Tuesday, January 20, 2015

Blackhat : Meretas Dunia Global dari Jakarta?

Siapa yang merindukan film aksi menawan nan cerdas seperti Collateral? Atau remake serial klasik Miami Vice? Michael Mann layaknya seorang yang tau bagaimana menyajikan sebuah film aksi alternatif, tidak membosankan, bahkan memberi suasana berbeda.

Blackhat berkisah tentang peretasan yang mengakibatkan terjadi kerusakan pada mesin pembangkit di Cina (ya, Cina, bukan Tiongkok), menyebabkan pembangkit tersebut meledak, meleleh, dan menimbulkan korban. Kapten Chen Da Wai (Wong Leehom) yang menjadi penanggung jawab kasus ini meminta pada atasannya agar dapat bekerja sama dengan FBI, karena Amerika Serikat ternyata mengalami serangan yang sama. Hanya saja, AS lebih baik dalam bertahan sehingga tidak terjadi kekacauan. Di saat melihat kode yang dibuat peretas, Chen menyadari satu hal, kode tersebut dibuat oleh ia dan kolega kampusnya semasa di MIT dulu, Nicholas Hathaway (Chris Hemsworth). Masalahnya, Nick sedang ditahan di penjara karena kejahatan transaksi elektronik yang dilakukannya. Maka, Chen secara khusus meminta Nick dibebaskan dan masuk dalam tim mengejar 'Blackhat'.

Plot yang disajikan pada film ini sebenarnya sederhana. Tidak ada yang baru juga. Tema peretasan dan kecanggihan teknologi daring sudah beberapa kali ditampilkan Hollywood, mulai dari Enemy Of The State hingga Eagle Eye. Boleh jadi yang menarik perhatian, bagaimana Mann menggiring film ini menjadi layak tonton.

Sayangnya, untuk durasi 130 menit, film ini terlalu lama. Lama, karena banyaknya adegan yang tidak perlu dan tak seharusnya berpanjang-panjang. Pembukaan film yang menampilkan arus data mulai dari kabel, motherboard, hingga bagian mikroskopik dari chip memang menarik, jika saja tidak menghabiskan hampir 10 menit hanya untuk itu saja. Lagipula, film-film tentang peretas di masa lalu sudah pernah melakukannya. Atau, adegan helikopter penyerbuan Chen dan tim menuju kediaman Elias Kassar, terlalu lama durasinya. Sementara, begitu banyak cerita yang justru melompat-lompat, seolah tidak runut.

Keseruan Chen dan Nick dalam mengejar 'blackhat' diperparah dengan solusi yang muncul begitu saja di depan mata. Seberapa hebatnya seorang Nick? Jika melihat dari film ini, rasanya ada begitu banyak peretas yang bisa melakukan apa yang ia lakukan. Bahkan usahanya menembus keamanan NSA untuk mengambil program Black Widow pun terasa kacangan. Lagi-lagi, semua solusi, termasuk arus uang bank yang berputar keliling dunia bisa dengan gampangnya dipindahkan ke satu rekeningnya.

Hal menarik dari Mann adalah olah visualnya dengan shaky cam, biasanya menggunakan camera digital yang menampilkan gambar video yang seolah tidak diolah khusus untuk tayangan sebuah film besar, lebih seperti kameramen amatir. Parahnya, ini terjadi di adegan tembak-tembakan yang paling banyak dan lama, di dermaga. Hampir tidak bisa dibedakan dengan tampilan visual sinetron Indonesia. Serial keluaran barat bahkan jauh lebih baik terasa. Sementara kamera gerak sangat apik ditampilkan di Collateral, di sini, malah mengganggu kenikmatan.

Jika ada yang menghibur dari film ini, tentunya ketika Jakarta tidak hanya disebut, tetapi menjadi bagian penting, karena puncak film ini justru terjadi di depan patung selamat datang. Walaupun, penggambaran Jakarta lagi lagi terlihat kotor dan kumuh, jauh dari tampilan yang layak untuk mempromosikan diri, itu pun jika pihak Indonesia dilibatkan dalam ajang promosi kota. Sepertinya tidak. Parade tari bali di Papua Square di Jakarta? Sebelumnya, memangnya Papua Square betul ada? Lagipula, ada bule main pukul masa' sekian ratus orang tidak marah dan membalas? Malah cuek saja? Belum lagi kemudian jadi korban tembak-tembakan di tengah lapangan?

Pada akhirnya, satu pesan dari film ini adalah, jika Anda tertembak, obati saja dengan Betadin!

No comments:

Post a Comment