Selepas para 'jagoan' film-film Hongkong seperti Jet Li dan Jacky Chan mundur, tinggallah Donnie Yen yang masih konsisten di jalur film laga kungfu, baik berlatar klasik maupun kontemporer. Ia juga terhitung sangat produktif dalam bermain (dan membuat) film. Ip Man adalah salah satu mahakaryanya.
Ip Man 3 bercerita tentang Ip Man, beserta istri dan anaknya, hidup di masa damai selepas perang dunia. Menjadi guru kungfu terbaik di antara perguruan lainnya, ia masih menjadi teladan bagi kawan sekaligus ancaman bagi lawan. Setidaknya mereka yang ingin menjadi yang terbaik di dunia kungfu. Dalam hal ini, adalah Cheung Tin Chi, salah seorang jago yang mengklaim jurusnya sebagai aliran Wing Chun asli, mencoba membuktikan bahwa ia lebih baik dari Ip Man. Meski berprofesi sebagai penarik becak, cita-citanya mendirikan perguruan Wing Chun tak pernah pudar meski harus menambah pundi uang melalui pertarungan berbayar.
Sementara, Hongkong yang semakin maju mengundang banyak pihak untuk mengadu untung di dalamnya, tak terkecuali pihak asing. Sebuah korporasi properti yang dipimpin Frankie (Mike Tyson) berusaha menggusur sekolah dasar tempat di mana anak Ip Man dan juga Cheung Tin Chi bersekolah sebagai satu-satunya bangunan yang tersisa di wilayah itu yang belum dikuasainya. Menugaskan jagoan lokal bernama Sang, mereka mulai mengganggu masyarakat sekitar bahkan dengan kekerasan menyegel dan membakar sekolah tersebut. Merasa bahwa pihak kepolisian tak dapat berbuat banyak, bahkan mungkin terlibat praktik korupsi di sana, Ip Man turun tangan menyelesaikan persoalan ini.
***
Ip Man dan Wing Chun sudah semakin populer akhir-akhir ini. Ditandai dengan banyak dan menonjolnya atribut peguruan ini. Bahkan ketika saya hendak menonton saja, ada satu orang yang memborong 17 tiket! Semua untuk ia dan rekan rekan seperguruannya. Maka, kehadiran seri ketiga Ip Man ini seolah menegaskan kehadiran aliran bela diri ini di negeri ini.
Sebagai sebuah film dan karakter, tak perlu dijelaskan bagaimana khasnya sosok seorang Ip Man. Masih sebagai orang yang rendah hati dan mudah menolong orang lain, namun di saat bersamaan kikuk bahkan seolah takut dengan istrinya. Begitu cinta dengan dunia kungfu, namun seolah abai dan menomorduakan keluarganya. Semakin tegas karakter ini muncul, bahkan ketika sang istri sakit karena menderita kanker pun, ia tak segera menyadarinya.
Satu hal yang boleh jadi menyedot perhatian calon penonton adalah kehadiran Mike Tyson, mantan juara tinju dunia berjuluk 'Leher Beton', yang benar benar beradu akting dan tinju, tidak hanya sekedar selepas lewat sebagai cameo. Dan bisa jadi pertarungan antara Donnie Yen dan Mike Tyson adalah bagian yang paling ditunggu-tunggu sepanjang film. Hasilnya? Relatif. Buat memuaskan pertemuan mereka, jelas apa yang ditampilkan bukanlah basa basi. Durasi hampir 10 menit beradu pukul jelas memanjakan penonton. Namun soal hasil? Mungkin pembuat film ini merasa sungkan sehingga harus memutuskan tidak ada pemenang di antara keduanya.
Kecepatan. Satu hal tersebut adalah ikon dari karakter sekaligus film Ip Man. Sedari film pertama, kita sebagai penonton disuguhi kecepatan pukulan berantai seorang Ip Man. Dan kecepatan juga yang menjadi sejatanya untuk menjadi jago silat terbaik. Sebagai sebuah film, alur dan rentetan pertarungan juga diatur dengan pas kecepatannya, sehingga terlihat seru dan padat. Sesuatu yang sayangnya hilang di film ketiga ini. Ada dua adegan pertarungan massal, ketika sekolah hendak dibakar malam hari dan ketika Ip Man hendak menyelamatkan anaknya di galangan kapal, di mana terlihat jelas adegan demi adegan seolah terpatah dan tidak bersambung, sementara setiap scene pertarungan Ip Man penuh jeda dan lamban. Ada rasa lelah dan kesal melihat betapa berharap kapan kecepatan seorang Ip Man muncul.
