Monday, December 22, 2014

Supernova : Turbulensi Film-Novel

'Titik bifurkasi (bifurcation point) atau yang biasanya disebut "Titik percabangan dua" adalah fenomena dimana sebuah sistem terbagi kedalam dua kemungkinan perilaku (behavior) akibat perubahan kecil  pada satu parameter. Perubahan lebih lanjut akan mengakibatkan percabangan dua dalam interval regular, sampai pada akhirnya masuk ke kondisi Chaos*. Rangkaian dari instabilitas melalui peningjatan kompleksitas, menjadiakan chaos merupakan fenomena dari suatu sistem kompleks.' Demikian pendahuluan yang layak dari saya atas film Supernova ini. Bifurkasi menjadi kata yang paling asing ketika menyaksikan film ini.

Film ini saya tonton tanpa ada pengetahuan sedikit pun akan jalan ceritanya. Satu-satunya informasi yang saya pegang adalah film ini diangkat dari novel karya Dewi 'Dee' Lestari yang disebut-sebut sangat 'canggih', karena bisa mengangkat sebuah tema yang berat dalam jalinan kisah cinta yang melibatkan sains. Bingung? Sama.

Satu pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran saya adalah, ketika menyaksikan sebuah video klip lagu, bisa dibuat dengan begitu hebat. Baik dari segi narasi cerita, animasi yang imajinatif, dan visualisasi yang cantik. Sesuatu yang boleh dibilang hampir tidak pernah ditemukan dalam versi film full. Dalam 15 menit pertama, terus terang saya langsung suka dengan film ini, karena apa yang menjadi pertanyaan dan bayangan saya bisa diwujudkan di sini. Sebuah film dengan olah rasa video klip.

Memang, karena ketidaktahuan saya tentang novel yang memang belum saya baca. Sedari awal duduk, saya lansung dijejali berbagai susunan kalimat, kata, dan istilah yang membuat kening berkerut, hingga berpikir, "Sudahlah, tak usah dipikirkan, nikmati saja filmnya". Pada titik ini juga saya langsung merasa tidak perlu lagi baca novelnya, karena hanya dengan kalimat-kalimat yang sepertinya dikutip dari buku saja, sudah susah mencerna filmnya, apalagi harus membaca novelnya secara keseluruhan.

Bisa jadi, kalimat kalimat puitis dan indah yang dibalut istilah sains itu memang memiliki makna terdalam yang membantu memahami maksud cerita ini. Sayangnya, para pemain, khususnya tokoh Ferre/Re, membuat seolah gelontoran kalimat itu sesuatu yang ringan saja. Ringan, jika berarti memudahkan pemahanan, tentu baik. Tapi, jika ringan berarti tidak penting? Ya, jadi malah terabaikan. Begitulah para tokoh terutama Re memperlakukannya. Kata-kata yang mengalir snagat cepat beradu satu sama lain malah mengaburkan setiap katanya.

Tampilan futuristik dari media obrolan Supernova awalnya adalah sesuatu yang 'keren' di film ini. Sayangnya, ketika 'petuah' Supernova dituangkan bulat-bulat dalam bentuk tulisan memenuhi layar, apalagi yang bisa dinikmati? Membacanya saja belum tuntas, sudah harus berkonsentrasi pada adegan berikutnya, sementara otak masih memroses apa maksud dari tulisan tersebut.

Siapa atau apakah Supernova itu? Saya seperti tidak ikhlas kalo jawabnya adalah 'Diva'. Ya, dia bisa jadi siapapun tokoh yang penting di fiilm ini. Tapi Diva? Di mana keterlibatannya yang katanya menghubungkan begitu banyak orang dalam jalinan kisah ini? Beberapa chat-nya tidak menggambarkan seperti itu. Lalu, sosok Diva sebagai model sekaligus pelacur papan atas jelas tidak memberikan keterlibatan apa pun dalam cerita ini. Sepertinya, biarkan sajalah Supernova menjadi misterius.

