Monday, October 20, 2014

The Maze Runner : A-maze-ing Young-Adult Movie, So Far

                                             Kembali, film bertema young-adult diangkat ke layar lebar dari sebuah novel yang boleh jadi -seperti biasa- tidak terlalu dikenal. Bisa jadi juga sudah tidak ada lagi ide segar dari para sineas Hollywood sehingga mereka berlomba menjadikan novel sebagai materi film. Atau, ini justru sebuah ujian kreatifitas?

Film ini bercerita tentang seorang remaja laki-laki bernama Thomas (Dylan O'Brien) yang terbangun tiba-tiba di antara sekumpulan remaja laki-laki lainnya di sebuah tempat yang asing yang disebut dengan The Glade. Tanpa memiliki ingatan apapun tentang dirinya, termasuk namanya sendiri hingga muncul dalam ingatan kemudian, Thomas berada dalam kebingungan dan ketakutan saat menyadari tempat itu terkurung tembok-tembok tinggi dan mereka yang ada di sana berjuang bertahan hidup dengan caranya sendiri. The Gladers ini dipimpin oleh Alby (Aml Ameen), disebut-sebut sebagai orang pertama yang dikirim ke tempat terpencil ini, membuat aturan agar komunitas ini tetap bersatu dan bertahan hidup sambil mencari cara untuk keluar menembus kuruang tembok-tembok ini.

Salah satu aturan yang mengikat The Gladers adalah larangan untuk masuk ke dalam celah dinding yang terbuka, yang hanya boleh dimasuki mereka yang tergabung dalam Runner. Tugas mereka khusus, masuk ke dalam labirin di balik dinding, mencatat semua jalan sambil terus mencoba mencari jalan keluar. Hal sulit dari labirin ini adalah, setiap malam susunannya selalu berubah, seperti hidup, dan membentuk susunan baru. Disebutkan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa bertahan satu malam di dalam labirin. Ini dikarenakan pintu gerbang labirin ini terbuka setiap pagi dan menutup menjelang matahari terbenam.

Suasana semakin tidak menentu ketika salah seorang Runner bernama Ben tiba-tiba dalam keadaan seperti kerasukan menyerang Thomas sambil bergumam bahwa ini semua salahnya. Kondisi ini adalah sesuatu yang lazim ketika seseorang disengat Griever, makhluk yang menguasai labirin dan senantiasa menjadi ancaman bagi setiap Runner ketika masuk ke dalam sana. Dengan kondisi yang semakin memburuk dan tidak mungkin terobati, Ben, sesuai tradisi, akhirnya dibuang ke dalam labirin. Merasa keadaan semakin tidak menentu, Alby ditemani Minho (Ki Hong Lee), ketua regu Runner, masuk ke dalam labirin hingga menjelang senja, ketika sebagian menganggap mereka sudah tidak mungkin pulang, mereka berdua kembali dalam keadaan Alby tengah sekarat tersengat. Tidak dapat berdiam diri menghadapi kemungkinan keduanya bermalam di dalam labirin, Thomas memaksa masuk ke dalam labirin tepat ketika akhirnya gerbang tertutup. Untuk pertama kalinya, ia harus menghadapi ancaman sebenarnya dari Labirin.

....
  
Di angkat dari novel berjudul sama karya James Dashner, tema yang diusung adalah keadaan ketika kondisi bumi telah mengalami kehancuran luar biasa (post-apocalyptic). Bermain di wilayah young-adult, berbeda dengan genre yang sama yang telah diangkat beberapa kali dalam film di mana jagoannya adalah perempuan dan sepertinya menyasar penonton perempuan dengan kisah kasih khas remaja, film ini justru menggambarkan keadaan yang jauh dari manis dan romantis. Suasana yang keras dan mencekam tergambarkan di hampir 1.5 jam durasi film ini. Tidak ada ruang untuk menampilkan kisah percintaan (dan itu bagus, mengingat hampir semua karakter dalam film ini adalah (remaja) laki-laki) dan menggantinya dengan gambaran betapa pentingnya aturan dan persatuan dalam sebuah komunitas, apalagi ketika berhadapan dengan situasi hidup-mati.

Menarik mencermati bagaimana karakter Gally (Will Poulter) saat mengambil alih kepemimpinan The Gladers ketika Alby tengah sekarat. Ia mencoba tetap bertahan dengan aturan yang mereka buat dan jaga selama tiga tahun demi keutuhan mereka. Kekeraskepalaannya menghukum Thomas dan lain-lain yang mencoba lari ke dalam Labirin, bahkan selepas rombongan Grieve menyerang desa mereka, menunjukkan bagaimana seseorang bisa begitu bertahan dengan ide, prinsip, dan aturan yang dibuat sendiri, justru ketika mereka berada di dalam kungkungan tembok tinggi, hingga merasa lebih baik dan nyaman berada di dalam sebuah penjara tersebut, alih-alih mencoba keluar dan meraih kebebasan mereka. Atau mati ketika mencobanya. Jika menggunakan istilah 'zona nyaman', bisa jadi ini gambarannya. Kita berada di zona nyaman yang awalnya mengurung kita, membatasi pikiran dan diri kita dengan tembok-pemikiran sehingga kita tidak bisa berkembang dan maju, stagnan di tempat. Lalu kita membuat alasan dan pembenaran mengapa kita tidak seharusnya mencoba keluar mencari jalan meninggalkan zona nyaman tersebut. Kita bisa jadi gagal dan terbuang, tapi kita juga telah membuka kesempatan untuk maju.

...

Perlu mencari beberapa referensi sebelum memastikan diri menyaksikan film ini, agar tidak terjebak dalam film-film bertema sejenis yang memang sedang tren. Dan ketika ceritanya memang tidak sama seperti yang lain, maka buat Anda yang ingin menyaksikan sebuah film remaja, tanpa laki-laki bertelanjang dada dan berotot kekar, ataupun cerita 'menye-menye' romantis yang memuakkan, ini adalah pilihan yang, sampai saat ini, tepat. Dan karena film ini diangkat dari sebuah novel yang bisa dibilang berseri, jangan kaget jika di akhir film akan ada kesan film ini harus ada sekuelnya. Yah, buat saya, memang harus.

No comments:

Post a Comment