Thursday, October 13, 2016

Inferno : (Semoga) Bukan Neraka Bagi Franchise Film Langdon

Setelah Da Vinci Code dan Angel & Demon, film ketiga tentang Robert Langdon pun diangkat. Kali ini adalah Inferno, buku yang paling akhir diterjemahkan dan beredar di Indonesia. Bagaimana Ron Howard mengadaptasinya kali ini?

----

Seperti dikisahkan pada bukunya, Langdon terbangun di sebuah Rumah Sakit dalam kondisi terluka tanpa memiliki ingatan bagaimana ia bisa tiba di sana. Dan seketika ia harus berhadapan dengan polisi yang tiba tiba menembakinya. Dibantu sang dokter, Sienna Brooks, ia pun melarikan diri. Di tengah pelariannya, ia mendapati sebuah petunjuk, petunjuk Faraday, yang berisi sketsa lukisan Boticelli. Lukisan yang menggambarkan neraka versi penyair kenamaan Italia, Dante. Menyadari ada petunjuk di dalam lukisan itu, Langdon, bersama Brooks, berkelana ke penjuru Italia hingga tiba di Istanbul untuk mengupas misteri mengerikan : pemusnahan umat manusia.

----

Mengangkat kisah dari novel Dan Brown, dibutuhkan kejelian yang sangat karena cerita cerita yang disusun memuat deskripsi yang sangat detil. Sebuah keunggulan bagi setiap novel karyanya. Pada sisi lain, kisah yang harus diangkat harus menghadirkan konflik sedemikian rupa agar dapat memenuhi durasi yang tepat. Ron Howard, setelah menangani dua film sebelumnya, seolah belajar dari pengalaman. Alih alih terjebak dalam deskripsi, katakanlah seperti Da Vinci Code, ia langsung masuk dalam kisah pelarian sekaligus pemecahan misterinya. Langdon dan Brooks dikisahkan langsung menuju kastil untuk mencari topeng Dante, langsung ke bagian pertengahan buku, juga dengan 'pace' yang cukup tinggi. Menghadirkan ketegangan yang instens. Satu sisi yang sangat beresiko.

Seperti disinggung sebelumnya, film ketiga Langdon kali ini justru sangat minim informasi deskripsi detil. Padahal jika membaca novelnya, dengan ditemani mesin pencari pada laptop atau gadget, kita akan dapat semakin menikmati keindahan detil dari lukisan neraka Boticelli/Dante. Atau topeng Dante, atau keindahan museum, dan lain lain. Sayang, pada film ini semuanya sepintas lalu saja. Kemistri di antara Langdon dan Brooks pun tak terjalin. Sobrist, sebagai antagonis, juga seolah sempalan. Belum lagi WHO sebagai lembaga kesehatan yang membuat kita bertanya tanya, "Apa yang dilakukan organisasi ini? Mengejar ngejar orang dengan senjata api?"

----

Ide Sobrist, mengenai manusia sebagai wabah bagi kehidupan, sejatinya bukanlah sesuatu yang baru, setidaknya dalam film. Penambahan populasi yang berlipat lipat dalam kurun waktu singkat, menghabiskan tak hanya ruang untuk tinggal namun juga sumber daya untuk penghidupan. Hingga yang terjadi adalah pemusnahan kehidupan yang lain. Meski terdengar ekstrem, "Apakah kita harus menderita sekarang dengan jutaan kematian, atau kemusnahan manusia dalam 100 tahun?", jelas menjadi tanda tanya menarik, Apa yang akan dilakukan umat manusia andai mereka tahu akan punah? Apakah berdiam diri? Atau justru melipatgandakan usaha pelestarian diri?

Tuesday, August 2, 2016

Jason Bourne : Saat Sang Agen Super Mulai Lelah




Setelah sepuluh tahun, Matt Damon kembali sebagai Jason Bourne. Dengan kembali digawangi Paul Grengrass di kursi sutradara, diharapkan saga Bourne kembali ke jalurnya setelah sempat 'flop' dengan Bourne : Legacy.

------
Berkisah sepuluh tahun sejak ia menghilang dan mengasingkan diri ke dunia bawah tanah, Bourne kembali masuk radar CIA ketika Nicky Paarson terungkap menyusup dalam informasi rahasia CIA dan berusaha menjual dan membongkar informasi tersebut. Sejak program Threadstone hingga yang terbaru Iron Hand. Bourne, di satu sisi, telah mengingat kembali siapa dia sebenarnya sebagai seorang David Webb.

Usahanya menyelamatkan Nicky berujung pada sebuah fakta mengejutkan, ayahnya adalah otak di balik proyek Threadstone yang telah merekrut dan menjadikan dirinya mesin pembunuh yang efektif. Dengan ingatannya yang telah kembali, ia memburu mereka yang berada di belakang proyek tersebut. Namun usahanya kali ini tidak mudah. 

Direktur CIA Robert Dewey (Tommy Lee Jones) bukanlah orang sembarangan. Ditunjang direktur analis kejahatan siber Heather Lee (Alicia Vikander), Bourne kali ini berhadapan dengan lawan dan medan tempur yang sama sekali baru. Bukan hanya soal kecanggihan teknologi CIA yang sudah sangat terkenal, tapi kemampuan analisa siber dan pemanfaatan media sosial membuat Bourne harus mengatur langkah dengan cermat. 

-------

Setelah banyak yang dikecewakan (termasuk saya) akan hadirnya Bourne Ultimatum, kehadiran Jason Bourne 'asli' versi Matt Damon ini seharusnya bisa menyembuhkan kekecewaan tersebut. Dengan segala hormat kepada Ian Flemming dan James Bond-nya, Matt Damon dan Paul Greengrass telah menghadirkan spy movie ke level yang berbeda melalui Jason Bourne, sehingga wajar bagi saya untuk menyebut, tidak ada film agen mata mata terbaik selain Bounre, yang kali ini adalah film keempat yang dibintangi oleh Damon. 

Masih dengan plot yang sama dengan film film sebelumnya, dengan musuh berupa para pejabat CIA dengan segala rahasianya, aset yang siap memburunya ke mana saja, dan agen baik yang membantunya. Sentuhan baru dan kekinian tak terlewatkan pada kesempatan kali ini. Upaya CIA dengan proyek Iron Hand yang melibatkan teknologi dan media sosial adalah bentuknya. Selain itu, Heather Lee sebagai kepala divisi siber juga menunjukkan bahwa dunia telah berubah sedemikian rupa. Semua update ini semakin membuat film ini mengikuti jamannya. 

Sayangnya, jika memang harus dibandingkan, film keempat ini masih belum bisa menyamai level ketiga film sebelumnya. Damon jelas semakin menua, seolah sama dengan Liam Neeson di Taken 3 dan Tom Cruise pada Rogue Nation. Porsi aksi kali ini tidak intens lagi. Namun sinematografi dan naskah menyelamatkannya. Si cantik Julia Stiles pun seolah disia-siakan begitu juga, dengan porsi peran yang jsutru tak lebih banyak dibanding film sebelumnya. Sementara aset, yang biasanya bergerak sendiri, kali ini justru sangat terikat dengan perintah Dewey, yang seolah sangat yakin bertelepon ria di saluran aman. Heather Lee, pada sisi lain, banyak yang mempertanyakannya. Usia semuda itu namun menjadi orang kedua tertinggi di CIA?

------

Mengingat sesuatu, semua di masa lalu, tak serta merta membuat Bourne memahami apa yang telah terjadi. Ketika kematian sang ayah menjadi misteri baginya, jalan kembali adalah menelusuri masa lalu dan menerima semua kenyataan, sepahit apa pun.

Tuesday, July 12, 2016

Legend Of Tarzan : Remake-Sekuel Yang (Seharusnya Bisa) Lebih Bagus

Tarzan, sebuah kisah yang melegenda tak lekang oleh masa kembali diangkat ke layar lebar dengan mengusung judul yang menegaskan statusnya : Legend. Tak hanya me-remake, film ini mencoba mengangkat satu sisi hidup seorang Tarzan setelah ia menjalani kehidupan dalam peradaban barat.

---

Tarzan (Alexander Skarsgard) atau dengan nama aslinya John Clayton III hidup bersama sang istri, Jane (Margot Robbie), di Inggris dengan tenang dan damai. Namun tak perlu lama kemudian tiba undangan dari King Leopold dari Belgia yang menguasai tanah Kongo di Afrika. Sementara pihak kerajaan Inggris berkepentingan terhadap kependudukan tersebut, Tarzan diminta untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat Kongo di bawah kendali kerajaan King Leopold tersebut. Semula menolak, George Washington Williams (Samuel L Jackson) membujuknya untuk tetap berangkat memenuhi undangan tersebut karena ia yakin ada sesuatu yang busuk yang harus ia ungkap pada dunia.

Sementara di Kongo, Leon Rom (Christoph Waltz) menjadi orang kepercayaan King Leopold dari Belgia untuk membangun pasukan dan mengeruk kekayaan di sana guna menutup kebangkrutan yang diderita negaranya. Menyewa 20 ribu bayaran membutuhkan dana yang tidak sedikit, dan Rom mengetahui bahwa terdapat berlian Opar yang mampu membayar semua kebutuhannya tersebut. Sayangnya berlian itu dikuasai oleh Mbonga (Djimon Honsou) yang menghendaki balas dendam terhadap Tarzan. Maka, diaturlah siasat oleh Rom agar Tarzan kembali ke tanah Afrika.