Secara keseluruhan. film ini memenuhi banyak harapan akan visualisasi sinematik yang indah, animatif, imajinatif, dan futuristik. Hanya saja, menyajikan bentuk novel secara bulat, dialog puitis dalam bahasa keseharian, mungkin akan sangat asing bagi sebagian kita. Tidak nyata, bahkan. Anda pernah menyaksikan film Coriolanus (2011)? Film ini berpotensi seperti itu dalam kerumitan pemahaman diksinya. Pun begitu, film ini layak tonton, terutama sebagai penyadaran, bahwa Indonesia ada seorang penulis dengan konsep yang luar biasa seperti ini, dan usahanya untuk menampilkan bahasa tulis ke dalam media visual seperti film.

'Jika Anda masih melihat dunia dengan hitam dan putih, bersiaplah mengalami turbulensi'

Saturday, December 20, 2014

Pendekar Tongkat Emas : (belum) Sebuah Karya Emas

Setelah lama hilang, akhirnya di penghujung tahun 2014 ini ada sebuah film Indonesia yang mengangkat tema silat klasik. Sebuah waktu yang tepat untuk melepas kerinduan dengan kejayaan masa lalu.

Pendekar Tongkat Emas berkisah tentang Cempaka (Christine Hakim), seorang mahaguru ilmu tongkat dari peguruan tongkat emas yang hendak mewariskan perguruan dan ilmu terakhirnya kepada salah satu dari empat murid terbaiknya, Biru ( Reza Rahardian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia), dan Angin (Aria Kusumah). Biru dan Gerhana adalah anak dari musuh-musuh Cempaka di masa lalu yang telah tewas terbunuh dan dirawat layaknya anak kandungnya sendiri. Dengan kemampuan silat paling tinggi di antara saudara yang lain, Biru merasa paling berhak menerima warisan Tongkat Emas dan ilmu pamungkasnya, Tongkat Emas Melingkar Bumi. Sayang, hanya kekecewaan dan kemarahan yang diperolehnya ketika Guru Cempaka lebih memilih Dara sebagai penerus.

Dalam perjalanan pengasingan guna berlatih secara rahasia, Cempaka, Dara, dan Angin dihadang oleh Biru dan Gerhana, setelah beberapa malam sebelumnya mereka meracuni guru mereka tersebut. Pertarungan tidak seimbang pada akhirnya membuat Cempaka tewas, sementara Dara dan Angin terjatuh ke bawah jurang. Di saat itulah sesosok bayangan menyambut dan menyelamatkan mereka berdua.

Biru dan Gerhana, diterima menjadi murid utama perguruan Sayap Merah dan mengumumkan kematian guru Cempaka, sembari menuduh Dara dan Angin sebagai pembunuhnya. Tidak butuh waktu lama bagi mereka sampai menarik simpati guru Sayap Merah dan menggantikannya, juga dengan meracuni terlebih dahulu. Maka, Biru pun menjadi guru dan melebarkan sayap perguruannya, menantang perguruan silat lain, mengancam kedatuan persilatan, dan meresahkan masyarakat.

Dara, beserta Angin, ditolong oleh pemuda misterius bernama Elang (Nicholas Saputra), sosok yang kemudian memberi jalan bagi mereka untuk mencari Naga Putih, pewaris lain ilmu pamungkas Tongkat Emas. Bersamanya, Dara berlatih dan berjuang menuntut balas atas kematian Guru Cempaka, sekaligus mengakhiri kekacauan yang dibuat oleh Biru dan Gerhana.

***

Pada media sosial, sudah banyak viral akan film ini, dan sambutannya sangat positif dengan puja-puji di sana sini. Semakin memotivasi untuk segera menyaksikan film ini. Belum lagi jajaran pemainnya yang tidak main-main. Sayang, saya harus tidak sepakat dengan banyak pengguna media sosial tersebut.

