Tuesday, January 20, 2015

Reviu Film Sepanjang 2014 (Yang Telah Ditonton)

Sepanjang tahun 2014 yang telah berlalu. Saya sudah menyaksikan beberapa film yang tayang langsung di gerai jaringan XXI dan Cinemaxxx. Ada yang sengaja ditonton karena sepertinya bagus, ada juga unsur ketidaksengajaan yang mengundang saya ke sana.
Dari beberapa film tersebut, setidaknya ada 22 catatan yang saya buat terkait film-film yang sudah saya tuangkan pada lama akun facebook saya. Selanjutnya, setidaknya saya mencoba membuat daftar '5 Film Terbaik 2014', sesuatu yang mudah tapi susah. Susah, karena film-film tersebut berbeda dalam genre dan tema. Ada drama, lebih banyak aksi. Ada juga animasi. Ada produksi dalam negeri. Rasanya sungguh tidak adil mempertandingkan film-film berbeda lalu memberi rangking. 

Pun begitu, saya akan menuliskan 5 film setidaknya mewakili setiap segmen, tanpa urutan rangking, seperti berikut ini :
  • How To Train Your Dragon 2. sebagai wakil dari film animasi. Kisah yang semakin padat daripada film pertama, ditambah dengan naga yang semakin banyak dengan adegan peperangan yang juga beragam, membuatnya layak masuk daftar. Boleh jadi (seharusnya) Big Hero 6 akan dibuat sekuel yang jauh lebih baik.
  •  Dawn of The Planet of The Apes. Juga film sekuel. Film yang penuh CGI ini harus saya bandingkan dengan Guardian of The Galaxy dan Teenage Mutant Ninja Turtles (TMNT), dan saya memilih film ini karena punya nilai yang lebih solid dalam filmnya.
  • The Maze Runner. Dari beberapa film young-adult yang beredar, mulai dari Hunger Games, Divergent, dll, saya lebih memilih film ini karena film ini terasa lebih maskulin. Patut ditunggu apakah sekuelnya masih bisa sekuat yang pertama
  • Supernova : Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Film ini jelas lebih masuk pilihan buat saya daripada Pendekar Tongkat Emas sebagai dua film Indonesia yang saya tonton pada 2014. Terlepas dari beberapa catatan minus yang saya buat di reviu, film ini menunjukkan bahwa sineas Indonesia pada akhirnya bisa mewujudkan novel-to-movie dengan baik
  • The Fault in Our Stars. Genre drama remaja yang jauh dari kata cengeng, bisa dibilang yang terbaik dari seluruh film yang ada. Dialog yang berisi dan cerdas, jalinan kisah yang simpel tapi tetap menarik dari awal sampai akhir adalah kekuatan film ini.
Tentu saja, semua itu berdasarkan selera dan ketersediaan waktu untuk menyaksikan banyak film yang tayang. Kesimpulan sederhananya, Tahun 2014 adalah tahun yang memberi banyak ekspektasi atas film bagus tapi ternyata realisasinya, setelah ditonton, justru jauh dari harapan. Semoga hal demikian tidak terjadi di Tahun 2015 ini.

Blackhat : Meretas Dunia Global dari Jakarta?

Siapa yang merindukan film aksi menawan nan cerdas seperti Collateral? Atau remake serial klasik Miami Vice? Michael Mann layaknya seorang yang tau bagaimana menyajikan sebuah film aksi alternatif, tidak membosankan, bahkan memberi suasana berbeda.

Blackhat berkisah tentang peretasan yang mengakibatkan terjadi kerusakan pada mesin pembangkit di Cina (ya, Cina, bukan Tiongkok), menyebabkan pembangkit tersebut meledak, meleleh, dan menimbulkan korban. Kapten Chen Da Wai (Wong Leehom) yang menjadi penanggung jawab kasus ini meminta pada atasannya agar dapat bekerja sama dengan FBI, karena Amerika Serikat ternyata mengalami serangan yang sama. Hanya saja, AS lebih baik dalam bertahan sehingga tidak terjadi kekacauan. Di saat melihat kode yang dibuat peretas, Chen menyadari satu hal, kode tersebut dibuat oleh ia dan kolega kampusnya semasa di MIT dulu, Nicholas Hathaway (Chris Hemsworth). Masalahnya, Nick sedang ditahan di penjara karena kejahatan transaksi elektronik yang dilakukannya. Maka, Chen secara khusus meminta Nick dibebaskan dan masuk dalam tim mengejar 'Blackhat'.