Kembali ke Afrika, bersama sang istri, Jane, dan ditemani George, Tarzan bertemu dengan masa lalunya, suku yang telah menerimanya sebagai manusia, dan keluarga keranya. Pertemuan yang berarti banyak karena kekacauan yang dibawa Rom mengancam kelangsungan hidup dengan perbudakan dan eksploitasi atas nama kemajuan dan peradaban. Sekali lagi, Tarzan sang Raja Rimba menunaikan tugasnya melindungi tanah Afrika dari tangan tangan serakah, sekaligus mempertahankan orang yang dicintainya.

---

Setelah sebelumnya penikmat film disuguhi kehidupan rimba oleh The Jungle Book, maka sulit untuk tidak membandingkan Legend of Tarzan ini dengan film tersebut. Film ini nyatanya tak kalah memanjakan mata dengan CGI yang wah untuk visualisasi hewan dan alam hutan yang hijau, dalam artian, sama seperti TJB, film ini tidak menggunakan satu hewan buas hidup pun. Dan lagi lagi, kita seolah tak mampu membedakan antara nyata dan efek spesial di sini. Benar benar spesial!

Kisah ceritanya sendiri memiliki premis yang menarik. Tak mengulang secara bulat kisah Tarzan sang anak terlantar yang diperlihara kawanan kera, film ini menceritakan bagaimana Tarzan hidup beberapa tahun setelah kepulangannya ke peradaban barat dan menjadi sensasi di sana. Namun sepertinya penulis skenario tak memiliki pilihan lain kecuali mengulang kembali kisah lama tersebut melalui jalinan kilas balik dan cerita yang berkembang menuju pengulangan.

Setelah ditopang efek CGI yang melimpah, adegan aksi seharusnya menjadi prioritas selanjutnya, yang sayangnya justru menjadi kelemahan. Beberapa adegan baku hantam seolah tak penting, dikemas seadanya dengan koreografi yang lemah, membuat kita bertanya tanya, sehebat dan sekuat apa sebenarnya sosok Tarzan yang melegenda ini? Tak terkecuali pertarungannya melawan Mangani, sang penguasa kera, seharusnya bisa menjadi lebih epic. Bagaimana kemampuannya sebagai Raja Rimba memimpin hewan buas juga hanya membuat penasaran tanpa kepuasan. Pada bagian ini, sangat wajar jika penonton mendapati kekecewaan.

---

Kembali ke 'akar', kembali ke tempat di mana tumbuh dan berkembang, Tarzan menemukan kembali jati dirinya. Bukan sebagai selebritis atau bintang pertunjukan, melainkan sebagai manusia. Sebagai Raja sekaligus pelindung bagi bangsanya.

Friday, June 24, 2016

Independence Day : Resurgence. Sekuel 'Nanggung' Berbujet Besar

Setelah dua puluh tahun, sekuel dari film legendaris The Independence Day (1996) akhirnya hadir ke layar lebar. Bertajuk Independence Day : Resurgence, film ini, seperti banyak disebutkan berbagai sumber, mengambil masa sama persis dengan kondisi nyata, yaitu dua puluh tahun setelah percobaan invasi alien pada Tahun 1996.

Setelah invasi tersebut, manusia bumi hidup bersatu dalam damai. Meski begitu, mereka sadar akan adanya ancaman dari luar angkasa, sehingga dengan memanfaatkan teknologi alien yang tertinggal, mereka memajukan teknologi umat manusia, khususnya militer dalam perlindungan diri. Pos pos penjagaan dibangun di orbit Saturnus dan Bulan. Di bulan inilah, terdapat Jake (Liam Hemsworth), pilot urakan namun dapat diandalkan oleh Direktur Levinson (Jeff Goldblum). Selain itu terdapat Dylan (Jessie T. Usher) yang merupakan anak dari Pilot Tempur Hiller (dahulu diperankan oleh Will Smith). Namun masa damai mereka tak berlangsung lebih lama. Ternyata sinyal pertolongan telah dikirimkan dari bumi ke markas para alien sebelum mereka dihancurkan. Dan pasukan yang lebih besar pun datang. Satu per satu pos penjagaan jatuh, dan mereka menggantungkan harapan pada satu pesawat alien asing yang diselamatkan oleh Levinsone.

***

Masih menggunakan premis yang sama, sebuah sekuel tentu harus menawarkan sesuatu yang lebih megah dan lebih besar. Dari jajaran bintang, nyaris tidak ada perubahan signifikan kecuali penambahan karakter yang lebih muda. Sementara dalam efek khusus tentu ada peningkatan dibandingkan dua puluh tahun lalu. Namun apakah itu cukup?

Jika menilik cerita, bisa dibilang jalannya sungguh membosankan. Terkecuali unsur nostalgia, sejatinya tidak ada yang benar benar baru di sini. Bahkan horor akan serangan alien pun tidak terasa. Seolah hanya numpang lewat saja. Padahal masif benar serangannya. Pesawat yang begitu besar justru tak ditopang oleh pasukan pesawat tempur yang meneror manusia. Seakan bola besar yang menunggu dihancurkan. Biaya 200 juta dolar katanya yang digunakan untuk film ini tak tergambar dari efek khusus yang ditampilkan. Kurang wah dan megah, kurang ramai, kurang memberikan kemewahan sinematik.

Independence Day identik dengan pidato mengagumkan dari Presiden Withmore (Bill Pullman). Dan, meski sutradara mencoba untuk memainkan lagi trik ini, mereka gagal. Bisa jadi memang orang yang sama tidak bisa memberikan impak yang sama. Sementara emosi justru gagal terbangun. Withmore dan sang putri adalah objek menarik bagaimana seharusnya sebuah hubungan emosional dibangun dalam jalinan cerita. Sayangnya dangkal dan garing. Pun begitu dengan sang putri dengan Jake, sebagai sepasang tunangan. Bahkan ketika Dylan harus kehilangan sang Ibu dalam serangan alien, hapus begitu saja.

***

Sekali lagi, Independence Day mencoba mengajak penonton untuk merenungkan betapa pentingnya nilai kemanusiaan. Perbedaan ras, negara antar bangsa, dan agama tak seharusnya menjadi pembeda. Apalagi ketika ada musuh yang sama yang mengancam kelangsungan hidup manusia itu sendiri.

***

Sebagai sebuah tontonan. film ini cukup menarik, namun tak mampu mengungguli film pertama, kecuali dari teknologi yang digunakan saja. Tak perlu berharap terlalu banyak. Meski kreator filmnya optimis dengan memberikan kemungkinan munculnya sekuel kedua.

Thursday, June 9, 2016

Now You See Me 2 : Selalu Ada Sesuatu Di Balik Yang Terlihat

Setelah menyaksikan Now You See Me pada tahun 2013 lalu, apakah Anda cukup puas dengan konklusi filmnya? Masihkah Anda merasa ada hal hal penting yang belum diceritakan? Atau Anda termasuk yang berpikir, "Oke, sudah baik seperti ini saja". Jika Anda termasuk yang menginginkan lebih dari kisah Atlas dkk, maka tahun ini rasa penasaran Anda akan terpuaskan.

---

Dikisahkan, berjarak satu setengah tahun sejak mereka menghilang selepas aksi terakhirnya, The Four Horsemen masih menjadi buronan FBI sehingga harus bergerak di diam diam. Atlas, dalam hal ini, mulai tidak sabar untuk segera tampil. Namun Dylan mendesak mereka untuk tetap sabar menunggu perintah The Eye selanjutnya. Dan perintah itu akhirnya tiba.

Sebuah perusahaan teknologi komunikasi bernama Octa disinyalir hendak menjual data pribadi pengguna jasa mereka pada pihak luar. The Eye memerintahkan para Horsemen untuk memboikot acara peluncuran program terbaru sekaligus mengungkap modus kejahatan Octa dan pemiliknya, Owen Case. Menggenapi anggota keempat, hadir Lula menggantikan Henley. Sementara FBI masih terus memburu mereka. Namun apa yang bisa dilakukan FBI jika agen terdepan mereka, Dylan Rhodes, adalah justru penghubung antara The Eye dan Horsemen? Sementara, Thadeus Bradley telah mengeluarkan ancamannya dari dalam penjara untuk membalasa perlakuan Dylan dkk.

Seketika, saat mereka memboikot acara Octa, justru mereka diboikot balik dan diculik oleh Walter Mabry, mantan rekanan Case yang juga pendiri Octa, yang diklaim telah mati setahun sebelumnya. Walter menginginkan Chip yang dimiliki Octa untuk keuntungan dirinya dan ia menyuruh Horsemen mengambil chip tersebut. Maka para Horsemen dihadapkan pada situasi harus mencuri kembali untuk kepentingan orang yang lebih jahat. Namun apa motif Walter sebenarnya? Lalu apa hubungannya dengan Dylan dan Thadeus?

---

Setelah penyajian yang menawan akan dunia sulap yang berbeda dibandingkan The Prestige dan The Illusionist yang cenderung kelam dan kejam, kali ini sebuah sekuel dihadirkan. Harapan dari sebuah sekuel tentu lah lebih baik, entah lebih besar, lebih mewah, lebih banyak aksi, dll. Pilihan jatuh pada lebih banyak lagi karakter yang dominan bermain di sini.

