusia bisa memaksimalkan semua potensi otak. Untuk memberikan gambaran pemahamannya, film ini menggunakan karakter Profesor Samuel Norman (Morgan Freeman) yang memberikan presentasi tentang otak manusia dalam sebuah kelas seminar.

Berbeda dengan Limitless, Lucy dilengkapi dengan tampilan visual mirip seperti film superhero terbitan Marvel atau lainnya, yang sayangnya justru kurang ditunjang dengan penceritaan yang kuat. Kehadiran sosok polisi Pierre del Rio (Amr Waked) sebagai partnernya untuk mencapai misi malah terkesan basa basi, mengingat dengan kemampuannya dalam telekinesis yang menandingi kehebatan Prof. Xavier dari X-Men, ia justru harus mengorbankan banyak polisi untuk menghadapi serbuan Mr. Jang dan anak buahnya.

...

'Aku tidak bisa merasakan sakit, tidak memiliki keinginan. Aku tidak merasa bahwa aku manusia' Dalam prosesnya mencapai 100% kemampuan otaknya sebagai manusia, ditunjang dengan kemampuan super yang luar biasa, Lucy justru merasa bahwa ia tidak menjadi manusia seperti adanya. Ketika ia bisa mengingat rasa saat ia bahkan masih bayi, ia justu tidak bisa benar-benar merasakan. Pertanyaannya, apakah memang dengan menguasai diri, dalam hal ini kemampuan otak, hingga 100%, membuat manusia benar-benar menjadi manusia. Seperti pertanyaan Lucy pada Prof. Norman, "Lalu apa tujuanku hidup?"

Ya, untuk apa kita hidup?

Friday, August 29, 2014

'Tarian Uang'

Pagi-pagi mendapati kicauan dari Ust. Hatta Syamsudin yang posting cerpen terbarunya, langsung saja teringat dengan cerpen fenomenalnya dulu : Tarian Uang.

Cerpen ini menjadi fenomenal, setidaknya buat saya, karena memberikan gambaran yang manis akan pertarungan antara idealisme dengan realitas yang ada di dunia kerja, khususnya yang saya hadapi. Ya, saya menjalani sebagaimana Beliau dahulu jalani, sehingga saya sangat memahami 'kisah nyata' yang terkandung di dalam cerita itu.

Dahulu, saat modernisasi diketok palu berlaku nasional pada Tahun 2008, saya pikir itulah saat berubah buat semuanya. Saat dimana revolusi integritas menemui momentumnya. Saat di mana orang baik tak lagi menjadi oknum. Sebuah mimpi indah bagi kita semua. Sayangnya, hingga saat ini, justru terjadi semacam kejenuhan revolusi. Ketika gerakan menjadi baik, entah mengapa terbentur oleh kebijakan dan peraturan yang justru mengekang dan mengebiri berbagai kebaikan-kebaikan tersebut. Lalu, seketika modernisasi seolah berjalan mundur. Maka, ketika bicara cerpen itu, uang seolah kembali lagi. Menari di batas imajinasi, menggoda, merayu, membujuk, memaksa, bahkan mengikat.

Wednesday, June 18, 2014

Tentang lebaran, tentangmu

Menjelang Ramadhan tiba, maka yang kuingat adalah dirimu. Ya, dirimu yang pada akhir puasa lalu masih di sini. Yang menjelang lebaran tiba masih bersama keluargamu cari-cari baju di Mal PTC. Dirimu yang bertanya pada Mama, "Siapo bae yang balek lebaran ini?"

Ya, aku menggenapimu, dengan aku dimutasi kemari, maka jadilah dirimu mengagendakan lebaran di sini.
Bersama orang tua kita. Begitulah. Saat saudara-saudara kita memang masih jauh di sana, kita bisa berkumpul menemani orang tua kita, pada lebaran yang semakin sepi, di saat masing-masing kita justru telah memberikan cucu buat mereka.

Tergelitik hati pagi ini. Membuka lagi akun facebook-mu. Tidak ada yang baru darimu, tentu saja. Masih menghadirkan tangis itu, titik air mata masih jatuh. Yah, dirimu tentu akan berpuasa dan lebaran di tempat yang jauh lebih baik saat ini. Dan sepertinya hanya ada aku di rumah orang tua kita lebaran ini.