Plot yang disajikan pada film ini sebenarnya sederhana. Tidak ada yang baru juga. Tema peretasan dan kecanggihan teknologi daring sudah beberapa kali ditampilkan Hollywood, mulai dari Enemy Of The State hingga Eagle Eye. Boleh jadi yang menarik perhatian, bagaimana Mann menggiring film ini menjadi layak tonton.

Sayangnya, untuk durasi 130 menit, film ini terlalu lama. Lama, karena banyaknya adegan yang tidak perlu dan tak seharusnya berpanjang-panjang. Pembukaan film yang menampilkan arus data mulai dari kabel, motherboard, hingga bagian mikroskopik dari chip memang menarik, jika saja tidak menghabiskan hampir 10 menit hanya untuk itu saja. Lagipula, film-film tentang peretas di masa lalu sudah pernah melakukannya. Atau, adegan helikopter penyerbuan Chen dan tim menuju kediaman Elias Kassar, terlalu lama durasinya. Sementara, begitu banyak cerita yang justru melompat-lompat, seolah tidak runut.

Keseruan Chen dan Nick dalam mengejar 'blackhat' diperparah dengan solusi yang muncul begitu saja di depan mata. Seberapa hebatnya seorang Nick? Jika melihat dari film ini, rasanya ada begitu banyak peretas yang bisa melakukan apa yang ia lakukan. Bahkan usahanya menembus keamanan NSA untuk mengambil program Black Widow pun terasa kacangan. Lagi-lagi, semua solusi, termasuk arus uang bank yang berputar keliling dunia bisa dengan gampangnya dipindahkan ke satu rekeningnya.

Hal menarik dari Mann adalah olah visualnya dengan shaky cam, biasanya menggunakan camera digital yang menampilkan gambar video yang seolah tidak diolah khusus untuk tayangan sebuah film besar, lebih seperti kameramen amatir. Parahnya, ini terjadi di adegan tembak-tembakan yang paling banyak dan lama, di dermaga. Hampir tidak bisa dibedakan dengan tampilan visual sinetron Indonesia. Serial keluaran barat bahkan jauh lebih baik terasa. Sementara kamera gerak sangat apik ditampilkan di Collateral, di sini, malah mengganggu kenikmatan.

Jika ada yang menghibur dari film ini, tentunya ketika Jakarta tidak hanya disebut, tetapi menjadi bagian penting, karena puncak film ini justru terjadi di depan patung selamat datang. Walaupun, penggambaran Jakarta lagi lagi terlihat kotor dan kumuh, jauh dari tampilan yang layak untuk mempromosikan diri, itu pun jika pihak Indonesia dilibatkan dalam ajang promosi kota. Sepertinya tidak. Parade tari bali di Papua Square di Jakarta? Sebelumnya, memangnya Papua Square betul ada? Lagipula, ada bule main pukul masa' sekian ratus orang tidak marah dan membalas? Malah cuek saja? Belum lagi kemudian jadi korban tembak-tembakan di tengah lapangan?

Pada akhirnya, satu pesan dari film ini adalah, jika Anda tertembak, obati saja dengan Betadin!

Thursday, January 8, 2015

Taken 3 : It Ends Here, Obviously

Instalmen terakhir film Taken akhirnya tayang juga. Setelah sebelumnya dikabarkan Liam Neeson menolak untuk berperan lagi dalam film ini. Ada sebuah kerinduan tersendiri akan karakter Bryan Mills, seorang kepala keluarga yang melakukan segala cara untuk melindungi keluarganya : Anak gadis dan mantan istrinya.