Lawan berat kali ini tidak berada pada pundak Bradley, yang perannya dalam kisah kali ini masih misterius, apakah berpihak pada Horsemen atau memang hendak menjatuhkan mereka. Sementara Mark Ruffalo sepertinya sudah kehilangan kharismanya, baik sebagai Dylan agen FBI yang cerdas maupun Shrike pemimpin Horsemen. Sejujurnya, semua karakter tersebut tereduksi yang bisa jadi akibat harus memberikan porsi yang lebih besar. Salah satunya tentu Daniel Radcliffe yang berperan sebagai Walter, jenius teknologi namun juga berperilaku menyimpang. Belum lagi kehadiran Jay Chou sebagai penjaga toko alat sulap yang patut dinanti peran dan kemampuannya.

Menyajikan trik dan permainan muslihat lebih besar dari film awal adalah sebuah tantangan. Sayang, bagi mereka yang berharap serupa (termasuk saya), bisa jadi kekecewaan yang muncul. Efek kejutan seolah sudah terantisipasi meski kita tetap bertanya tanya, "Bagaimana cara melakukannya?". Yang menarik adalah semua keraguan dan pertanyaan tersebut seolah sudah dijawab dari dialog dialog cerdas yang dibangun para karakter. Sayang memang, seolah pembuat film tau pikiran penonton, namun kurang lugas dalam mengeksekusi.

Hal positif dalam sekuel kali ini tentu kehadiran Lizzy Chaplan sebagai pesulap keempat yang justru menarik perhatian dengan karakter uniknya. Mckinney mendapati lawan sepadan. Kekocakan yang dibuatnya masih mengundang tawa. Sebaliknya, seperti diulas diatas, Ruffalo dan Eisenberg  malah meredup. Tidak dalam artian mengurangi pesona persona mereka, tentu saja.

Sebagai sebuah film dengan paket hiburan yang kental namun juga memancing untuk berpikir, film ini layak tonton. Lebih wah, namun tak jauh lebih baik daripada film pertamanya.

---

Selalu ada sesuatu di balik yang terlihat di permukaan.
Sebuah nasihat sekaligus pelajaran terutama bagi Dylan, dan semua pesulap, bahwa terdapat trik di balik trik, dan harus senantiasa ada rencana cadangan. Faktanya, banyak hal memang dalam hidup yang tak seperti yang terlihat. Pertunjukan sulap yang menipu mata adalah hasil kreasi latihan berulang selama bertahun tahun, kadang bertemu kecanggihan sains, yang sayangnya tak pernah kita hargai prosesnya. Jika kita merasa telah tau sesuatu, semua hal, maka sadarilah, belum semua hal kita tau.

Tuesday, May 24, 2016

Self/Less : Dirimu Bukanlah Milikmu

Betapa pun hebatnya seseorang. Walau ia berada di puncak dunia, pada akhirnya ia tak mampu melawan kenyataan. Tubuhnya memiliki batasan dan akan mati. Lalu bagaimana jika ada orang yang bisa menyediakan sarana untuk melawan kematian tersebut? Berapa harga yang harus dibayar untuk itu?

---

Damian Hall (Ben Kingsley) adalah seorang pengusaha dengan keberhasilan luar biasa. Terbaik dan terhebat. Meski begitu, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia mengidap kanker. Usianya bahkan tak lebih dari enam bulan lagi. Sementara, ia masih memiliki persoalan yang belum terselesaikan dengan putri satu-satunya, Claire. 

Di tengah keputusasaannya, ia ditawarkan seorang peneliti bernama Albright (Matthew Goode) sebuah solusi medis yang masih sangat rahasia. Sebuah teknik "shedding", yaitu memindahkan kesadarannya pada tubuh orang lain, yang lebih sehat dan kuat. Membayar mahal untuk itu, Damian menerima tawaran dan memulai proses pemindahannya. Setelah proses rehabilitasi yang demikian panjang, Ia akhirnya kembali ke dunia nyata untuk hidup sebagai Edward Skinner (Ryan Reynolds). Berkewajiban meminum pil tertentu setiap periodik, ia akhirnya terlupa dan memberikan efek luar biasa. Mimpi buruk yang teramat nyata. 

Menelusuri mimpi, Damian mendapati bahwa sebenarnya adalah ingatan yang tersisa dari tubuh orang yang ia gunakan saat ini. Maka ia, melompati semua prosedur pengobatan, berbalik melawan Albright, untuk mencari fakta akan siapa sesungguhnya Edward ini.

---

Melawan kematian dan menuju kebadian bisa jadi impian banyak orang. Tema ini pun maka sangat menarik untuk selalu diangkat dan diulang dalam berbagai film. Mengedepankan dunia medis dan teknologi yang maju, keabadian ditawarkan dengan menggunakan tubuh orang lain yang telah didonorkan kepada pengguna. Hanya dengan memindahkan ingatan dan kesadaran pengguna saja. Simpel. 

Film ini, dengan tema yang sangat menjanjikan, sayangnya gagal di banyak lini. Teknik shedding yang dilakukan seolah hanya MRI Scan belaka, tak ada singgungan akan kecanggihan dan teknologi apa pun. Seolah hanya dengan menjentikkan jari dan "voila!", semua terjadi. Pergulatan etis, yang awalnya seolah hendak diangkat melalui pertanyaan Albright, "Kau mengajukan pertanyaan yang salah", pun memudar begitu saja. Motif Albright masih samar, apakah keuntungan finansial, idealisme, atau lain lain. Begitu juga dengan Skinner, yang dalam penglihatan Damian telibat dalam peperangan. Mengapa ia terpilih? Acak kah? Kebetulan kah jika ia memiliki kemampuan taktis militer? Yang sayangnya menjatuhkan film ini dalam kisah action standar. Tembak menembak dan selesai. 

---

Pada akhirnya, Damian sadar ia harus mengembalikan apa yang bukan menjadi miliknya, dan memberikan kepada orang lain apa yang sudah menjadi hak mereka. Mengembalikan Edward kepada keluarganya. Memberikan kepada putrinya, Claire, apa yang tak pernah ia sampaikan secara langsung semasa hidupnya. Dan secara etis menghadapi fakta, ia tak bisa hidup abadi tanpa mengambil kehidupan orang lain. Dan, bukankah kita semua begitu?

Monday, May 16, 2016

Solace (2015) : Memahami Masa Lalu dengan Melihat Masa Depan

Seorang agen FBI sekaligus doktor dan juga paranormal dalam satu karakter? Bisa jadi ini premis yang menarik. Dan memang, trailernya saja sungguh menggoda. Belum lagi aktor utamanya adalah Anthony Hopkins dan Colin Farrell. Bagaimana hasilnya?

---

Anthony Hopkins berperan sebagai John Clancy, seorang agen FBI yang mengundurkan diri dan memilih menyepi setelah dirundung kesedihan mendalam akibat kematian putrinya karena leukimia. Di saat bersamaan, Joe (Jeffrey Dean Morgan), sahabatnya yang juga agen FBI sedang menghadapi kasus yang pelik. Sebuah pembunuhan serial yang rapi dan misterius. Ditemani mitranya, dr. Cowles (Abbie Cornish), mereka berdua memaksa John untuk kembali ke lapangan, mencari hal hal yang terlewat dari perhatian mereka. Ini berkat kemampuan John untuk 'melihat' masa lalu dan mendatang sekaligus. Sesuatu yang awalnya dengan skeptis dihadapi Cowles.

Kasus pembunuhan serial ini juga membangkitkan ingatan John akan kematian putrinya yang sudah lama. Bersamaan dengan itu, sang pembunuh, Charles (Colin Farrell), ternyata memiliki kemampuan paranormal yang sama dengan John, bahkan lebih baik lagi. Motifnya yang unik dan misterius membuatnya selalu berada beberapa langkah di depan FBI yang mengincarnya. Pengejaran yang John lakukan yang membawanya kepada fakta sebenarnya akan kematian sang putri.

---

Berperan sebagai agen FBI dengan kemampuan paranormal yang mampu melihat masa depan, Hopkins mengulang peran karakternya sebagai dr. Hannibal Lecter dengan sempurna. Kesan çreepy' masih terasa meski di sini dalam posisi protagonis. Mungkin tak terbayangkan bagaimana ia, dengan usia setua itu, akan beradu aksi dengan Colin Farrel. Tenang, karena memang tak ada. Bukan aksi kebut-kebutan, berkelahi, atau pun tembak-tembakan yang menjadi menu utama film ini. Meski darah tetap saja tumpah. Peran seolah fotokopi ini, meski bagus, justru seolah menghilangkan nyawa dari film ini sendiri. Silence of The Lambs wannabe, mungkin? Ditimpali dengan Abbie Cornish sebagai dr. Cowles yang sebelas dua belas dengan det. Starlingnya Jodie Foster. Selesai sudah.