Monday, April 7, 2014

Catatanku Tentangmu

Pada kesempatan pertama, aku memang tidak pernah membayangkan bahwa itu semua pertanda
Apakah kau percaya akan pertanda kematian seseorang ?
Aku tidak
Bagiku, itu hanya kebetulan yang dipaksakan
Kesamaan yang dikarang
Selalu ada yang pertama untuk semua hal
Namun, semua percakapn itu nyata, bahkan beberapa saat sebelum kabar itu tiba
Dialog itu
Bahkan hingga detik terakhir masih terngiang
Hanya dalam imajinasiku
Tapi benderang layaknya dirimu di sini
Aku tak suka bilang jika itu pertanda
Aku yang paling beruntung, kan?
Masih bisa jumpaimu lebaran kemarin
... Lihat bagaimana orang tua, dalam kondisi apapun, senantiasa memberikan hikmah kebajikan
Beginilah orang tua mengajarkan
Tumpahkan semua sedih, duka, nestapa
Pada Tuhan semata
Basahi sajadah
Tunduk khusuk
Bukan update status !
Dan, andai kau bisa lihat, kita semua berkumpul, di saat yang seharusnya lebaran fitri lalu akan sangat manis jika kita bisa berkumpul
Jika hari raya berarti berkumpulnya keluarga, sanak saudara
Maka kematian layak disebut sebuah perayaan
Kembalinya dirimu adalah kembalinya kami
Bagaimana sholat menjadi begitu sangat bermakna, tidak hanya soal penyembahan, tapi kekeluargaan
Kembali sholat maghrib berjamaah
Setelah belasan tahun
Tak ada dirimu dalam shaf
Namun, anak-anakmu telah menggenapkannya
Penuh hikmah dalam kepergianmu
Maka doa kami, semoga dirimu tenang di sana, dengan segala keluasan dan terang benderang amalmu, hingga waktu tiba
Dikatakan, hujan adalah tangga rahmat-Nya
Maka ijinkanlah doa-doa kami menapakinya
Gaung Surah Yasin menjejak padanya
Hingga, sampai pada-Nya untuk dirimu
Semoga Ia senantiasa memberikan cahaya, kelapangan, dan rahmat-Nya padamu
Tulisan ini pernah dimuat di sini : https://www.facebook.com/notes/ahmad-fajar-septian/catatanku-tentangmu-10-11-2013/10151919862803673

Pencitraan

Sekarang sih jamannya pencitraan. Gak ada hubungannya juga sama Pemilu 2014. Memang pada dasarnya manusia ini kan mau dilihat dan dinilai oleh orang lain. Betapapun dalil kaidah ikhlas bicara.

Instansi ini, kaya dengan pencitraan, sementara penghasilan pegawainya gak naik naik selama 10 tahun. Diri ini, apalagi, berusaha untuk diliat baik, demi satu hal : Nama Baik

Terkadang, urusan nama baik ini bukan tentang diri kita, tapi justru nama baik orang lain. Orang tua, itu yang biasanya. Tidak ada nama yang jauh lebih baik untuk dibela selain orang tua. Maka, apa pun tindak tanduk kita, biasanya akan dibandingkan dengan nama baik orang tua kita. Kalo orang tua kita punya nama yang baik bagi masyarakat, biasanya, kita wajib menjadi baik, bahkan diri ini semacam tidak rela melakukan sesuatu yang buruk. Kalo orang tua namanya tidak baik ? Ya, begitulah ...

Sekarang, akankah urusan nama baik orang tua menjadi batas nilai nilai diri kita ? Atau, sudah kah kita memiliki nama baik sendiri di hadapan masyarakat ? Atau memang kita tidak peduli dengan pikiran dan pandangan orang laen ?

2014

Setelah hibernasi terlalu lama, ada keinginan buat menulis lagi di sini. Baiklah, kita mulai saja. 1 .. 2 .. 3 .. . . . . . . . Zzzzzzzzzz #masih gak ada ide, haha ....