Tuesday, May 3, 2016

Mr. Holmes (2015) : Kegetiran Masa Tua Sang Detektif

Ketika Mr. Holmes diperkenalkan ke publik sebagai sebuah tayangan sinema. Saya merasa sangat antusias. Penasaran lebih tepatnya. Saya mengenal dua Sherlock Holmes. Satu, yang cerdas, narsis, jagoan dan heroik dalam diri peran Robert Downey Jr. Dua, sosok introvert jenius dalam diri peran Benedict Cumberbatch. Kali ini, Ian McKellen muncul sebagai sosok ketiga. Terlalu tua? Justru di situ letak daya tariknya.

McKellen berperan sebagai Holmes yang sudah tua dan pensiun, menikmati kesendirian hidupnya di desa bersama lebah peliharaannya, ditemani pembantu dan seorang anaknya laki laki. Mungkin, ia mencari kedamaian dalam masa pengasingannya yang uzur. Namun, kisah membawanya dalam misteri kasus yang belum juga terpecahkan olehnya. Satu kasus terakhir yang ia bawa ke rumah terpencilnya tersebut.

Memerankan orang tua seharusnya bukan hal sulit buat orang seusia McKellen, tentu saja. Tapi di sini jelas terlihat ada dua Holmes yang berbeda yang digambarkan. Holmes yang detektif, dan Holmes seorang tua pikun. Keduanya diperankan dengan apik dan sangat berbeda oleh McKellen. Kejeniusan dan kharisma seorang Holmes saat masih menjadi detektif terpancar jelas. Seolah memang gambaran Holmes nya Cumberbatch di usia tua. Sementara sosok rapuh dan menyedihkan juga membuat saya bertanya-tanya, ïnikah Holmes?".

Saya memprediksi film ini akan berjalan lambar. Ya, memang begitulah adanya. Namun tak berarti menjemukan. Kisahnya tak melulu soal drama seperti yang dicetuskan dalam sinopsisnya. Justru dengan mencampurkan drama masa kini dengan flash back pada kasus terakhirnya di masa lalu, membuat 'pace'film ini terjaga dengan baik. Seolah tak ada jeda untuk rehat. Layaknya kasusnya sendiri, setiap dialog adalah detil yang begitu berharga. Pemecahan kasus bukanlah tujuan utama menikmati film ini, meski dengan pemecahan kasus itu film ini berjalan dalam alurnya.

Sulit membayangkan seorang Sherlock Holmes di akhir hayatnya harus menyendiri, ditinggal (mati) Dr. Watson, sahabat terbaiknya. Dan yang lebih buruk lagi : Kepikunan. Ya, Holmes di sini dipaksa berjuang melawan kepikunan, sesuatu yang tentunya mengerikan untuk seseorang yang punya daya ingat luar biasa seperti dirinya. Dan, di sinilah rasa penasaran saya menemui pelepasnya. Kerapuhan dan kegetiran hidupnya. Menjalani hidup yang tak mungkin rasanya ia bayangkan akan dilalui. Kesendirian, yang dulu ia anggap biasa dan menyenangkan, malah membayanginya dalam kematian. Lagi lagi, McKellen menunjukkan kelasnya. Saya berkali kali harus meyakinkan diri bahwa ini Holmes, Sherlock Holmes!

Sahabat, orang yang paling mengerti diri kita, pada akhirnya tak selalu berarti orang yang selalu berjuang bersama beriringan dalam waktu lama. Sang pembantu dan anaknya, Roger, justru menunjukkan persahabatan dan kekeluargaan meski mereka memang sulit memahami keganjilan seorang Holmes. Seseorang yang besar dalam imaji fiktif yang dibuat Watson, yang dalam pensiunnya justru coba diruntuhkan sendiri oleh diri pemiliknya.

Meski film ini adalah drama, yang tak ada adu penyelesaian kasus dengan cerdas atau pun aksi laga menakjubkan, namun sentuhannya justru mengena. Layak dinikmati, meski Anda bukan penggemar Sherlock Holmes sekalipun.

No comments:

Post a Comment