Tema cerita sendiri sungguhlah menarik. Sayang, sinematografinya, yang berusaha menampilkan 'penampakan' dari John, justru mengganggu. Serial tv Hannibal bahkan lebih baik dalam menggambarkan sebuah 'penglihatan'. Padalah semua yang ditampilkan dalam penglihatan tersebut dibutuhkan dalam bangunan cerita secara keseluruhan. Termasuk teka teki akan kematian putri John. Apakah itu sebuah teka-teki yang coba dihadirkan pada penonton, atau memang hanya serangkaian alur cerita saja? Meski memang, twist yang dihadirkan cukup memberikan kejutan, ketika penonton seperti saya sudah kepalang mencoba menebak maksudnya.

---

Kehilangan putri satu-satunya yang begitu ia sayangi dengan cara yang tragis, berpisah dengan istri tercinta karenanya, membuat hidup John Clancy lebih sepi dari sunyi. Tanya dan simpati dari orang sekitar tak lebih menghibur, meski masih juga meninggalkan luka dan misteri. Dan, John harus menghadapi kenyataan jika setiap korban Charles adalah mereka yang sedang sekarat, putus asa dalam hidupnya, kesakitan dalam kenyataannya. Dilema John, sebagai penegak hukum sekaligus sebagai ayah, dihadirkan dengan apik di sini. Bagaimana ia memutuskan dilemanya, menjadi konklusi film ini. Termasuk kematian sang anak.

---

"Aku memberikan mereka kematian yang cepat. Meringankan mereka dari sakit dan sekarat". Charles, meski memberikan kematian bagi mereka yang merasa membutuhkan, tetap menolak tudingan John bahwa ia sedang "playing God". Dan bahkan dalam titik etis sekali pun, seseorang dengan wewenang penuh, terkadang terdorong kuasa yang ia miliki untuk bermain-main sebagai tuhan. Mungkin kita salah satunya.

Sebagai sebuah tontonan, dengan premis yang menarik, film ini bisa menjadi pilihan di kala senggang anda. Tentu dengan catatan, anda tak perlu memberi harapan tinggi.


Tuesday, May 3, 2016

Mr. Holmes (2015) : Kegetiran Masa Tua Sang Detektif

Ketika Mr. Holmes diperkenalkan ke publik sebagai sebuah tayangan sinema. Saya merasa sangat antusias. Penasaran lebih tepatnya. Saya mengenal dua Sherlock Holmes. Satu, yang cerdas, narsis, jagoan dan heroik dalam diri peran Robert Downey Jr. Dua, sosok introvert jenius dalam diri peran Benedict Cumberbatch. Kali ini, Ian McKellen muncul sebagai sosok ketiga. Terlalu tua? Justru di situ letak daya tariknya.

McKellen berperan sebagai Holmes yang sudah tua dan pensiun, menikmati kesendirian hidupnya di desa bersama lebah peliharaannya, ditemani pembantu dan seorang anaknya laki laki. Mungkin, ia mencari kedamaian dalam masa pengasingannya yang uzur. Namun, kisah membawanya dalam misteri kasus yang belum juga terpecahkan olehnya. Satu kasus terakhir yang ia bawa ke rumah terpencilnya tersebut.

Memerankan orang tua seharusnya bukan hal sulit buat orang seusia McKellen, tentu saja. Tapi di sini jelas terlihat ada dua Holmes yang berbeda yang digambarkan. Holmes yang detektif, dan Holmes seorang tua pikun. Keduanya diperankan dengan apik dan sangat berbeda oleh McKellen. Kejeniusan dan kharisma seorang Holmes saat masih menjadi detektif terpancar jelas. Seolah memang gambaran Holmes nya Cumberbatch di usia tua. Sementara sosok rapuh dan menyedihkan juga membuat saya bertanya-tanya, ïnikah Holmes?".

Saya memprediksi film ini akan berjalan lambar. Ya, memang begitulah adanya. Namun tak berarti menjemukan. Kisahnya tak melulu soal drama seperti yang dicetuskan dalam sinopsisnya. Justru dengan mencampurkan drama masa kini dengan flash back pada kasus terakhirnya di masa lalu, membuat 'pace'film ini terjaga dengan baik. Seolah tak ada jeda untuk rehat. Layaknya kasusnya sendiri, setiap dialog adalah detil yang begitu berharga. Pemecahan kasus bukanlah tujuan utama menikmati film ini, meski dengan pemecahan kasus itu film ini berjalan dalam alurnya.

Sulit membayangkan seorang Sherlock Holmes di akhir hayatnya harus menyendiri, ditinggal (mati) Dr. Watson, sahabat terbaiknya. Dan yang lebih buruk lagi : Kepikunan. Ya, Holmes di sini dipaksa berjuang melawan kepikunan, sesuatu yang tentunya mengerikan untuk seseorang yang punya daya ingat luar biasa seperti dirinya. Dan, di sinilah rasa penasaran saya menemui pelepasnya. Kerapuhan dan kegetiran hidupnya. Menjalani hidup yang tak mungkin rasanya ia bayangkan akan dilalui. Kesendirian, yang dulu ia anggap biasa dan menyenangkan, malah membayanginya dalam kematian. Lagi lagi, McKellen menunjukkan kelasnya. Saya berkali kali harus meyakinkan diri bahwa ini Holmes, Sherlock Holmes!

Sahabat, orang yang paling mengerti diri kita, pada akhirnya tak selalu berarti orang yang selalu berjuang bersama beriringan dalam waktu lama. Sang pembantu dan anaknya, Roger, justru menunjukkan persahabatan dan kekeluargaan meski mereka memang sulit memahami keganjilan seorang Holmes. Seseorang yang besar dalam imaji fiktif yang dibuat Watson, yang dalam pensiunnya justru coba diruntuhkan sendiri oleh diri pemiliknya.

Meski film ini adalah drama, yang tak ada adu penyelesaian kasus dengan cerdas atau pun aksi laga menakjubkan, namun sentuhannya justru mengena. Layak dinikmati, meski Anda bukan penggemar Sherlock Holmes sekalipun.

Tuesday, April 26, 2016

The Jungle Book : Episod Buku Yang Tertutup

Sebuah remake dari film lawas yang melegenda, The Jungle Book, kembali dihadirkan, tentu dengan tawaran special effect yang lebih menarik. Menyasar kelompok semua umur, akankah film ini semenarik iklannya?

---

Alkisah, Mowgli, seorang anak manusia dibesarkan oleh kawanan serigala pimpinan Akeela dan sang íbu', Raksha, mencoba mencari jati dirinya menjadi bagian dari kawanan. Dibimbing oleh sang macan kumbang, Bagheera, ia mengikuti aturan yang berlaku di hutan, di mana kawanan serigala memegang tampuk pimpinan.

Di tengah suasana damai ala penduduk hutan, muncullah Shere Khan, seekor harimau ganas yang sangat menaruh dendam pada Mowgli. Niatannya untuk memangsa Mowgli terhalang oleh kawanan serigala yang membelanya. Hingga suatu ketika, ancaman Shere Khan cukup mengusik para kawanan dan Mowgli bersama Bagheera harus kembali ke pemukiman manusia, mencari perlindungan di sana. Kondisi hutan makin mencekam ketika Shere Khan membunuh Akeela dan mengambil tampuk kekuasaan. Hukum hutan pun berlaku, yang kuat yang berkuasa.

Dalam pelariannya, Mowgli berjumpa dengan Baloo, beruang besar pemalas yang sangat suka madu. Meski begitu, Baloo mengajarkan pada Mowgli bagaimana menjadi dirinya sendiri dengan segala kecerdasan dan kreativitas yang dimiliki, yang selama ini terbelenggu, karena itu bukan cara serigala. Bertemu ancaman dari ular phyton, Kaa, dan monyet raksasa King Louie, Mowgli akhirnya harus kembali ke hutan dan berhadapan langsung dengan Shere Khan.

---

Dengan limpahan teknik CGI mutakhir, lanskap hutan dan berbagai hewan di sini tampak sangat nyata dan memanjakan mata. Sungguh sebuah hiburan tersendiri. Anda menyaksikan sebuah animasi namun tak terlihat begitu. Semua detil seolah begitu sempurnah. Neel Sethi sendiri berperan cukup apik sebagai Mowgli, meski mungkin tidak terlalu berkesan akan aktingnya dalam waktu lama. Ben Kingsley sebagai Bagheera sungguh tak diragukan lagi. Sementara kita akan terasa dejavu dengan Bill Murray dalam sosok Baloo, beruang gendut dan pemalas (seperti siapa?). Idris Elba dengan meyakinkan menjadi sosok antagonis dalam wujud harimau Shere Khan. Sebuah paket yang penuh dan sempurna. Meski Scarlett 'Scar-Jo' Johannson sebagai ular Kaa sayangnya hanya tampil sesaat. Cukup mengecewakan. Sungguh.

Cerita yang dibawakan tergolong sederhana, sedikit puzzle mengapa Shere Khan begitu ingin memangsa Mowgli. Selebihnya, aksi yang diharapkan tergolong minimalis. Beberapa plot mungkin seolah 'berlubang', namun sebagai sebuah tontonan, film ini memberikan paket hiburan yang cukup baik. Belum sempurna.