Cerita yang dibawakan dalam film ini tentu sangat klasik. tidak ada yang baru, karena memang begitulah cerita cerita silat adanya. Yang mengagumkan dari film ini adalah bagaimana properti dan make up mencoba untuk tampil sealamiah mungkin, menyesuaikan dengan jamannya. Belum lagi panorama alam yang disajikan, membuat bagian film ini lebih cocok untuk National Geographic alih-alih film silat.

Sayangnya, ada beberapa celah yang mengganggu buat saya.

Pertama. Seperti komentar teman, kehadiran Eva Celia membuat film ini menjadi bias. Apakah ini film anak-anak? Atau kisahnya seorang anak lalu menjadi dewasa? Tidak ada perubahan tampilan pada dirinya jika bercerita film ini merupakan cerita beberapa tahun perjalanan hidup.

Kedua. Koreografi pertarungannya bagus, hanya saja sepertinya tidak punya cukup persediaan. Karena, gerakan jurus yang hampir sama terlihat berulang-ulang. Atau mungkin memang ilmu silat yang mereka kuasai terbatas tetapi sangat hebat?

Ketiga. Apa urusannya penduduk sampai mengungsi, mengingatkan pada film Exodus yang juga sedang tayang saat ini. Mereka ini adalah perguruan silat, bukan bangsa penjajah. Atau perguruan juga bisa menjajah? Lalu di mana peran pemerintah? (Lho?!)

Keempat. Dialog dan emosi yang tampil dalam film ini terkesan datar. Walau Reza mencoba terlihat bengis dan licik, sementara Nico tetap cool layaknya Rangga AADC, tidak ada keterlibatan emosi dari penonton. Percintaan Biru dan Gerhana pun seolah ada dan tiada. Romantisme Elang dan Dara pun muncul malu-malu.

Kelima. Berapa lama waktu yang dibutuhkan Dara untuk berlatih dan menguasai jurus pamungkas tongkat emas? Rasanya sebentar saja. Bisa jadi Anda sedang menembus ruang waktu bersama Interstellar, karena nyatanya Gerhana sudah memiliki anak! Bukan sekedar bayi, tapi anak berusia 5-6 tahun.

Keenam. Cempaka berpesan bahwa Tongkat Emas jangan sampai jatuh ke tangan orang yang salah. Sehebat apakah senjata ini? Bagi anda yang tau, silakan beri tahu saya. Karena sampai saat ini saya tidak tahu kehebatan apa pun dari tongkat ini, kecuali mungkin tongkat ini terbuat dari emas dan bernilai tinggi jika dijual.

Ketujuh. Adegan pertarungan terakhir memang menjadi sajian utama film ini. Yang bagus, tetapi sayangnya, terlalu panjang. Ya, dengan durasi pertarungan yang lama, dimulai dari muka perguruan Sayap Merah hingga tiba-tiba mereka melompat ke rumah perguruan tongkat emas (mungkin hanya bersebelahan pagar), sementara adegan adu jurusnya tidak terlalu istimewa dan beragam.

***

Melihat bagaimana para pemain melakukan aksi bertarung, harus diakui film ini memang luar biasa. Terlihat kesungguhan aktor dan aktris yang memaksakan beradegan silat tersebut. Sebagai sebuah usaha juga mengangkat kembali genre silat klasik. memang seharusnya film-film seperti ini diperbanyak, dengan aktor dan aktris lain. Mana tahu, akan lahir Adven Bangun dan Barry Prima generasi baru. Film yang tepat untuk mengisi waktu luang anda. Ya, hanya gunakan waktu anda yang sangat luang, dan terimalah persembahan terbaik anak negeri.

Thursday, December 11, 2014

Exodus : Gods and Kings

Salah satu film besar di penghujung tahun 2014 akhirnya keluar. Film bertema religius dengan tokoh yang tidak kalah populer setelah 'Noah' beberapa waktu lalu.

