Tuesday, May 24, 2016

Self/Less : Dirimu Bukanlah Milikmu

Betapa pun hebatnya seseorang. Walau ia berada di puncak dunia, pada akhirnya ia tak mampu melawan kenyataan. Tubuhnya memiliki batasan dan akan mati. Lalu bagaimana jika ada orang yang bisa menyediakan sarana untuk melawan kematian tersebut? Berapa harga yang harus dibayar untuk itu?

---

Damian Hall (Ben Kingsley) adalah seorang pengusaha dengan keberhasilan luar biasa. Terbaik dan terhebat. Meski begitu, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia mengidap kanker. Usianya bahkan tak lebih dari enam bulan lagi. Sementara, ia masih memiliki persoalan yang belum terselesaikan dengan putri satu-satunya, Claire. 

Di tengah keputusasaannya, ia ditawarkan seorang peneliti bernama Albright (Matthew Goode) sebuah solusi medis yang masih sangat rahasia. Sebuah teknik "shedding", yaitu memindahkan kesadarannya pada tubuh orang lain, yang lebih sehat dan kuat. Membayar mahal untuk itu, Damian menerima tawaran dan memulai proses pemindahannya. Setelah proses rehabilitasi yang demikian panjang, Ia akhirnya kembali ke dunia nyata untuk hidup sebagai Edward Skinner (Ryan Reynolds). Berkewajiban meminum pil tertentu setiap periodik, ia akhirnya terlupa dan memberikan efek luar biasa. Mimpi buruk yang teramat nyata. 

Menelusuri mimpi, Damian mendapati bahwa sebenarnya adalah ingatan yang tersisa dari tubuh orang yang ia gunakan saat ini. Maka ia, melompati semua prosedur pengobatan, berbalik melawan Albright, untuk mencari fakta akan siapa sesungguhnya Edward ini.

---

Melawan kematian dan menuju kebadian bisa jadi impian banyak orang. Tema ini pun maka sangat menarik untuk selalu diangkat dan diulang dalam berbagai film. Mengedepankan dunia medis dan teknologi yang maju, keabadian ditawarkan dengan menggunakan tubuh orang lain yang telah didonorkan kepada pengguna. Hanya dengan memindahkan ingatan dan kesadaran pengguna saja. Simpel. 

Film ini, dengan tema yang sangat menjanjikan, sayangnya gagal di banyak lini. Teknik shedding yang dilakukan seolah hanya MRI Scan belaka, tak ada singgungan akan kecanggihan dan teknologi apa pun. Seolah hanya dengan menjentikkan jari dan "voila!", semua terjadi. Pergulatan etis, yang awalnya seolah hendak diangkat melalui pertanyaan Albright, "Kau mengajukan pertanyaan yang salah", pun memudar begitu saja. Motif Albright masih samar, apakah keuntungan finansial, idealisme, atau lain lain. Begitu juga dengan Skinner, yang dalam penglihatan Damian telibat dalam peperangan. Mengapa ia terpilih? Acak kah? Kebetulan kah jika ia memiliki kemampuan taktis militer? Yang sayangnya menjatuhkan film ini dalam kisah action standar. Tembak menembak dan selesai. 

---

Pada akhirnya, Damian sadar ia harus mengembalikan apa yang bukan menjadi miliknya, dan memberikan kepada orang lain apa yang sudah menjadi hak mereka. Mengembalikan Edward kepada keluarganya. Memberikan kepada putrinya, Claire, apa yang tak pernah ia sampaikan secara langsung semasa hidupnya. Dan secara etis menghadapi fakta, ia tak bisa hidup abadi tanpa mengambil kehidupan orang lain. Dan, bukankah kita semua begitu?

Monday, May 16, 2016

Solace (2015) : Memahami Masa Lalu dengan Melihat Masa Depan

Seorang agen FBI sekaligus doktor dan juga paranormal dalam satu karakter? Bisa jadi ini premis yang menarik. Dan memang, trailernya saja sungguh menggoda. Belum lagi aktor utamanya adalah Anthony Hopkins dan Colin Farrell. Bagaimana hasilnya?

