Sepenggal kalimat ikonik dari
kisah legendaris tentang monster buatan yang
menyedihkan bernama Frankenstein. Setelah beberapa kali difilmkan dan
menjadi ‘cameo’ di beberapa film, kali ini tokoh Frankenstein muncul kembali
dalam film dengan pendekatan yang berbeda.
Dikisahkan, seorang ilmuwan
eksenstrik bernama Victor Frankenstein (James
McAvoy) sedang berburu potongan-potongan tubuh hewan untuk dijadikan bahan
eksperimennya. Perburuannya tersebut membawanya ke sebuah kelompok sirkus, di
mana terdapat seorang ‘joker’ bungkuk, yang ternyata amat terobsesi dengan ilmu
anatomi tubuh manusia. Dengan segara Victor menyadari bakat anak muda tersebut
untuk kemudian membebaskannya dan membawanya ke kehidupannya. Victor pun
memberinya nama : Igor Straussman.
Dengan bakat dan kecerdasannya,
Igor (Daniel Radcliffe)mampu menjadi
asisten yang luar biasa buat Victor. Mereka berhasil menghidupkan kembali
simpanse Victor yang telah mati. Namun terjadi kecelakaan ketika mereka coba
mempresentasikan eksperimen mereka di hadapan Royal Medicine. Simpanse tersebut
tidak hanya hidup, tetapi justru malah mengamuk dan membuat kerusakan. Maka
dengan terpaksa mereka membunuhnya. Sebuah tragedy, namun juga menjadi sebuah
kesempatan. Keluarga Finnegan tertarik dengan ekseperimen tersebut dan bersedia
mensponsori untuk misi yang lebih jauh. Membuat manusia hidup dan beradab.
***
Film ini mengambil sudut pandang
penceritaan dari Igor Straussman, sang asisten, sekaligus menjadi sahabat bagi
Victor Frankenstein. Seperti disebutkan pada awal film, seolah ada sebuah
pertanyaan, apakah Victor membuat sebuah monster? Ataukah ia sendiri yang
menjadi seorang monster?
Daniel Radcliff dengan apik
memerankan sosok bungkuk yang bertransformasi menjadi seorang asisten yang cerdas,
kritis, namun tetap setia. Bisa dibilang, dari penampilannya di beberapa film,
ia sukses menghilangkan imej seorang Harry Potter yang telah melekat pada
dirinya. James McAvoy juga berhasil menggambarkan sosok seorang ilmuwan gila.
Seorang yang jenius sekaligus tenggelam dalam obsesinya akan kehidupan dan
kematian sekaligus. Apatismenya akan kehadiran tuhan dan agama sebagai akibat
tragedy hidupnya di masa lalu, baik diterjemahkan dalam laku gerak dan
kata-katanya. Menggambarkan seorang yang ambisius pada satu hal, namun penuh
keputusasaan pada hal lain.
Menghadirkan sosok Inspektur
Turpin (Andrew Scott), seorang polisi
yang juga penuh obsesi dengan menyelidiki eksperimen yang dilakukan oleh mereka
berdua. Tak hanya hadir sebagai alat hukum, Turpin pun menjadi ‘polisi’ moral
dan agama, yang mempertanyakan kelayakan eksperimen Victor melawan kekudusan
penciptaan Tuhan.
Adegan yang melegenda dari kisah
Frankenstein apalagi jika bukan saat sang manusia buatan dihidupkan dengan
sambaran petir. Sebuah penggambaran monumental, hingga keluarlah seruan dari
Victor yang terkenal itu. Seruan yang, sayangnya, tidak kita ditemui pada film
Frankenstein versi ini. Apakah ini sebuah nilai minus? Tentu saja! Alih-alih
member perspektif baru dalam sebuah kisah lawas, film ini seolah menjadi cerita
sendiri yang meniru-niru plot Frankenstein.
Pada akhirnya, sosok manusia
berwujud sempurna berhasil dibuat oleh Victor. Sosok yang diharapkan menjadi
sebuah warisan akan namanya tercatat pada lembaran sejarah. Namun, seperti yang
diungkapkan oleh Lorelei, menghidupkan seseorang yang sudah mati dan
menciptakan kehidupan dari sesuatu yang awalnya tidak ada, adalah dua hal yang
berbeda. Victor harus menghadapi kenyataan, bahwa kehidupan yang telah
diciptakannya, tak lantas benar-benar ‘hidup’. Tak lebih dari tulang dan daging
yang berjalan. Sebuah mayat hidup dengan kekosongan jiwa. Hingga Victor
mengerti, satu-satunya ciptaannya yang sempurna adalah Igor Straussman, sang
asisten.
No comments:
Post a Comment