Dikisahkan, Moses (Christian Bale) adalah anak angkat dari Seti I ( John Turturro), penguasa Mesir, dan bersaudara dengan Rameses II (Joel Edgerton). Dalam kesempatan perang melawan kaum Hitti, sebelum berangkat, diramalkan bahwa salah satu dari mereka akan menyelamatkan yang lain dan akan menjadi pemimpin. Terjadi dalam serbuan tersebut, Moses menyelamatkan Rameses dari tikaman salah seorang musuh. Seti pun berpendapat, seandainya Moses adalah benar anaknya, maka ia memang pantas untuk menjadi penerus.

Dalam sebuah misi ke Pithom, Moses mendapati di sana ada begitu banyak budak yang dianggap oleh sang gubernur mengancam keselamatan jiwanya, sehingga ia merasa perlu untuk menekan para budak tersebut. Mencoba berbicara secara langsung dengan para budak, Moses berhadapan dengan Nun (Ben Kingsley) yang mengatakan bahwa ia bukanlah seorang anak Mesir seperti yang ia anggap selama ini. Ia justru adalah orang yang diramalkan untuk membebaskan para budak, bangsa Hebrew. Dipenuhi tanda tanya dan kebimbangan, Moses pulang ke Memphis dan mendapati Seti I dalam kondisi sekarat, hingga akhirnya meninggal dunia.

Di tengah perseteruannya dengan Rameses yang dipengaruhi oleh sang ibu, Tuya (Sigourney Weaver), Moses akhirnya diasingkan seorang diri tanpa perbekalan. Niatan Rameses untuk membunuhnya sulit terwujud karena Moses tidak melakukan kesalahan yang fatal. Di tengah perjalanannya menembus gurun pasir, Moses akhirnya sampai di sebuah desa. Menikah dan menjadi penggembala. Hingga sembilan tahun kemudian. Dalam sebuah badai menerjang saat ia menggembalakan dombanya, Moses ditimpa reruntuhan batu bukit hingga terendam lumpur. Dalam kondisi sekarat, ia melihat pohon yang berapi-api dan kemunculan seorang bocah misterius. Bocah yang menyadarkannya akan diri dan tugasnya yang belum selesai. Misi yang membuatnya harus kembali ke Mesir, meninggalkan anak istrinya, menuju bangsanya yang tertindas.

Moses kembali ke Mesir dan mulai menghimpun bangsa Hebrew untuk bersatu dan membebaskan mereka dari penindasan. Sebuah tindakan yang dibalas Rameses dengan hukuman demi hukuman kepada bangsanya. Dianggap tidak cukup meyakinkan untuk menjalankan misinya, sang bocah misterius hadir kembali dan mengatakan akan hadirnya sepuluh wabah menerpa Mesir. Maka dimulailah, dari air sungai nil yang memerah darah, membunuh semua ikan yang ada di dalamnya, kemunculan jutaan kodok hingga masuk ke kota dan mati, hingga kematian hewan ternak dan gagal panen. Rameses, di tengah kekeraskepalaannya menerima permintaan Moses untuk mengalah, justru semakin beringas. Ancaman terakhir pun tiba, tak ada seorang anak pun, kecuali akhirnya mati pada malam tersebut, termasuk anak satu satunya dari Rameses. Akibat keputusasaannya, Rameses akhirnya mengijinkan Moses beserta para pengikutnya pergi meninggalkan Mesir.

***

Setelah Noah yang menggunakan penceritaan yang dianggap berbeda dari kebanyakan cerita cerita sebelumnya, kali ini Exodus mencoba menceritakan Moses sejak ia menjelma menjadi jenderal perang Mesir, sekaligus 'Pangeran Mesir'. Seolah ingin merasionalkan cerita yang ada, Exodus seperti akan menghindari kejadian dan tokoh metahuman yang muncul di film Noah. Cerita yang familiar bagi para penonton, setidaknya saya, dimulai dari akhirnya ia berjumpa (calon) istrinya di sumur umum, lalu menikah, hingga akhirnya mendapat tugas dari Tuhan.