---

Anthony Hopkins berperan sebagai John Clancy, seorang agen FBI yang mengundurkan diri dan memilih menyepi setelah dirundung kesedihan mendalam akibat kematian putrinya karena leukimia. Di saat bersamaan, Joe (Jeffrey Dean Morgan), sahabatnya yang juga agen FBI sedang menghadapi kasus yang pelik. Sebuah pembunuhan serial yang rapi dan misterius. Ditemani mitranya, dr. Cowles (Abbie Cornish), mereka berdua memaksa John untuk kembali ke lapangan, mencari hal hal yang terlewat dari perhatian mereka. Ini berkat kemampuan John untuk 'melihat' masa lalu dan mendatang sekaligus. Sesuatu yang awalnya dengan skeptis dihadapi Cowles.

Kasus pembunuhan serial ini juga membangkitkan ingatan John akan kematian putrinya yang sudah lama. Bersamaan dengan itu, sang pembunuh, Charles (Colin Farrell), ternyata memiliki kemampuan paranormal yang sama dengan John, bahkan lebih baik lagi. Motifnya yang unik dan misterius membuatnya selalu berada beberapa langkah di depan FBI yang mengincarnya. Pengejaran yang John lakukan yang membawanya kepada fakta sebenarnya akan kematian sang putri.

---

Berperan sebagai agen FBI dengan kemampuan paranormal yang mampu melihat masa depan, Hopkins mengulang peran karakternya sebagai dr. Hannibal Lecter dengan sempurna. Kesan çreepy' masih terasa meski di sini dalam posisi protagonis. Mungkin tak terbayangkan bagaimana ia, dengan usia setua itu, akan beradu aksi dengan Colin Farrel. Tenang, karena memang tak ada. Bukan aksi kebut-kebutan, berkelahi, atau pun tembak-tembakan yang menjadi menu utama film ini. Meski darah tetap saja tumpah. Peran seolah fotokopi ini, meski bagus, justru seolah menghilangkan nyawa dari film ini sendiri. Silence of The Lambs wannabe, mungkin? Ditimpali dengan Abbie Cornish sebagai dr. Cowles yang sebelas dua belas dengan det. Starlingnya Jodie Foster. Selesai sudah.

Tema cerita sendiri sungguhlah menarik. Sayang, sinematografinya, yang berusaha menampilkan 'penampakan' dari John, justru mengganggu. Serial tv Hannibal bahkan lebih baik dalam menggambarkan sebuah 'penglihatan'. Padalah semua yang ditampilkan dalam penglihatan tersebut dibutuhkan dalam bangunan cerita secara keseluruhan. Termasuk teka teki akan kematian putri John. Apakah itu sebuah teka-teki yang coba dihadirkan pada penonton, atau memang hanya serangkaian alur cerita saja? Meski memang, twist yang dihadirkan cukup memberikan kejutan, ketika penonton seperti saya sudah kepalang mencoba menebak maksudnya.

---

Kehilangan putri satu-satunya yang begitu ia sayangi dengan cara yang tragis, berpisah dengan istri tercinta karenanya, membuat hidup John Clancy lebih sepi dari sunyi. Tanya dan simpati dari orang sekitar tak lebih menghibur, meski masih juga meninggalkan luka dan misteri. Dan, John harus menghadapi kenyataan jika setiap korban Charles adalah mereka yang sedang sekarat, putus asa dalam hidupnya, kesakitan dalam kenyataannya. Dilema John, sebagai penegak hukum sekaligus sebagai ayah, dihadirkan dengan apik di sini. Bagaimana ia memutuskan dilemanya, menjadi konklusi film ini. Termasuk kematian sang anak.

---

"Aku memberikan mereka kematian yang cepat. Meringankan mereka dari sakit dan sekarat". Charles, meski memberikan kematian bagi mereka yang merasa membutuhkan, tetap menolak tudingan John bahwa ia sedang "playing God". Dan bahkan dalam titik etis sekali pun, seseorang dengan wewenang penuh, terkadang terdorong kuasa yang ia miliki untuk bermain-main sebagai tuhan. Mungkin kita salah satunya.

