Thursday, October 13, 2016

Inferno : (Semoga) Bukan Neraka Bagi Franchise Film Langdon

Setelah Da Vinci Code dan Angel & Demon, film ketiga tentang Robert Langdon pun diangkat. Kali ini adalah Inferno, buku yang paling akhir diterjemahkan dan beredar di Indonesia. Bagaimana Ron Howard mengadaptasinya kali ini?

----

Seperti dikisahkan pada bukunya, Langdon terbangun di sebuah Rumah Sakit dalam kondisi terluka tanpa memiliki ingatan bagaimana ia bisa tiba di sana. Dan seketika ia harus berhadapan dengan polisi yang tiba tiba menembakinya. Dibantu sang dokter, Sienna Brooks, ia pun melarikan diri. Di tengah pelariannya, ia mendapati sebuah petunjuk, petunjuk Faraday, yang berisi sketsa lukisan Boticelli. Lukisan yang menggambarkan neraka versi penyair kenamaan Italia, Dante. Menyadari ada petunjuk di dalam lukisan itu, Langdon, bersama Brooks, berkelana ke penjuru Italia hingga tiba di Istanbul untuk mengupas misteri mengerikan : pemusnahan umat manusia.

----

Mengangkat kisah dari novel Dan Brown, dibutuhkan kejelian yang sangat karena cerita cerita yang disusun memuat deskripsi yang sangat detil. Sebuah keunggulan bagi setiap novel karyanya. Pada sisi lain, kisah yang harus diangkat harus menghadirkan konflik sedemikian rupa agar dapat memenuhi durasi yang tepat. Ron Howard, setelah menangani dua film sebelumnya, seolah belajar dari pengalaman. Alih alih terjebak dalam deskripsi, katakanlah seperti Da Vinci Code, ia langsung masuk dalam kisah pelarian sekaligus pemecahan misterinya. Langdon dan Brooks dikisahkan langsung menuju kastil untuk mencari topeng Dante, langsung ke bagian pertengahan buku, juga dengan 'pace' yang cukup tinggi. Menghadirkan ketegangan yang instens. Satu sisi yang sangat beresiko.

Seperti disinggung sebelumnya, film ketiga Langdon kali ini justru sangat minim informasi deskripsi detil. Padahal jika membaca novelnya, dengan ditemani mesin pencari pada laptop atau gadget, kita akan dapat semakin menikmati keindahan detil dari lukisan neraka Boticelli/Dante. Atau topeng Dante, atau keindahan museum, dan lain lain. Sayang, pada film ini semuanya sepintas lalu saja. Kemistri di antara Langdon dan Brooks pun tak terjalin. Sobrist, sebagai antagonis, juga seolah sempalan. Belum lagi WHO sebagai lembaga kesehatan yang membuat kita bertanya tanya, "Apa yang dilakukan organisasi ini? Mengejar ngejar orang dengan senjata api?"

----

Ide Sobrist, mengenai manusia sebagai wabah bagi kehidupan, sejatinya bukanlah sesuatu yang baru, setidaknya dalam film. Penambahan populasi yang berlipat lipat dalam kurun waktu singkat, menghabiskan tak hanya ruang untuk tinggal namun juga sumber daya untuk penghidupan. Hingga yang terjadi adalah pemusnahan kehidupan yang lain. Meski terdengar ekstrem, "Apakah kita harus menderita sekarang dengan jutaan kematian, atau kemusnahan manusia dalam 100 tahun?", jelas menjadi tanda tanya menarik, Apa yang akan dilakukan umat manusia andai mereka tahu akan punah? Apakah berdiam diri? Atau justru melipatgandakan usaha pelestarian diri?