Moses, atau biasa dikenal Musa, adalah seorang prajurit bahkan jenderal perang? Tidak pernah membayangkan hal tersebut sebelumnya. Apalagi ketika ia mengajarkan kepada para budak bagaimana menggunakan pedang, panah, berkuda, untuk beperang. Terlepas dari itu, karakter Moses yang diperankan Bale ini sepertinya tidak cukup kuat. Maaf, John Cusack di '2012' saja masih lebih menarik perhatian daripada Bale di sini, itu jika kita fokus pada wabah yang menerpa Mesir pada film ini. Pun begitu, keberadaan penyebaran wabah ini tergambar dengan cukup baik, kengerian dan kepedihan bisa terbangun dengan halus dari awal sampai akhir, meski tidak sampai pada puncak. Hal yang cukup janggal melihat seorang Moses tidak perlu bersusah payah menyembunyikan dirinya, padahal ia orang paling dicari di Mesir. Ia masih bisa hadir di penghukuman gantung, berkuda, bahkan melatih para budak. Bisa jadi, Rameses terlalu fokus pada penyelesaian wabah sehingga menyepelekan kehadirannya.

Efek khusus yang digunakan cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisi wabah yang menyerang, dan tentu saja yang paling ditunggu, laut terbelah. Khusus untuk laut terbelah, saya justru tidak berhasil mendapati kejadian ini, karena memang tidak digambarkan laut terbelah seperti yang ada dalam imaji. Saat bangun tidur, Moses dan pengikutnya sudah melihat Laut Merah surut dalam radius yang sangat luas. Sekali lagi menentang imaji saya, untuk sesuatu yang masuk akal, kita bicara rombongan yang jumlahnya ratusan ribu bahkan mungkin jutaan, bukan sekadar ratusan orang, sehingga visual laut yang terbelah layaknya terowongan tidak ada di sini. Tapi, saya gagal menangkap gemuruh keriuhan dan kengerian saat laut kembali menyatu. Yang ada hanya adegan tsunami besar, Cukup.

Dengan durasi 2.5 jam, sulit untuk mendapatkan sesuatu yang 'memorable' dari film ini. Dialognya datar, bahkan cenderung tanpa emosi. Aksi peperangannya pun seolah tak sungguh-sungguh. Tak ada cipratan darah, bagian tubuh yang terpotong, apalagi kepala terpenggal. Moses di sini memang lebih digambarkan sebagai pembebas. secara fisik. Membebaskan dari perbudakan, melalui perlawanan. Jika Moses, atau Musa, dianggap sebagai Nabi dalam artian spiritual, tidak ada dalam film ini. Nilai apa yang coba disampaikan oleh sineas? Mungkin anda bisa beritahu saya.

Wednesday, December 10, 2014

Big Hero 6 : Panda-robot-Avengers

Apa jadinya ketika Disney bertemu Marvel? Film Big Hero 6 ini bisa menjawab pertanyaan tersebut.

Di kota San Fransokyo, Hiro Hamada, seorang remaja jenius tertarik dengan dunia robot menghabiskan waktunya dengan dunia pertarungan robot yang tidak jarang dicampur dengan taruhan, sesuatu yang ilegal tentu saja. Sang Kakak, Tadashi Hamada, merasa cemas bakat adiknya ini terbuang sia-sia. Maka Tadashi mengajak Hiro ke laboraorium kampusnya dan mengenalkan Hiro kepada teman-temannya, Wasabi, GoGo, Honey, dan Fred. Tadashi memamerkan penemuannya, sebuah robot pelayanan kesehatan bernama Baymax. Hiro, terutama selepas pertemuannya dengan Prof. Callaghan, termotivasi untuk melnajutkan kuliah di kampus tersebut. Namun, satu hal yang menjadi tantangan. Untuk bisa masuk mendaftar jadi mahasiswa di kampus tersebut, Hiro harus membuat penemuan yang bisa mengesankan Prof. Callaghan.