---

Mowgli, meski dibesarkan dengan çara serigala', namun tak bisa mengabaikan hakekat diri sebagai manusia. Kecerdasan, inovasi, dan kreatifitas yang ia miliki sungguh bukan cara hewan mana pun. Namun hutan adalah rumahnya. Bagheera ibarat ayahnya, dan Raksha jelas ibunya. Maka ia hidup sebagai anak manusia di tengah belantara aturan hukum hutan. Menjadi diri sendiri, adalah sesuatu yang coba disampaikan dalam film ini. Baloo dengan apik menegaskannya.

Cinta ibu kepada anak, tak memandang sekat. Raksha, mencintai dan melindungi Mowgli layaknya anak anaknya yang lain, yang jelas serigala. Mowgli membalasnya dengan menjadi bagian dari kawanan, meski ia punya kesempatan untuk kembali ke lingkungan manusia.

---

Jika NatGeo Wild terlalu sadis buat Anda, maka film ini lebih moderat daripada itu. Jadi, silakan sisihkan waktu anda, ajak keluarga terkasih, dan nikmati film berdurasi 90an menit ini.
            

Friday, April 22, 2016

Backtrack : Hantu Masa Lalu

Mengisi kekosongan blockbuster, sepertinya akan ada beberapa film tak terdengar yang menyapa layar bioskop. Film ini adalah salah satunya. Jika mencari ke laman rating seperti imdb, kita akan tahu bahwa film ini telah lama beredar di luar. Lalu, seperti apakah kualitas film sepi seperti ini?

---

Backtrack bercerita tentang psikiatri bernama Peter Bower (Adrien Brody) yang sedang dilanda depresi akibat kematian putri karena kecelakaan satu tahun silam. Keguncangan yang memaksanya pindah dan disarankan oleh sang sahabat yang juga seorang psikiatri, Duncan Stewart (Sam Neill), untuk kembali praktik agar ia dapat membunuh waktu dan memahami masalah orang lain ketimbang larut dalam keterpurukannya sendiri.

Keanehan mulai terjadi ketika pada suatu malam ada seorang anak remaja datang ke tempat praktiknya. Tidak banyak bicara, ia hanya menyodorkan kartu namanya saja, Elizabeth Valentine. Tiba tiba datang muncul, keanehan demi keanehan sering terjadi. Namun Peter tak percaya bahwa anak itu adalah hantu. Sebagai seorang psikiatri, ia yakin memiliki penjelasan rasional akan peristiwa ini, hal yang diamini oleh Duncan.

Di saat kegilaan telah melanda dirinya, kesadaran masih tersisa untuk mencerna petunjuk satu demi satu. Kuncinya adalah Elizabeth, yang memberikan ia coretan bertuliskan 12787. Berbekal hal itu, ia mendapati situasi yang makin mengerikan, situasi yang membawanya ke masa lalu, di masa kecilnya, di False Creek.

---

Ketika tak banyak referensi akan film ini, maka buat saya, satu satunya pemikat adalah Adrien Brody sebagai karakter utama. Dengan kemampuan yang tidak diragukan lagi, ia memberikan performa memikat akan seorang yang penuh kesedihan dan depresi. Wajah sendu dan datar yang ia miliki semakin menunjang karakter Peter yang penuh teka teki. Film ini, tanpa banyak ekspektasi kemudian, menyimpan banyak potensi untuk menjadi sebuah tontonan yang menarik.

Awalnya, film ini berjalan lambat dan seolah akan menjadi drama thriller psikologi atas latar yang ditampilkan. Namun lambat di sini tak berarti percuma, karena informasi diberikan sedikit demi sedikit hingga memuncak dalam sebuah kengerian misteri yang membuat kita semakin menikmati dan menunggu ending filmnya. Dan begitulah, menggunakan plot sederhana dan klasik, keseraman dan horor dibangun perlahan tapi dengan penambahan dosis yang pasti. Bahkan pada lima belas menit pertama kita tidak akan berpikir bahwa film ini benar benar sebuah film tentang hantu. Seolah kita dibimbangkan dengan apakah ia hantu? Apakah ini ilusi? Apakah ini sebuah delusi akibat depresi?

Film ini, sayangnya, juga tidak bisa berlepas diri dari masalah klasik film horor berlabel hantu. Ketika telah mencapai puncak dan mencari konklusi, maka semua kengerian akan turun drastis, betapa pun sosok hantu akan muncul, kita akan tahu, apalagi anda penggemar film hantu, bahwa semua hantu itu tidak lagi mengerikan dan menakutkan, seberapapun mengagetkan kemunculannya. Hal itu juga terjadi pada film ini. Atau, mungkin saya pikir begitu?

---

Kembali ke masa lalu, masa di mana ada hal yang terlalu traumatik untuk kita ingat, yang kita pilih untuk lupakan agar kita bisa 'move on', melanjutkan hidup, adalah sebuah tantangan yang berat bagi seseorang. Mungkin termasuk kita. Menyadari dan mengakui kesalahan, melindungi orang terkasih, juga membutuhkan keberanian tersendiri. Baktrack mengisahkan dengan pahit, bahwa bagaimana pun, sebuah fakta harus diungkapkan. Meski akan menghadirkan kegetiran baru.

Jika anda ingin menikmati sebuah tontonan menakutkan yang tidak sekedar menakutkan, tetapi juga berpikir dan memberikan tanya, film ini layak Anda jadikan salah satu pilihan. Tak perlu berharap banyak, namun juga jangan sepelekan begitu saja, maka anda seolah akan tersedot di tempat duduk anda dan tak beranjak hingga film usai.

---

Apa hal yang paling menyebalkan dari menyaksikan film dalam studio bioskop? Yaitu segerombolan orang tak tahu diri yang masuk bukan untuk nonton, tapi ngobrol sambil ngemil. Mungkin mereka pikir ini home cinema mereka? Bisa jadi, apalagi jika Anda hanya satu satunya órang luar', maka bersiaplah menderita. Film ini, nyatanya memberikan mereka 'pelajaran'. Di awal awal mereka dengan asyik ngobrol, namun begitu film mulai intens, mereka pun terdiam! Jadi Anda berapa nilai film ini, bukan?

Friday, April 15, 2016

10 Cloverfield Lane

Delapan tahun setelah Cloverfield, JJ Abrams menghadirkan kembali film bertajuk hampir serupa : 10 Cloverfield Lane. Masih dengan cara serupa, merahasiakan proyek ini dengan amat sangat. Ketika Cloverfield mampu memberikan kejutan dan apresiasi tinggi, bagaimana dengan sekuelnya ini?

---

Dikisahkan, Michelle (Mary Elizabeth Winstead), seorang desainer, kabur meninggalkan rumahnya di suatu malam. Sampai pada suatu ruas jalan yang sunyi, karena kelalaiannya, ia tertabrak kendaraan lain yang melintas. Ia, berikut mobilnya keluar dari jalan masuk ke lereng. Tak sadarkan diri, ia kemudian terbangun dalam sebuah ruangan terkunci dalam keadaan terinfus dengan kaki yang patah. Ternyata ia berada di bungker milik petani lokal, Howard (John Goodman),

Michele tidak sendirian di sana. Emmet (John Gallagher Jr.), juga orang lokal setempat, tangannya patah ketika hendak memasuki bunker tersebut. Namun mengapa? Begitu pertanyaan Michele. Howard, sosok yang sangat keras dan protektif ternyata memiliki ketakutan yang amat sangat akan dunia luar. Menurutnya, saat ini sedang terjadi invasi alien, sesuatu yang sudah diperkirakan dan membuatnya mempersiapkan diri sejak lama. Emmet adalah orang yang membantunya membuat bunker tersebut.

Michele tentu tidak bisa percaya begitu saja dengan cerita Howard dan Emmet. Belum lagi Howard menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Sikap otoriternya mulai membuat Michele jengah. Beberapa kejanggalan pun mulai bermunculan. Ketidaksinkronan cerita Howard akan hilangnya putrinya adalah salah satunya. Mencoba melarikan diri dari satu satunya pintu, Michele mendapati seorang wanita tua yang mencoba mendesak masuk. Kondisinya sungguh menyeramkan. Seolah benar Howard, ada kontaminasi virus di luar sana akibat serangan alien. Namun dengan segala keanegan yang ada, Michele, dengan membujuk Emmet, menyusun strategi untuk melarikan diri dari bunker tersebut, dan mempersiapkan diri menghadapi apa yang akan terjadi di luar sana.

---

Rasanya tak ada yang tak berpikir bahwa film ini adalah sebuah sekuel dari Cloverfield. Namun tampaknya para penonton harus kecewa. Film ini bukanlah kelanjutan dari Cloverfield, bahkan sangat jauh berbeda. Bisa jadi hanya namanya saja yang hampir persis sama. Film ini lebih merupakan thriller psikologis alih alih scifi dengan musuh utama alien.

Drama dan konflik lahir dari tiga orang yang diharuskan hidup dalam satu tempat tertutup. Seolah menunggu kegilaan lahir dari salah satu di antara mereka. Atau, bisa jadi memang salah satu di antaranya sudah gila. Masa lalu kelam Howard jelas memberikan kengerian pada Michele yang memaksanya harus keluar meski dengan setengah keyakinan akan ada ancaman yang tidak kalah menakutkan di luar sana. Selama hampir 90 menit film kita akan disuguhi dialog dialog ringan namun padat, dengan ketegangan yang naik perlahan. Apakah akan ada pembunuhan? Akankah ada kekejaman? Akan seperti apa film ini disajikan, penuh darah kah? Di saat yang bersamaan kita dibuat bertanya-tanya, layaknya Michele, apakah benar ada alien yang sedang memusnahkan manusia di balik pintu.

