Tuesday, December 15, 2015

Hunger Games : Mockingjay Part II



Babak terakhir dari perjuangan para pemberontak melawan tirani Presiden Snow. Katniss Everdeen, Sang Mockingjay, harus memenuhi takdirnya sebagai penentu akhir peperangan antara Capitol dan para pejuang Distrik.

Pada bagian pertama ‘Mockingjay’, para pejuang berhasil membebaskan para tawanan, terutama Peeta yang telah dimanipulasi otaknya oleh tim dokter Capitol. Ini membuat Peeta tidak dapat membedakan kenyataan dan ilusi, sebagaimana ia telah diberi ingatan palsu bahwa Katniss adalah penyebab semua kekacauan dan pertumpahan darah yang terjadi. Antara kecewa dan putus asa, Katniss bertekad untuk langsung menuju Istana Capitol dan membunuh Snow dengan tangannya sendiri. Menyusup ke dalam skuadron tempur di baris depan, ia harus menyadari bahwa Presiden Coin dan Plutarch masih mencoba untuk memanfaatkan dirinya sebagai senjata propaganda. 

***

Film ini adalah bagian kedua dari Hunger Games : Mockingjay. Seolah semakin mempertegas tren Hollywood akan sebuah saga film, di mana satu judul buku bisa menjadi dua film (bahkan tiga untuk film tertentu). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan, film ini masih dengan tone yang sama, dengan pola penyampaian cerita yang juga sama.  Beban Jennifer Lawrence semakin berat karena ia memegang nyawa film ini sebagai seorang Mockingjay, yang tidak hanya dituntut harus pandai dalam bertarung, tetapi juga dalam berorasi.

Berbeda dari sebelumnya, Mockingjay II dihiasi aksi yang cukup menegangkan. Tiap pemain semakin teruji kemampuannya dalam adegan peperangan. Pertarungan dengan para mutan memang mengingatkan akan film-film bertema zombie atau semacam itu. Namun dengan kealpaan hal ini pada film sebelumnya, justru menjadi penguat bahwa film ini bergenre aksi. Cerita yang sejak semula mengusung tema propaganda semakin kental di sini. Memang jika ditelisik, film ini sangat bergantung pada penceritaan yang harus kuat, selain ditopang oleh karakter dari masing-masing tokoh itu sendiri. Sebagai sebuah film bergenre young-adult, film ini justru sarat muatan politik dan  moral.

Sama seperti film sebelumnya, Mockingjay II seolah enggan mengakrabkan diri dengan peperangan. Hal ini ditunjukkan dengan penceritaan yang menjauh dari pusat peperangan dan justru focus pada obrolan para karakter itu sendiri. Sebagaimana yang ditampilkan dalam Mockingjay I ketika Distrik 13 diserbu pesawat Capitol namun tidak diperlihatkan, malah yang dipertontonkan adalah suasana penduduk dan pejuang di bunker yang sayangnya justru jauh dari suasana mencekam. Kali ini, mula peperangan dengan menjatuhkan bom untuk meruntuhkan gunung dan serangan awal ke Capitol juga dialihkan, lagi-lagi dengan percakapan soal moralitas dan strategi peperangan. Sebuah film aksi perang yang malu-malu?

Jennifer Lawrence sebagai Katniss masih belum bisa mengeluarkan aura seorang ‘Mockingjay’, orang yang bisa member pengaruh luas. Bahkan rasa merinding akibat pesona masih kalah jauh dibandingkan film pertamanya sendiri.  Jalan cerita yang bisa ditebak meski tanpa membaca novelnya, malah diperparah dengan ending yang memanjang dengan beberapa kali jeda tanpa keterkaitan. Bisa jadi beberapa kali penonton tertipu, mengira film telah usai, berdiri, untuk kemudian duduk lagi menonton adegan yang sebenarnya tak harus mereka tonton. Tidak berarti kemudian film ini tidak layak tonton, terutama bagi Anda penggemar film dengan tema politik dan propaganda.

***

Dengan kemasan cerita remaja yang dipenuhi kisah roman dan aksi peperangan, film ini justru memberi pesan kuat soal media framing dan propaganda. Seperti yang digambarkan, Katniss adalah tokoh propaganda pembakar semangat pemberontak sekaligus menjadi simbol perlawanan bagi Capitol. Baik Snow maupun Coin memberi sudut pandangnya sendiri dalam setiap peristiwa dan hasil pertempuran. Ketika Katniss tertembak, pihak Capitol dengan segera menayangkannya sebagai bagian propaganda bahwa Sang Mockingjay akhirnya dapat dijatuhkan dan menyemangati prajurit dan penduduk Capitol. Sebaliknya, bagi Coin, Katniss ditampilkan sebagai martir yang semakin memicu semangat para prajurit pemberontak dan memberi harapan. Bahkan ketika pada akhirnya istana Snow yang penuh anak-anak dijatuhkan bom dan memberikan kemenangan pada pihak pemberontak, penuh manipulasi dan tipu daya di sana, hingga Katniss menyadari, masa depan mereka di bawah kepemimpinan Coin yang masih prematur, ternyata tidak berbeda kondisinya ketika Snow masih berkuasa.  

No comments:

Post a Comment