Wednesday, December 10, 2014

Interstellar : Gravitasi Melampau Waktu?


"Ketika bumi sudah tidak bisa lagi menopang kehidupan manusia, apakah manusia akan punah?'
Film yang bercerita tentang akhir kehidupan manusia dan dunia sudah cukup banyak. Baik karena peristiwa alam maupun serangan alien. Dan manusia, seperti biasa, selalu beradaptasi dan berjuang menyelamatkan spesiesnya.

Dikisahkan, dalam waktu yang tidak terlalu jauh di masa depan, kehidupan manusia terancam. Kesulitan pangan dan kelaparan mengancam karena rusaknya perkebunan dan gagal panen. Pemerintah (AS) lebih fokus pada penyelamatan manusia daripada bidang lain, bahkan seorang pilot sekaligus insinyur seperti Cooper (Matthew McCounaghey) harus kembali jadi petani, mengurus ladangnya, sedikit dari yang tersisa, hanya tinggal tanaman jagung yang dapat hidup, bersama bapak mertua dan kedua anaknya, lelaki dan perempuan. Anak perempuannya, Murph (Mackenzie Foy/Jessica Chastain), merasa ada sosok hantu di kamarnya yang selalu menjatuhkan buku-buku dari lemari. Sesuatu yang bagi Cooper 'tidak ilmiah'. Hingga pada suatu badai pasir menerjang, Cooper mendapati jatuhnya pasir membentuk sebuah pola biner yang berisi koordinat lokasi. Ketika Ia beserta Murph ke sana, diketahui bahwa ternyata itu adalah lokasi NASA.

NASA mengembangkan Proyek Lazarus secara rahasia karena tidak ingin menimbulkan protes dari masyarakat, bahwa uang negara dihabiskan banyak untuk proyek luar angkasa sementara masih banyak orang kelaparan. Proyek ini telah mengirim 12 orang ke luar angkasa menembus wormhole/lubang cacing ke 12 sistem galaksi yang berbeda untuk mencari planet yang cocok untuk dihuni oleh manusia. Hanya ada tiga orang yang mengirimkan respon kembali ke bumi, yang harus ditindaklanjuti dengan mengirim tim untuk kemudia menjalankan Rencana A : Pemindahan manusia yang tersisa ke planet yang ada, dan Cooper dipilih untuk menjadi pilot pesawat ini bersama Dr. Amelia Brand (Anne Hathaway), Doyle (Wes Bentley), dan Romilly (David Gyasi).

***

Christopher Nolan kembali menghadirkan film sci-fi yang makin mempertaruhkan namanya sebagai sineas jempolan dengan mengangkat tema lama dengan kemasan baru ini. Manusia diambang kepunahan lalu ada sekelompok orang yang berjuang menyelamatkannya adalah tema yang sudah mengakar di film-film Hollywood. Yang menjadi perbincangan kemudian adalah bagaimana film ini secara spesifik mencoba berbicara tentang perjalanan melalui Lubang Cacing/Wormhole, menembus Lubang Hitam/Blackhole, dengan berbagai atribut teori Relativitas Einstein yang ada. Rumit? Seolah ingin mengiyakan, Nolan sampai harus menggunakan jasa seorang ilmuwan, Kip Thorne, sebagai konsultan khusus pada bagian ini. Jadi jika Anda tidak memahami apa yang dibicarakan para tokoh di film ini, terima kasih, Anda sama dengan saya.

Ketika saya hendak melihat film ini, tentu harapan bahwa ini adalah karya Nolan seharusnya tidaklah menjadi film yang biasa. Sayangnya, harapan itu seolah pupus bahkan saat film ini belum mencapai separuhnya. Tidak ada yang salah dalam film ini. Ceritanya jelas, sentuhan efek khususnya bagus, mengabaikan detil teknis ilmiah di dalamnya, film ini bagus. Tapi untuk sebuah film dari Nolan? Jalan cerita film ini cukup kuat, dengan sentuhan emosi dan konflik yang dibangun antara karakter Cooper dan Murph, konflik rasional-emosional yang membuat Cooper setengah hati menjalankan misi ini, hingga ketegangan yang timbul dari penjelajahan ke planet antah berantah.

Anggapan saya bahwa film ini adalah action sci-fi seolah runtuh justru karena drama yang terbangun di dalamnya. Bagaimana Cooper, yang berjuang demi menyelamatkan keluarganya dan banyak keluarga lainnya di bumi, harus dihadapkan pada kenyataan bahwa, karena relativitas waktu, mereka harus berjuang untuk manusia yang mungkin masih hidup dalam hitungan puluhan tahun ke depan, dalam hitungan waktu bumi. Bagaimana tidak, saat hendak mendarat ke planet pertama saja, satu jam di sana sama dengan tujuh jam di bumi. Penonton pun dibuat hanyut kesedihan Cooper yang telah melewatkan 23 tahun kehidupan anak anaknya di bumi. Dilema juga dihadapi Cooper ketika harus memilih untuk segera kembali ke bumi dengan resiko seluruh manusia (tentu termasuk keluarganya) telah mati bahkan punah, atau melanjutkan misi dengan Rencana B : Membangun koloni manusia baru dengan bibit DNA yang mereka bawa dari bumi.

***

"KIta berani berkorban untuk diri kita dan keluarga kita. Orang-orang yang dekat dan kita kenal. Tapi apakah kita, manusia, mau berkorban untuk mereka yang ada di masa mendatang? Orang-orang yang kita tidak pernah tau?", lebih kurang begitu Doyle membangun kesadaran Cooper. Bahwa empati tidak bisa melampaui waktu. Apakah yang kita lakukan saat ini, dalam hidup kita, hanya untuk diri sendiri dan keluarga kita, atau untuk umat manusia ratusan bahkan ribuan tahun mendatang, waktu di mana kita bisa jadi tidak diingat pernah berkorban untuk mereka?

'Manusia selalu diajarkan untuk meninggalkan bumi, bukan menyelamatkannya'. Saat bumi sudah mencapai batas menopan tidak hanya kehidupan tapi juga keserakahan manusia, akankah bumi mati? Lalu saat itu tiba, apakah kita, manusia, juga akan ikut mati? Disebutkan, manusia akan selalu beradaptasi mengatasi masalahnya. Ketika ancaman kerusakan yang berakibat kepunahan itu benar akan tiba, apa yang bisa dilakukan manusia?

Nolan, sepertinya lebih hendak memberikan sebuah nilai alih-alih hiburan efek khusus yang memanjakan atau ketegangan yang demikian intens. Ketika harapan film ini akan seru, saya pribadi menganggap kenyataannya sungguh mengecewakan. Tapi mendapati hal lain daripada sekedar perjalanan luar angkasa, itu nilai tambah tersendiri. Terlepas dari beberapa kejanggalan secara ilmiah atas penggambaran luar angkasa seperti wormhole-blackhole dan kejadian di sekitarnya, film ini setidaknya mendasari pada satu keilmuan yang tidak sembarangan. Walau anda tidak mungkin seketika menjadi ahli fisika atau astronomi hanya dengan menonton film berdurasi 2.5 jam ini.

No comments:

Post a Comment