Didukung oleh Tadashi dan teman-temannya, Hiro akhirnya bisa menyelesaikan proyeknya dan mempresentasikan dengan baik di depan hadirin, termasuk Callaghan, dan ilmuwan-pebisnis, Alistair Krei, yang tertarik untuk membeli penemuan Hiro, sebuah mikrorobot yang bisa dikendalikan dengan pengendali syaraf hanya dengan menggunakan pikiran penggunanya. Hiro yang merasa tidak perlu menjual penemuannya dengan cepat menolak tawaran tersebut. Saat pulang dari kampus, mereka mendapati laboratorium mereka terbakar, dan Callaghan ada di dalamnya. Tadashi segera masuk menembus kobaran api. Sayang, gedung tersebut meledak, dan Tadashi beserta Callaghan dinyatakan meninggal.

Di tengah kesedihannya, suatu hari secara tidak sengaja Baymax muncul dari kotak penyimpanannya. Sebagai robot kesehatan, ia bisa memindai kondisi fisik dan psikis pasien. Ia menemukan bahwa sisa mikrorobot yang dimiliki Hiro bergerak seolah hendak ke suatu tempat. Baymax pun mengikuti mikrorobot tersebut. Hiro mengejar Baymax hingga mereka tiba di suatu gudang kosong, yang ternyata di dalamnya sebuah pabrik yang membuat begitu banyak mikrorobot. Tidak sampai di situ saja, Hiro dan Baymax dikejutkan dengan hadirnya seseorang dengan memakai Topeng Kabuki yang mampu mengendalikan mikrorobot tersebut dengan pikirannya dan mulai menyerang mereka. Apa hubungan orang ini dengan kecelakaan dan kematian Tadashi serta Callaghan di laboratorium kampus tersebut?

***

Setelah agak kecewa dengan Interstellar, Big Hero 6 bisa jadi akan sedikit menyembuhkan luka tersebut. Disney, setelah sukses dengan Frozennya, kembali mengibarkan diri sebagai spesialis film animasi kelas atas. Film ini tentu saja akan diharapkan sukses seperti film-film mereka sebelumnya.

Masih dengan formula film keluarga di mana kali ini tokohnya seorang anak remaja yang kehilangan kakak kandungnya dan tinggal bersama bibi mereka, Hiro, tokoh utamanya, mencoba memecahkan misteri siapakah penjahat yang bisa mengendalikan penemuannya, dengan bantuan teman-temannya. Tergambar dengan baik bagaimana hubungan persaudaraan keduanya, walau sepertinya masih bisa lebih intens lagi. Sementara hubungan persahabatan Hiro dengan keempat temannya berasa datar, tidak tergambar ikatan emosional yang kuat di antara mereka.

Baymax menjadi bintang dari film ini, dengan tampilannya yang memang dibuat lucu dan imut, seperti 'marsmallow berjalan', memang sulit membayangkan bahwa robot ini akan menjadi robot jagoan. Tapi, Kungfu Panda sudah menjawab bahwa hewan sebulat panda pun bisa menjadi jagoan. Dialog dan gerak geriknya cukup memberikan humor yang menggelitik di sepanjang film ini. Transformasi robot lucu menjadi robot jagoan berlangsung mulus dalam durasi 1,5 jam. Bahkan ketika ia harus bersikap 'kejam' akibat program pelayanan kesehatannya dicabut oleh Hiro.

Sayangnya, lagi-lagi, emosi yang muncul dalam film ini kurang ditampilkan secara maksimal. Penonton tidak cukup merasakan kehilangan Hiro akan Tadashi. Persahabatan yang timbul antara Hiro dan Baymax pun terkesan biasa-biasa saja. Apalagi dengan Wasabi, GoGo, Honey, dan Fred, empat orang yang kemudian menjadi 'sidekick'-nya. Inovasi alat-alat penemuan mereka menjadi alat bantu superhero pun jadinya seperti tiba-tiba. Seolah durasi yang tersedia tidak cukup untuk menuangkan keseluruhan film ini.