Ketika berhembus kabar akan dibuat film ketiga, satu pertanyaan yang muncul : Siapa lagi yang akan diculik kali ini. Dan, Taken 3 menjawabnya dengan tegas : Tidak Ada! Ya, film ini sedari awal telah meruntuhkan premisnya sendiri. Jika di film pertama, Kim Mills (Maggie Grace) telah diculik, lalu istrinya, Lerone 'Lennie' Mills (Famke Janssen) diculik pada film kedua, maka pada film ketiga ini yang dijual adalah fitnah pembunuhan terhadap Lennie yang dituduhkan kepada Bryan.

Untuk sebuah film aksi di mana cerita sudah diketahui jalannya dari awal hingga akhir, apa yang bisa ditawarkan? Tentu saja aksinya. Maka patut disimak seperti apa aksi dalam Taken 3 kali ini. Pertama, tentu saja terlihat betapa lamban dan lelahnya seorang Liam Neeson ketika harus beraksi berlari, melompati pagar menerobos rumah, hingga kebut-kebutan di jalan raya, sampai akhirnya beradu pukul dan tembak-tembakan. Saat kita berharap sineas memiliki kecerdasan yang cukup untuk menutupi hal tersebut, justru sangat terlihat bagaimana adegan berkelahi yang menjadi ciri khas Neeson justru tidak terlihat. Adegan berlangsung lambat, patah-patah seperti menderita editan serius, hingga pengambilan gambar yang terlalu 'close up' yang membuat kita tidak bisa melihat siapa berbuat apa. Hal ini sangat terlihat saat Bryan menyerang sekelompok rusia pembunuh istrinya di liquor store, beberapa saat setelah ia berikut mobilnya ditabrak jatuh ke tebing.

Senada dengan perkelahiannya, film ini juga minim dengan aksi tembak tembakan dan ledakan yang juga sudah menjadi ciri khas. Bahkan saat adegan yang seolah menjadi puncak film ini, ketika Bryan menyerang markas Oleg Malankov (Sam Spruell), lagi lagi kamera close up mengganggu kenikmatan visual. Ada orang yang tampaknya tertembak, begitu kira kira. Semua juga berlangsung cepat dan tanpa kesan. bahkan ketika kematian diberikan pada Oleg, minim dramatisasi.

Adegan kebut kebutan satu satunya di jalan raya malah awalnya membingungkan. Apakah dia berada di dalam van hitam ataukah mobil polisi? Semua kejadian seperti terpotong potong, layar demi layar, cenderung melelahkan, bahkan.

Karena film ini tidak bercerita tentang penculikan, maka teknik mencari jejak yang biasa dilihat pada dua filmnya pun otomatis menghilang. Bisa jadi, demi menutupi kelelahannya, dihadirkan teman-teman Bryan Mills. Seolah ini adalah sebuah film tim layaknya The A Team. Sayangnya, kehadiran mereka pun tak cukup mengangkat beban film ini yang demikian berat kehilangan ruhnya.

Apakah kemudian film ini tidak menarik sama sekali? Tentu tidak. Agen Franck Dotzler (Forest Whitaker) hadir memberi kesegaran sebagai lawan yang imbang bagi Bryan. Kecerdasannya membuatnya selalu di jalan yang tepat untuk mengejar Bryan, hingga akhirnya hampir berhasil ketika di sekolah Kim. Bahkan, teka teki donut Bagel telah menjadi petunjuk bagi penonton juga, bahwa Bryan tidak bersalah atas kematian mantan istrinya.

Film ini juga sangat padat sehingga sangat sayang jika dilewatkan setiap adegannya. Wajar saja, dengan durasi 110 menit, perjalanan panjang Bryan hingga harus mengejar Stuart St John (Dougray Scott) sebagai aktor utama kematian mantan istrinya, membuat semua cerita dan teka teki harus hadir serapat mungkin.

Terlepas dari semua kekurangannya yang mengganggu dan merusak instalmen film ini, Taken 3 masih layak ditonton terutama bagi mereka yang merindukan aksi laga dari Opa Liam Neeson. Tentu dengan peringatan bahwa film ini tidak lebih baik dari dua film sebelumnya.