Sebagai sebuah tontonan, dengan premis yang menarik, film ini bisa menjadi pilihan di kala senggang anda. Tentu dengan catatan, anda tak perlu memberi harapan tinggi.


Tuesday, May 3, 2016

Mr. Holmes (2015) : Kegetiran Masa Tua Sang Detektif

Ketika Mr. Holmes diperkenalkan ke publik sebagai sebuah tayangan sinema. Saya merasa sangat antusias. Penasaran lebih tepatnya. Saya mengenal dua Sherlock Holmes. Satu, yang cerdas, narsis, jagoan dan heroik dalam diri peran Robert Downey Jr. Dua, sosok introvert jenius dalam diri peran Benedict Cumberbatch. Kali ini, Ian McKellen muncul sebagai sosok ketiga. Terlalu tua? Justru di situ letak daya tariknya.

McKellen berperan sebagai Holmes yang sudah tua dan pensiun, menikmati kesendirian hidupnya di desa bersama lebah peliharaannya, ditemani pembantu dan seorang anaknya laki laki. Mungkin, ia mencari kedamaian dalam masa pengasingannya yang uzur. Namun, kisah membawanya dalam misteri kasus yang belum juga terpecahkan olehnya. Satu kasus terakhir yang ia bawa ke rumah terpencilnya tersebut.

Memerankan orang tua seharusnya bukan hal sulit buat orang seusia McKellen, tentu saja. Tapi di sini jelas terlihat ada dua Holmes yang berbeda yang digambarkan. Holmes yang detektif, dan Holmes seorang tua pikun. Keduanya diperankan dengan apik dan sangat berbeda oleh McKellen. Kejeniusan dan kharisma seorang Holmes saat masih menjadi detektif terpancar jelas. Seolah memang gambaran Holmes nya Cumberbatch di usia tua. Sementara sosok rapuh dan menyedihkan juga membuat saya bertanya-tanya, ïnikah Holmes?".

Saya memprediksi film ini akan berjalan lambar. Ya, memang begitulah adanya. Namun tak berarti menjemukan. Kisahnya tak melulu soal drama seperti yang dicetuskan dalam sinopsisnya. Justru dengan mencampurkan drama masa kini dengan flash back pada kasus terakhirnya di masa lalu, membuat 'pace'film ini terjaga dengan baik. Seolah tak ada jeda untuk rehat. Layaknya kasusnya sendiri, setiap dialog adalah detil yang begitu berharga. Pemecahan kasus bukanlah tujuan utama menikmati film ini, meski dengan pemecahan kasus itu film ini berjalan dalam alurnya.

Sulit membayangkan seorang Sherlock Holmes di akhir hayatnya harus menyendiri, ditinggal (mati) Dr. Watson, sahabat terbaiknya. Dan yang lebih buruk lagi : Kepikunan. Ya, Holmes di sini dipaksa berjuang melawan kepikunan, sesuatu yang tentunya mengerikan untuk seseorang yang punya daya ingat luar biasa seperti dirinya. Dan, di sinilah rasa penasaran saya menemui pelepasnya. Kerapuhan dan kegetiran hidupnya. Menjalani hidup yang tak mungkin rasanya ia bayangkan akan dilalui. Kesendirian, yang dulu ia anggap biasa dan menyenangkan, malah membayanginya dalam kematian. Lagi lagi, McKellen menunjukkan kelasnya. Saya berkali kali harus meyakinkan diri bahwa ini Holmes, Sherlock Holmes!

Sahabat, orang yang paling mengerti diri kita, pada akhirnya tak selalu berarti orang yang selalu berjuang bersama beriringan dalam waktu lama. Sang pembantu dan anaknya, Roger, justru menunjukkan persahabatan dan kekeluargaan meski mereka memang sulit memahami keganjilan seorang Holmes. Seseorang yang besar dalam imaji fiktif yang dibuat Watson, yang dalam pensiunnya justru coba diruntuhkan sendiri oleh diri pemiliknya.

Meski film ini adalah drama, yang tak ada adu penyelesaian kasus dengan cerdas atau pun aksi laga menakjubkan, namun sentuhannya justru mengena. Layak dinikmati, meski Anda bukan penggemar Sherlock Holmes sekalipun.