Big Hero 6, layaknya film Disney lainnya, mencoba menawarkan pesan nilai. Bermanfaat bagi orang lain, seperti tujuan Tadashi membuat Baymax, diterjemahkan lebih luas oleh Hiro. Ya, Baymax adalah sebuah robot pelayanan kesehatan. Tapi, Baymax juga robot superhero yang bersama Hiro dan rekan-rekan mencoba menolong sesama. Dan, seperti film lainnya yang merupakan awal dari sesuatu, film ini menyimpan potensi untuk dibuat sekuel. Tidak salah, karena sineas film ini akan punya kesempatan lebih besar untuk lebih memaksimalkan apa yang sudah ada pada film ini. So, welcome the new hero.

Interstellar : Gravitasi Melampau Waktu?


"Ketika bumi sudah tidak bisa lagi menopang kehidupan manusia, apakah manusia akan punah?'
Film yang bercerita tentang akhir kehidupan manusia dan dunia sudah cukup banyak. Baik karena peristiwa alam maupun serangan alien. Dan manusia, seperti biasa, selalu beradaptasi dan berjuang menyelamatkan spesiesnya.

Dikisahkan, dalam waktu yang tidak terlalu jauh di masa depan, kehidupan manusia terancam. Kesulitan pangan dan kelaparan mengancam karena rusaknya perkebunan dan gagal panen. Pemerintah (AS) lebih fokus pada penyelamatan manusia daripada bidang lain, bahkan seorang pilot sekaligus insinyur seperti Cooper (Matthew McCounaghey) harus kembali jadi petani, mengurus ladangnya, sedikit dari yang tersisa, hanya tinggal tanaman jagung yang dapat hidup, bersama bapak mertua dan kedua anaknya, lelaki dan perempuan. Anak perempuannya, Murph (Mackenzie Foy/Jessica Chastain), merasa ada sosok hantu di kamarnya yang selalu menjatuhkan buku-buku dari lemari. Sesuatu yang bagi Cooper 'tidak ilmiah'. Hingga pada suatu badai pasir menerjang, Cooper mendapati jatuhnya pasir membentuk sebuah pola biner yang berisi koordinat lokasi. Ketika Ia beserta Murph ke sana, diketahui bahwa ternyata itu adalah lokasi NASA.

NASA mengembangkan Proyek Lazarus secara rahasia karena tidak ingin menimbulkan protes dari masyarakat, bahwa uang negara dihabiskan banyak untuk proyek luar angkasa sementara masih banyak orang kelaparan. Proyek ini telah mengirim 12 orang ke luar angkasa menembus wormhole/lubang cacing ke 12 sistem galaksi yang berbeda untuk mencari planet yang cocok untuk dihuni oleh manusia. Hanya ada tiga orang yang mengirimkan respon kembali ke bumi, yang harus ditindaklanjuti dengan mengirim tim untuk kemudia menjalankan Rencana A : Pemindahan manusia yang tersisa ke planet yang ada, dan Cooper dipilih untuk menjadi pilot pesawat ini bersama Dr. Amelia Brand (Anne Hathaway), Doyle (Wes Bentley), dan Romilly (David Gyasi).

***

Christopher Nolan kembali menghadirkan film sci-fi yang makin mempertaruhkan namanya sebagai sineas jempolan dengan mengangkat tema lama dengan kemasan baru ini. Manusia diambang kepunahan lalu ada sekelompok orang yang berjuang menyelamatkannya adalah tema yang sudah mengakar di film-film Hollywood. Yang menjadi perbincangan kemudian adalah bagaimana film ini secara spesifik mencoba berbicara tentang perjalanan melalui Lubang Cacing/Wormhole, menembus Lubang Hitam/Blackhole, dengan berbagai atribut teori Relativitas Einstein yang ada. Rumit? Seolah ingin mengiyakan, Nolan sampai harus menggunakan jasa seorang ilmuwan, Kip Thorne, sebagai konsultan khusus pada bagian ini. Jadi jika Anda tidak memahami apa yang dibicarakan para tokoh di film ini, terima kasih, Anda sama dengan saya.