Kesia-siaan berikutnya adalah kehadiran Sarut Khanwilai, sejatinya seorang double Tony Jaa, yang seolah pengganggu enteng saja buat Ip Man. Padahal pertarungan antara Wing Chun dan Muay Thai juga sesuatu yang menarik untuk ditonton. Bahkan pertarungan terakhir antar dua jagoan Wing Chun pun tak semegah seharusnya. Meski jurus pamungkas "Pukulan Satu Inchi" ditampilkan di sini. Sayang sekali.
Sebagai sebuah film, konsistensi Donnie Yen untuk menghadirkan Ip Man dan Wing Chun patut diacungi jempol. Bisa dibilang saat ini ia telah menjadi ikon bintang laga Mandarin. Namun sebagai sebuah serial, Ip Man 3 jelas jauh di bawah dua film sebelumnya.
Thursday, December 31, 2015
Tuesday, December 15, 2015
In The Heart of the Sea : Menemukan Nurani di Kerasnya Laut
Mengisahkan latar belakang penulisan Moby Dick, sebuah novel karya Herman Melville, yang bercerita tentang sekelompok pelaut yang berjuang bertahan hidup melawan paus sperma berukuran raksasa.
Film ini menceritakan Owen Chase (Chris Hemsworth), seorang pemburu paus yang meniti karir menjadi seorang kapten kapal sendiri, namun harus menghadapi kenyataan bahwa dalam industri perminyakan paus ini, terdapat pemodal yang lebih berkuasa, sehingga ia harus menerima hanya menjadi seorang Kelasi Satu bagi kapten pemula, George Pollard, seorang anak pengusaha sekaligus penerus dinasti Pollard yang telah bertahun-tahun bermain di industri ini. Bersama Essex, mereka ditarget 2.000 tong minyak paus yang harus mereka kejar melintasi samudra. Intrik dan konflik muncul seiring dengan perjalanan berbulan-bulan di laut hingga mereka mendapati kisah, terdapat surga bagi pemburu paus di suatu tempat yang dianggap tidak pernah ada paus. Karena ambisi dan keserakahan, mereka pun nekat meluncur ke sana. Dibekali keyakinan kuat, mereka akhirnya mendapatkan apa yang mereka inginkan, bahkan lebih. Seekor paus ukuran raksasa melindungi para paus yang mereka buru. Membawa mereka ke dalam petualangan yang lebih gelap dan dalam di tengah heningnya samudera.
---
Film ini, melalui poster dan trailernya, menggambarkan kengerian sekelompok pelaut menghadapi seekor paus yang sangat besar. Dalam ceritanya sendiri, film ini lebih mengetengahkan karakter para kru Essex, mulai dari Pollard sang kapten, Chase yang berpengalaman namun belum diberi jabatan, dan para kru lainnya, termasuk Tom Nickerson muda, yang menjadi narasumber bagi Malville sebagai bahan garapan untuk novelnya. Ini adalah cerita di mana minyak masih ditambang dari paus, bukan dari perut bumi, sehingga pemburu paus memiliki kasta tersendiri di mata masyarakat, dan orang-orang kaya adalah mereka yang terjun di bisnis ini sejak lama.
Dengan dukungan teknologi terkini, visualisasi lautan luas penuh ombak dan badai menjadi apik terlihat. Paus-paus yang berenang menyemburkan air juga memikat kemeriahan awal dan pertengahan film. Belum lagi tata suara yang mendukung. Terkadang ramai, terkadang senyap. Bahkan kemunculan sang paus raksasa hampir menyerupai film horor yang menghantui penonton, yang sayangnya tidak intens ditonjolkan. Sekali lagi seolah menegaskan bahwa film ini bukaan tentang manusia melawan paus.