Perbedaan cerita dalam film juga membuat perbedaan dalam penyajiannya. Tak lagi digunakan tampilan ala handycam. Tak lagi ada keriuhan dan kehancuran total yang dihadapi. Sebaliknya, ketegangan dan klimaks dibangun dalam kesunyian. Cerita mengalir lambat tapi seolah tak ada celah untuk melepaskan setiap adegan. Sederhana sekali. Namun, seperti proses pembuatannya yang bermisteri, kisahnya pun mengundang tanya dan teka teki. Suka atau tidak dengan setiap karya JJ Abrams, sulit menolak untuk tidak larut dalam film ini dan menunggu kejutan akhir dan kesimpulannya.

---


Apakah setiap ancaman dari luar terhadap diri dan keluarga kita memang nyata? Atau hanya ilusi semata? Sejauh mana kita akan menahan diri sendiri dan mereka demi keselamatan? Ataukah membiarkan mereka keluar dan menemukan dunianya sendiri, yang kita yakini akan penuh bahaya dan petaka?

Thursday, April 14, 2016

Huntsman : Winter's War

Seri kedua dari film gubahan Snow White hadir. Sesuai judulnya, maka kisah ini sepertinya akan fokus pada sang Huntsman (Pemburu) yang telah membantu Snow White kembali ke tahtanya. Seperti apa kisahnya?

Jauh sebelum Ravenna (Charlize Theron) berkuasa penuh di kerajaan Snow White, dikisahkan Ia memiliki seorang saudari bernama Freya, yang dianggap lemah dan tidak memiliki kekuatan sihir seperti dirinya. Freya jatuh cinta pada seorang lelaki hingga mengandung anak dari lelaki tersebut. Namun ada daya, pada suatu malam, ia mendapati lelakinya membakar ranjang tidur berikut anaknya. Kemarahan dan kesedihan yang amat memuncak mengeluarkan sesuatu yang tak disangka, kekuatan sihir. Freya mampu membuat dan memanipulasi es.

Mengusung kemarahan dan kesedihannya, Freya menuju Utara dan memulai penaklukan kerajaan demi kerajaan. Tak memiliki anak, ia membuat anak dengan caranya, membangun pasukan sedari anak anak yang diambil dari setiap perkampungan dan kerajaan yang ia taklukkan. Termasuk di dalamnya Eric dan Sara.

Kedua anak itu, bersama anak anak lainnya dilatih bermain pedang, tongkat, panah, dan kemampuan tempur lainnya. Tak sekadar pemburu, mereka menjadi pasukan garis depan menaklukkan setiap jengkal kerajaan di wilayah Utara. Namun, keduanya melanggar aturan paling keras dari Ratu Freya : Dilarang jatuh cinta. Maka, Freya pun memisahkan mereka. Sara dibunuh, sementara Eric dibuang.

Waktu berlalu, Eric (Chris Hemsworth) menjelma menjadi Huntsman yang pada akhirnya kita tahu mengalahkan Ravenna dan mengembalikan Snow White ke tampuk kekuasaan. Sayang, masa damai ternyata tak lama. Rombongan kerajaan yang hendak membuang Cermin Ajaib ke Sanctuary hilang dalam perjalanan. Eric, atas permohonan Snow White, menelusuri jejak para pasukan, ditemani dua kurcaci andalan istana. Perjalanan yang membawanya ke masa lalu sekaligus masa depannya : Freya, Ravenna, dan Sara.

---

Bertajuk Chronicles of Snow White, film ini membuka cakrawala baru sebuah franchise film. Setelah mereproduksi kisah Snow White dalam Snow White and Huntsman yang menonjolkan kekuatan dan aksi seorang Pemburunya, kali ini fokus cerita coba digeser pada Sang Huntsman sebagai tokoh utama. Plot yang diambil adalah asal mula seorang Huntsman dan hubungannya dengan masa saat ia sudah mengalahkan Ravenna. Sebuah hal menarik. Seharusnya.

Pernah menyaksikan film mandarin berjudul The Bride with White Hair? Saya mau tidak mau teringat itu ketika Freya dengan sedih dan marahnya kepada sang kekasih mengamuk mengeluarkan sihir es-nya untuk pertama kali, dan rambutnya seketika memutih. Masuk akal. Walau semacam pengulangan.

Ada dua orang kurcaci di sini yang mendampingi Eric, mengapa mereka harus ikut? Apa peran pentingnya? Jika memang harus kurcaci, mengapa tidak bertujuh? Tidak sanggup bayar kontrak yang lima lagi? Sesungguhnya, terlepas dari peran penting dalam jalinan cerita ini kemudian, mereka seolah dipaksakan hadir. Dalam bentuk kurcaci. Yang tidak lengkap.

Sara dan Eric sepasang kekasih, bahkan suami istri, begitu katanya. Namun sayang, kecuali adegan peluk dan cium, tak ada kemistri di antara Hemsworth dan Jessica Chastain. Diperparah lagi dengan slot waktu yang sedikit di antara keduanya, belum dipangkas adegan aksi yang harus mereka pertontonkan.

Selanjutnya, huntsman. Ada banyak huntsman di sini, namun lagi lagi, tak jelas seberapa hebat dan pentingnya mereka ketika Ravenna kembali dibangkitkan. Apa beda mereka dengan pasukan yang lain? Winter's War. Perang Musim Dingin. Itu terjemahan sederhananya. Dan Saya berharap akan ada peperangan di sini. Kolosal. Sayangnya nol besar. Bahkan ketika berharap akan ada peperangan besar antara pasukan (dan huntsman) Freya melawan pasukan SNow White, maaf saya spoiler, tidak ada.
 

----

Cinta mengalahkan segalanya. Begitulah tema besar yang coba diangkat dalam film ini. Ketika ada seorang wanita yang kecewa, sedih, dan marah, lalu tenggelam dalam sisi gelap dirinya hingga tidak percaya dengan cinta. Bahkan memaksa orang lain dengan cinta. Namun Eric membantahnya dengan lugas, "Keyakinanku tidak butuh orang lain untuk meyakini". Buat anda yang punya waktu dan uang berlebih, dan memiliki keyakinan yang dalam akan cinta. Silakan tonton film ini. Selebihnya, begitulah.



13 Hours : The Secret Soldiers of Benghazi

Sebuah film perang berlatar Timur Tengah dengan Amerika dan CIA-nya tercebur dalam konflik yang mereka buat sendiri. Pasukan khusus berjumlah sedikit personel dengan kemampuan hebat. Apakah ada premis sederhana yang lebih klise lagi untuk sebuah film bertema perang? Lalu apa yang dapat membedakan film ini dengan film-film sebelumnya?

Dikisahkan, Libya saat itu sudah memasuki konflik internal bersenjata dan kota Benghazi menjadi salah satu kota dengan tingkat paling berbahaya. Seluruh kedutaan berbagai negara telah menarik personel mereka masing-masing. Namun Amerika, yang masih memiliki kepentingan, belum menarik para anggota CIA mereka di sana. Dengan berkedok sebuah gedung sipil, membayar keamanan dengan orang-orang lokal, tugas mengumpulkan data masih mereka lakukan.

Sebagai bagian dari perlindungan, terdapat pasukan kontrak yang dipimpin oleh Tyron 'Rone' Woods dan keempat anggotanya. Kali ini ia memanggil anggota kelima, Jack Silva, kembali dari rumahnya yang tenang di tanah air. Mereka berenam memiliki tugas menjaga kepentingan CIA di Benghazi, di bawah perintah Bob, sang Kepala.

Semua berjalan apa adanya hingga pada peringatan 11 September pada tahun 2012, Duta Besar Chris Stevens datang ke Benghazi untuk menginisiasi perdamaian. Kekisruhan terjadi ketika sekelompok milisi bersenjata menyerang kediaman Duta Besar. Saat para pengamanan lokal menghindar dari konflik karena bayaran yang rendah dibanding nyawa mereka, dengan mudah para milisi ini masuk, menghancurkan, dan membakar rumah duta besar tersebut. Hanya dengan bantuan beberapa personel khusus kedutaan, duta besar Stevens mencoba bertahan.

Sementara itu, keenam tentara kontrak ini tertahan di markas mereka karena mendapat perintah diam di tempat oleh Bob, bos mereka, yang berpendapat tidak ada konfirmasi untuk melakukan misi bantuan. Beberapa waktu menjadi ketegangan di antara mereka hingga keenam orang ini memutuskan untuk menolong kedutaan. Namun, semua telah terlambat. Dan ketika kedutaan telah jatuh, satu-satunya properti Amerika yang tertinggal adalah markas CIA ini. Dan mereka berenam harus mempertahankan markas tersebut dari serangan milisi, selama mungkin, hingga bantuan datang. Jika memang ada bantuan tersebut.

