Tuesday, December 15, 2015

Victor Frankenstein : Melihat Monster Dalam Sisi Manusia



“It’s alive! It’s alive!”
Sepenggal kalimat ikonik dari kisah legendaris tentang monster buatan yang  menyedihkan bernama Frankenstein. Setelah beberapa kali difilmkan dan menjadi ‘cameo’ di beberapa film, kali ini tokoh Frankenstein muncul kembali dalam film dengan pendekatan yang berbeda.

Dikisahkan, seorang ilmuwan eksenstrik bernama Victor Frankenstein (James McAvoy) sedang berburu potongan-potongan tubuh hewan untuk dijadikan bahan eksperimennya. Perburuannya tersebut membawanya ke sebuah kelompok sirkus, di mana terdapat seorang ‘joker’ bungkuk, yang ternyata amat terobsesi dengan ilmu anatomi tubuh manusia. Dengan segara Victor menyadari bakat anak muda tersebut untuk kemudian membebaskannya dan membawanya ke kehidupannya. Victor pun memberinya nama : Igor Straussman.

Dengan bakat dan kecerdasannya, Igor (Daniel Radcliffe)mampu menjadi asisten yang luar biasa buat Victor. Mereka berhasil menghidupkan kembali simpanse Victor yang telah mati. Namun terjadi kecelakaan ketika mereka coba mempresentasikan eksperimen mereka di hadapan Royal Medicine. Simpanse tersebut tidak hanya hidup, tetapi justru malah mengamuk dan membuat kerusakan. Maka dengan terpaksa mereka membunuhnya. Sebuah tragedy, namun juga menjadi sebuah kesempatan. Keluarga Finnegan tertarik dengan ekseperimen tersebut dan bersedia mensponsori untuk misi yang lebih jauh. Membuat manusia hidup dan beradab.

***

Film ini mengambil sudut pandang penceritaan dari Igor Straussman, sang asisten, sekaligus menjadi sahabat bagi Victor Frankenstein. Seperti disebutkan pada awal film, seolah ada sebuah pertanyaan, apakah Victor membuat sebuah monster? Ataukah ia sendiri yang menjadi seorang monster?

Daniel Radcliff dengan apik memerankan sosok bungkuk yang bertransformasi menjadi seorang asisten yang cerdas, kritis, namun tetap setia. Bisa dibilang, dari penampilannya di beberapa film, ia sukses menghilangkan imej seorang Harry Potter yang telah melekat pada dirinya. James McAvoy juga berhasil menggambarkan sosok seorang ilmuwan gila. Seorang yang jenius sekaligus tenggelam dalam obsesinya akan kehidupan dan kematian sekaligus. Apatismenya akan kehadiran tuhan dan agama sebagai akibat tragedy hidupnya di masa lalu, baik diterjemahkan dalam laku gerak dan kata-katanya. Menggambarkan seorang yang ambisius pada satu hal, namun penuh keputusasaan pada hal lain.

Menghadirkan sosok Inspektur Turpin (Andrew Scott), seorang polisi yang juga penuh obsesi dengan menyelidiki eksperimen yang dilakukan oleh mereka berdua. Tak hanya hadir sebagai alat hukum, Turpin pun menjadi ‘polisi’ moral dan agama, yang mempertanyakan kelayakan eksperimen Victor melawan kekudusan penciptaan Tuhan.

Adegan yang melegenda dari kisah Frankenstein apalagi jika bukan saat sang manusia buatan dihidupkan dengan sambaran petir. Sebuah penggambaran monumental, hingga keluarlah seruan dari Victor yang terkenal itu. Seruan yang, sayangnya, tidak kita ditemui pada film Frankenstein versi ini. Apakah ini sebuah nilai minus? Tentu saja! Alih-alih member perspektif baru dalam sebuah kisah lawas, film ini seolah menjadi cerita sendiri yang meniru-niru plot Frankenstein.

Pada akhirnya, sosok manusia berwujud sempurna berhasil dibuat oleh Victor. Sosok yang diharapkan menjadi sebuah warisan akan namanya tercatat pada lembaran sejarah. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Lorelei, menghidupkan seseorang yang sudah mati dan menciptakan kehidupan dari sesuatu yang awalnya tidak ada, adalah dua hal yang berbeda. Victor harus menghadapi kenyataan, bahwa kehidupan yang telah diciptakannya, tak lantas benar-benar ‘hidup’. Tak lebih dari tulang dan daging yang berjalan. Sebuah mayat hidup dengan kekosongan jiwa. Hingga Victor mengerti, satu-satunya ciptaannya yang sempurna adalah Igor Straussman, sang asisten.

No comments:

Post a Comment