Ketika saya hendak melihat film ini, tentu harapan bahwa ini adalah karya Nolan seharusnya tidaklah menjadi film yang biasa. Sayangnya, harapan itu seolah pupus bahkan saat film ini belum mencapai separuhnya. Tidak ada yang salah dalam film ini. Ceritanya jelas, sentuhan efek khususnya bagus, mengabaikan detil teknis ilmiah di dalamnya, film ini bagus. Tapi untuk sebuah film dari Nolan? Jalan cerita film ini cukup kuat, dengan sentuhan emosi dan konflik yang dibangun antara karakter Cooper dan Murph, konflik rasional-emosional yang membuat Cooper setengah hati menjalankan misi ini, hingga ketegangan yang timbul dari penjelajahan ke planet antah berantah.

Anggapan saya bahwa film ini adalah action sci-fi seolah runtuh justru karena drama yang terbangun di dalamnya. Bagaimana Cooper, yang berjuang demi menyelamatkan keluarganya dan banyak keluarga lainnya di bumi, harus dihadapkan pada kenyataan bahwa, karena relativitas waktu, mereka harus berjuang untuk manusia yang mungkin masih hidup dalam hitungan puluhan tahun ke depan, dalam hitungan waktu bumi. Bagaimana tidak, saat hendak mendarat ke planet pertama saja, satu jam di sana sama dengan tujuh jam di bumi. Penonton pun dibuat hanyut kesedihan Cooper yang telah melewatkan 23 tahun kehidupan anak anaknya di bumi. Dilema juga dihadapi Cooper ketika harus memilih untuk segera kembali ke bumi dengan resiko seluruh manusia (tentu termasuk keluarganya) telah mati bahkan punah, atau melanjutkan misi dengan Rencana B : Membangun koloni manusia baru dengan bibit DNA yang mereka bawa dari bumi.

***

"KIta berani berkorban untuk diri kita dan keluarga kita. Orang-orang yang dekat dan kita kenal. Tapi apakah kita, manusia, mau berkorban untuk mereka yang ada di masa mendatang? Orang-orang yang kita tidak pernah tau?", lebih kurang begitu Doyle membangun kesadaran Cooper. Bahwa empati tidak bisa melampaui waktu. Apakah yang kita lakukan saat ini, dalam hidup kita, hanya untuk diri sendiri dan keluarga kita, atau untuk umat manusia ratusan bahkan ribuan tahun mendatang, waktu di mana kita bisa jadi tidak diingat pernah berkorban untuk mereka?

'Manusia selalu diajarkan untuk meninggalkan bumi, bukan menyelamatkannya'. Saat bumi sudah mencapai batas menopan tidak hanya kehidupan tapi juga keserakahan manusia, akankah bumi mati? Lalu saat itu tiba, apakah kita, manusia, juga akan ikut mati? Disebutkan, manusia akan selalu beradaptasi mengatasi masalahnya. Ketika ancaman kerusakan yang berakibat kepunahan itu benar akan tiba, apa yang bisa dilakukan manusia?

Nolan, sepertinya lebih hendak memberikan sebuah nilai alih-alih hiburan efek khusus yang memanjakan atau ketegangan yang demikian intens. Ketika harapan film ini akan seru, saya pribadi menganggap kenyataannya sungguh mengecewakan. Tapi mendapati hal lain daripada sekedar perjalanan luar angkasa, itu nilai tambah tersendiri. Terlepas dari beberapa kejanggalan secara ilmiah atas penggambaran luar angkasa seperti wormhole-blackhole dan kejadian di sekitarnya, film ini setidaknya mendasari pada satu keilmuan yang tidak sembarangan. Walau anda tidak mungkin seketika menjadi ahli fisika atau astronomi hanya dengan menonton film berdurasi 2.5 jam ini.