---

Seperti disebutkan di awal, premis peperangan di mana Amerika muncul di tengah konflik di Timur Tengah bukanlah hal asing lagi. Yang menarik adalah ketika tokoh sentranya bukan sekelompok tentara, baik reguler maupun khusus seperti Delta Force dll, melainkan 'hanya' sekelompok tentara kontrak/bayaran. Hal yang sebenarnya lumrah terjadi di belahan timur tengah, selepas militer resmi ditarik mundur oleh pemerintah Amerika. Orang-orang ini pun bukan asing dengan kondisi ini karena sebenarnya latar belakang mereka juga adalah militer, baik marinir maupun satuan khusus. Sebuah hal yang belum banyak diangkat dalam film.

Michael Bay. Identik dengan film-film fiksi imajinatif dengan spesial efek seperti Transformer dan Teenage Mutant Ninja, kali ini ia duduk di belakang hadirnya sebuah film yang diangkat dari novel berdasarkan kisah nyata. Seharusnya tak kan ada Megatron yang mendukung para milisi bersenjata untuk kemudian markas CIA dilindungi oleh Autobots. Dan memang tidak ada. Untuk sekelas Bay, film ini cukup realistis terlihat. Memang, desingan peluru masih bercahaya layaknya laser tetap terlihat. Namun film Fury telah mengawalinya sehingga di sini pun bukanlah sebuah kejutan lagi. Justru hal ini memberikan nuansa segar khas Bay dalam film yang tak butuh banyak efek wah. Mungkin tangannya gatal untuk tidak melakukannya kali ya.

Terlepas dari akurasi kejadian sebenarnya, dapat tertangkap kengerian dan penonton terjebak dalam konflik bersenjata yang terjadi sepanjang malam ini. Tak ada aksi heroisme yang coba dipaksakan. Bahkan penonton ikut diajak kesal karena mereka berenam diperintahkan diam di tempat tak melakukan apa pun untuk menolong duta besar hanya karena Bob tak mau mereka meninggalkan markas. Adu senjata yang terbagi dalam beberapa babak memberikan waktu bagi penonton untuk bernafas, melegakan diri dari kesadisan yang (mungkin efek sensor?) tidak terlalu banyak terlihat di sini.

---


Terdesak oleh kondisi ekonomi, membuat Jack Silva kembali masuk dalam peperangan yang bukan miliknya, bahkan bukan juga milik negaranya. Juga semata karena yang meminta adalah Rone, teman baiknya. Tanggung jawab pada diri dan keluarga, kesetiakawanan dan persahabatan, integritas dan komitmen tinggi pada pekerjaan, adalah hal hal yang dapat kita cermati dalam film ini.

Tak banyak heroisme ala ala Amerika di sini, kecuali satu adegan dramatis bendera amerika yang terbentang terbakar. Jadi jika anda telah cukup lelah dengan hal tersebut namun tertarik dengan film bertema perang, film ini layak masuk daftar tonton.

Friday, February 26, 2016

Gods of Egypt : Pertempuran Dewa Dewa Mesir

Setelah banyak film mengangkat tema Dewa dewa Yunani, dari yang klasik semacam Herculer hingga paling kontemporer seperti Percy Jackson, kali ini Dewa dewa dari Mesir mendapat bagian memperkenalkan diri via layar bioskop. Wajar, mengingat Mesir sendiri sebagai pusat peradaban sejarah selain Yunani dan Romawi (ingat buku pelajaran sejarah, ya). Lalu, seperti apa perseteruan dewa dewa dari Mesir ini?

Dikisahkan, wilayah penguasaan Mesir terbagi menjadi dua, Osiris  Sang Dewa Kehidupan menguasai daerah subur sekitar Sungai Nil, sementara saudaranya, Set, menguasai wilayah gurun tandus di luar sana. Pada suatu waktu, Osiris menetapkan bahwa masa pemerintahannya sudah usai dan Ia mewariskan kepada anaknya, Horus, Sang Dewa Udara. Pada upacara pelantikan, ribuan rakyat hadir untuk memberi persembahan. Begitu juga dengan dewa dewa yang lain. Tak terkecuali Set.

Datang bersama dengan pasukannya yang kuat dan kejam, Set dengan seketika membunuh Osiris dan menaklukkan Horus. Tak dibunuh, Horus hanya diambil kedua bola matanya. Ia pun diasingkan ke kuilnya sendiri. Sementara Set akhirnya memerintah Mesir dengan teror. Bahkan para dewa yang menentangnya pun tak segan ia bunuh, termasuk sang istri, Nephthys. Perjalanan menuju alam baka bagi mereka yang mati pun ia ubah aturannya. Hanya mereka yang bisa memberikan persembahan emas permata yang bisa melintas gerbang alam baka dan menuju keabadian.

Dalam situasi seperti ini, adalah Bek, seorang pencuri kelas teri yang sedang jatuh cinta pada Zaya, kekasihnya yang seorang pembantu dari arsitek bagi Set. Arsitek yang memiliki misi membangun menara obelisk tertinggi yang belum pernah dibangun manusia dan dewa mana pun sebelumnya. Mengejar mimpi untuk membahagiakan sang Kekasih, Bek nekat masuk ke ruang penyimpanan harta Set dan mencuri satu bola mata Horus yang tersimpan rapi penuh jebakan di sana. Sayang, Zaya harus mati di ujung panah Arsitek.

Demi membangkitkan sang kekasih, Bek bernegosiasi dengan Horus agar Ia, setelah merebut kembali kekuasaan dari Set, dapat menghidupkan kembali Zaya. Maka dimulailah perjalanan mereka berdua, menempuh bahaya, mencoba menggulingkan kekuasaan Dewa terkuat di Mesir.

***

Dapatkah Anda menyebutkan nama nama Dewa Mesir yang ada dalam literatur? Lalu seperti apa hubungan di antara mereka? Saya yakin, buat sebagian, Dewa dewa Yunani lebih akrab di telinga. Maka keputusan sineas mengangkat cerita tentang Dewa Mesir layak diacungi jempol. Lagipula, tidak banyak referensi yang dikenal banyak orang awam membuat pembuat film bisa menulis cerita tentang apa saja. Termasuk perebutan kekuasaan di sini.

Membaca daftar pemain film ini mungkin akan membuat dahi anda berkerut, kecuali Gerard Butler dan Geoffrey Rush, praktis tidak banyak nama besar. Sebuah pertanyaan, apakah film ini memang sangat ambisius atau justru mencoba bermain aman. Sebagai seorang antagonis, Butler yang berperan sebagai Set cukup menjadi jualan di trailernya. Wajar. Lalu bagaimana implikasinya?

Sebagai sebuah film studio, kita anggap saja begitu, karena penggambaran Mesir masa lalu di sini penuh kaya dengan grafis dan efek khusus, penggambaran Mesir tentu tidak utuh. Hanya terpenggal pada halaman dan ruang istana, beberapa petak pasar, dan dunia mistis lainnya. Bisa dibilang film ini kering akan visual lanskap yang menarik. Namun kekurangan ini ditutupi dengan visual effect yang memadai dari sisi kekelaman Sungai Nil, ketika hendak dilahap Chaos. Untuk efek pertarungannya sendiri, rasanya sudah sesuai standar. Yang menjadi keren tentu perubahan wujud dari Dewa dewa ketika masuk 'mode pertarungan'. Set dan Horus keduanya digambarkan bisa berubah menggunakan armor dan sayap. Mungkin seperti Iron Man yang lebih ethnik. Sayangnya, kekerenan ini harus berkurang dengan grafisnya yang terkesan murahan, tidak mendukung keseluruhan efek yang wah.

Butler sepertinya terjebak dalam diri Leonidas dari '300', sehingga perannya sebagai Set pecinta perang seolah tak jauh berbeda. Sebuah copy paste yang sempurna. Sesuai dengan jalur ceritanya, kekonyolan yang memikat justru tampil dari sosok Bek, tokoh utama, yang nota bene seorang manusia di antara dewa dewa. Pemikat mata lelaki tentu jatuh pada dua karakter cantik, Hathor sang Dewi Cinta, dan Zaya. Penampilan mereka ditunjang dukungan penuh kostum yang pas untuk kesempurnaan mereka.

***

Horus, seperti halnya sang ayah, Osiris, menginginkan setiap manusia yang mati dapat melintasi gerbang alam baka dengan modal kebaikan dan kemurahan hati, sehingga tidak ada kesenjangan antara si kaya dan miskin. Sebuah keadilan yang coba ditunjukkaan bahwa bukan harta dan kekuasaan yang menjadi nilai buat seseorang, melainkan seberapa besar manfaat dan kebaikan yang ia beri buat orang lain.

Horus, Set, dan Osiris digambarkan harus memenuhi perjalanan fisik dan spiritual agar bisa menjadi dewa yang sempurna di keabadian. Mereka harus mampu lulus dalam ujiannya masing masing. Osiris dengan kekuasaan di Nil yang subur. Set dalam pembuangannya di gurun tandus, atau Horus yang terjebak dalam persahabatan dengan manusia dan cinta dengan dewi nya. Bahwa kesempurnaan kita akan semakin matang dengan seberapa jauh kita mampu memaknai perjalanan hidup kita.

***

Film ini, Gos of Egypt, dengan tanpa dibebani harapan yang muluk, sesungguhnya bisa menjadi tontonan hiburan yang menarik, cerita yang sederhana, tampilan visual yang memukau ditunjang efek canggih. Sebagai catatan, dengan segala kekurangannya, film ini punya potensi dibuat sekuelnya. Jadi, silakan dinikmati dan ditunggu kelanjutannya!

Wednesday, February 24, 2016

Zootopia : Mimpi Perdamaian Dunia Hewan

Sebuah film animasi tentang hewan hadir di awal tahun 2016 ini. Dengan trailer menarik yang rutin diputar pada hampir setiap awal penayangan film di studio studio mayor, wajar saja jika film ini menarik perhatian para penonton. Lalu bagaimana filmnya sendiri?

Cerita diawali dengan berevolusinya dunia hewan (ya, tidak ada manusia di universe ini), di mana Hewan Pemangsa dapat hidup dengan dengan damai tanpa harus berburu hewan mangsa yang ada. Sementara itu, Judy Hopps sangat bercita-cita ingin menjadi polisi, di mana kebetulan belum ada spesies kelinci yang menjadi polisi. Zootopia, sebagai sebuah kota tempat evolusi hubungan antar hewan ini bermula, merupakan sebuah kota yang menjadi mimpi bagi semua hewan untuk mewujudkan impiannya, layaknya semua (ibu) kota. Perjuangan keras Hopps di akademi menunjukkan hasil hingga kemudian ini harus mengawali karir kepolisiannya di Zootopia.

Tepat ketika itu, Zootopia sedang dilanda peristiwa misterius. Beberapa spesies hewan menghilang tiba tiba. Dan kebetulan, semua merupakan golongan pemangsa. Hopps yang memang bercita-cita ingin menjadi polisi dan menyelesaikan kasus menawarkan diri untuk memecahkan misteri itu. Namun, bukannya diberi kepercayaan, ia justru ditugaskan menjadi petugas tilang. Hopps tak berputus asa, ketika ia mendapat petunjuk, dan secara tidak sengaja bertemu dengan penjahat/penipu kelas teri bernama Nick Wilde, ia justru seolah bertemu dengan partner (in crime) untuk menyelesaikan kasus tersebut. Kasus yang melibatkan konspirasi dan petinggi kota Zootopia.

***

Seperti disebutkan di awal, film ini punya trailer yang menjanjikan dan memancing penonton untuk datang menonton bahkan sejak pemutaran perdananya. Untuk kualitas gambar, tidak ada yang perlu diperdebatkan. Semua baik seperti adanya. Bagaimana dengan cerita?

Konsep cerita ini adalah tentang bagaimana pemangsa dan yang dimangsa justru bisa hidup berdampingan sebagai kawan baik. Sehingga hewan hewan yang tampil di sini terlepas dari lingkaran rantai makanan. Tentu tidak diperlihatkan keseharian makan hewan pemangsa yang seharusnya karnivora tersebut. Jadi terima saja konsepnya bahwa mereka bisa hidup dengan kondisi seperti itu.

Titik cerita bermula ketika beberapa hewan pemangsa yang hilang justru memunculkan tabiat dasar hewani mereka. Tidak lagi beradab dan berbudaya, berdiri dengan dua kaki, berbicara yang baik dan sopan, mereka justru kembali ke khittah mereka. Hewan. Sekaligus pemangsa. Hal ini memicu kegaduhan di Zootopia, dan membelah kota menjadi dua sisi, pemangsa dan dimangsa, dalam posisi kebalikan. Pemangsa justru didominasi dan dipinggirkan. Terjadi diskriminasi dan generalisasi negatif komunal terhadap pemangsa akibat tindakan beberapa gelintir pemangsa yang juga belum diketahui penyebab perubahan sifat dan tindakan mereka.

Teori konspirasi, perjuangan mewujdukan mimpi, perjuangan kelas dan membalikkan keadaan dominasi penguasa-yang dikuasai menghiasi film berdurasi hamapir dua jam ini. Bukan sebuah tema yang ringan buat anak-anak, meski memang bagus diperlihatkan betapa gigihnya Hopps berupaya mewujudkan mimpi yang kelihatannya hampir mustahil. Bahkan perjuangannya mesti melewati jenjang terbawah pun dilakukannya dengan upaya 200%. Cocok Anda ceritakan pada anak-anak Anda. Selebihnya, jalan cerita dan siapa dalang misteri ini bisa ditebak.

***

Bagaimana jika orang yang selama ini hidup berdampingan dengan Anda kemudian dalam satu malam seolah menjadi ancaman bagi hidup Anda? Bagi keluarga dan kelangsungan hidup lingkungan Anda? Bagaimana sebuah isu yang menyebabkan ketakutan justru menjadi teror dan pembenaran bagi Anda untuk mendiskriminasi pihak lain yang memang pada dasarnya sudah berbeda dengan Anda? Begitulah film ini dengan baik meramu isu yang berkembang saat ini dalam sebuah tampilan hiburan animatif. Jangan dilewatkan ya!


Thursday, February 18, 2016

Revenant : Bertahan Hidup Untuk Sebuah Dendam

Menampilkan Leonardo di Caprio dan Tom Hardy, film ini menjanjikan sesuatu yang wah, tampaknya. Setelah performa ciamik keduanya di Inception sebagai rekan, kali ini mereka berpasangan lagi, namun sebagai lawan.

Dikisahkan, Hugh Glass (di Caprio) seorang pemandu dan pencari jejak lihai sedang memandu sekelompok pasukan pencari bulu berang berang, ketika tiba-tiba mereka diserang oleh Suku Arikara. Memutuskan mundur, mereka akhirnya harus meninggalkan bulu-bulu yang telah diperoleh di tepian sungai demi kembali ke perkemahan mereka. Sebuah keputusan yang ditentang keras oleh John Fitzgerald (Tom Hardy), yang merasa ketergantungan mereka terhadap Glass terlalu berlebihan. Namun, keputusan telah diambil. Hingga dalam satu malam, Glass diserang beruang grizly yang mengamuk, membuat ia terluka parah, robek pada punggung dan leher, belum lagi tulang belulang yang patah di beberapa bagian.

Kapten Henry (Gleeson) menolak meninggalkan Glass. Tidak hanya karena ia satu satunya yang tahu jalan di tengah belantara Utara Amerika, tetapi juga sikap terhormatnya untuk tidak meninggalkan siapa pun di bawah komandonya, selagi Ia bisa. Maka perjalanan tanpa arah sambil memboyong Glass menjadi sebuah mimpi buruk bagi rombongan ini. Hingga keputusasaan melanda. Henry terpaksa meninggalkan Glass didampingi Hawk, anak Glass, Bridger, dan Fitzgerald sendiri. Mereka diperintahkan untuk mendampingi Glass hingga kematian menjemputnya dan memberinya pemakaman yang layak. Untuk upah yang menggiurkan, mereka menerimanya. Sampai tragedi itu kemudian terjadi. Fitz merasa sudah cukup bersabar untuk kemudian membunuh Glass. Sayang usahanya digagalkan Hawk, yang justru terbunuh. Khawatir dengan resiko ketahuan oleh Bridger, Fitz membuat skenario palsu yang membuat mereka meninggalkan Glass sendirian, terikat ditandu, di tengah musim dingin, meratapi kematian sang anak.

***

Diangkat dari sebuah novel berdasarkan kisah nyata. film ini menggambarkan dengan apik perjuangan seorang laki-laki yang juga seorang ayah dalam memperjuangkan dendamnya. Bertahan hidup dengan luka yang teramat parah dan menyakitkan. Hanya makan daun dan rumput kering. Tidur di dalam perut rusa. Atau makan ikan dan daging bison mentah. Semua kejadian ditampilkan seolah nyata dan sekaligus memukau.

Di Caprio, tak pelak menjadi sosok sentral kali ini tak diragukan totalitas perannya. Sudah jauh lama imaji pretty boy lepas dari dirinya. Dan karakter Glass menegaskan ia memang seorang aktor yang layak berhadiah Oscar. Tom Hardy, di sisi lain, semakin memikat. Berbagai peran sebelumnya juga semakin mengukuhkan dirinya sebagai aktor yang layak diperhitungkan, meski tampaknya karakter antagonis terlanjur dan semakin melekat padanya. Yang memang menarik bagaimana aksen Amerika begitu kental alih-alih aksen British yang sempat ia pertontonkan dengan fasih dalam film Locke, misalnya. Pertemuan keduanya menjadikan kemistri film ini, terutama pada bagian akhir begitu kuat, meski harus diakui, terlalu singkat bahkan anti-klimaks.

Pemandangan dalam film ini juga menjanjikan sebuah tontonan yang memanjakan mata. Panorama hijau hutan Amerika berpadu basah dan saljunya musim dingin membuat film ini semakin mencekam, meski drama sepanjang 2.5 jam ini jauh dari kata membosankan, namun tampaknya menular pada suhu AC di ruang studio. Sebuah film yang patut diperhitungkan dan layak tonton.

***

Seorang suku Pawnee, berbagi daging bison (mentah tentunya) pada Glass, pada suatu malam. Ia, juga sama seperti Glass, telah kehilangan keluarganya. Namun, alih-alih naik darah membalas dendam, ia seolah menasihati Glass, "Pembalasan ada di tangan Sang Pencipta". Sebuah kata-kata bijak yang pada bagian akhirnya memberi pencerahan dan meringankan beban Glass. Perjuangannya sejauh ini terlalu suci untuk dikotori dendam.