Kegetiran dan keputusasaan saat mereka terombang-ambing berbulan-bulan di lautan juga memberikan ketegangan tersendiri. Atau bagaimana mereka harus mengundi siapa yang harus mati agar yang lain dapat bertahan hidup. Tentu dengan batasan-batasan sehingga film ini tidak mendapat cap vulgar karena mempertontonkan darah dan kekejaman.
Boleh jadi, Chase terlalu agung untuk mati, sehingga ketika seorang Nickerson harus menjadi pengantar cerita, pun, ternyata bukan ia yang satu-satunya selamat dari peristiwa tersebut. Sehingga cerita pada bagian akhir tidak saja turun namun terjun drastis. Wajar saja jika anda sebagai penonton pada akhirnya merasa tidak puas, bahkan ada kesan dipaksakan.
---
Keberanian adalah menuju ke tempat yang tidak ada seorang pun berani melangkah ke sana. Seperti halnya Essex yang berani masuk ke lautan luas yang tak seorang pun meyakini tak ada paus, Nickerson seumur hidupnya mencoba mengubur tragedi tersebut bahkan dari istrinya sendiri, hingga ia berani mengungkapkannya pada Melville. Maka, keberanian seperti apakah yang sudah kita buktikan pada diri sendiri?
Film ini menceritakan Owen Chase (Chris Hemsworth), seorang pemburu paus yang meniti karir menjadi seorang kapten kapal sendiri, namun harus menghadapi kenyataan bahwa dalam industri perminyakan paus ini, terdapat pemodal yang lebih berkuasa, sehingga ia harus menerima hanya menjadi seorang Kelasi Satu bagi kapten pemula, George Pollard, seorang anak pengusaha sekaligus penerus dinasti Pollard yang telah bertahun-tahun bermain di industri ini. Bersama Essex, mereka ditarget 2.000 tong minyak paus yang harus mereka kejar melintasi samudra. Intrik dan konflik muncul seiring dengan perjalanan berbulan-bulan di laut hingga mereka mendapati kisah, terdapat surga bagi pemburu paus di suatu tempat yang dianggap tidak pernah ada paus. Karena ambisi dan keserakahan, mereka pun nekat meluncur ke sana. Dibekali keyakinan kuat, mereka akhirnya mendapatkan apa yang mereka inginkan, bahkan lebih. Seekor paus ukuran raksasa melindungi para paus yang mereka buru. Membawa mereka ke dalam petualangan yang lebih gelap dan dalam di tengah heningnya samudera.
---
Film ini, melalui poster dan trailernya, menggambarkan kengerian sekelompok pelaut menghadapi seekor paus yang sangat besar. Dalam ceritanya sendiri, film ini lebih mengetengahkan karakter para kru Essex, mulai dari Pollard sang kapten, Chase yang berpengalaman namun belum diberi jabatan, dan para kru lainnya, termasuk Tom Nickerson muda, yang menjadi narasumber bagi Malville sebagai bahan garapan untuk novelnya. Ini adalah cerita di mana minyak masih ditambang dari paus, bukan dari perut bumi, sehingga pemburu paus memiliki kasta tersendiri di mata masyarakat, dan orang-orang kaya adalah mereka yang terjun di bisnis ini sejak lama.
Dengan dukungan teknologi terkini, visualisasi lautan luas penuh ombak dan badai menjadi apik terlihat. Paus-paus yang berenang menyemburkan air juga memikat kemeriahan awal dan pertengahan film. Belum lagi tata suara yang mendukung. Terkadang ramai, terkadang senyap. Bahkan kemunculan sang paus raksasa hampir menyerupai film horor yang menghantui penonton, yang sayangnya tidak intens ditonjolkan. Sekali lagi seolah menegaskan bahwa film ini bukaan tentang manusia melawan paus.
Kegetiran dan keputusasaan saat mereka terombang-ambing berbulan-bulan di lautan juga memberikan ketegangan tersendiri. Atau bagaimana mereka harus mengundi siapa yang harus mati agar yang lain dapat bertahan hidup. Tentu dengan batasan-batasan sehingga film ini tidak mendapat cap vulgar karena mempertontonkan darah dan kekejaman.
Boleh jadi, Chase terlalu agung untuk mati, sehingga ketika seorang Nickerson harus menjadi pengantar cerita, pun, ternyata bukan ia yang satu-satunya selamat dari peristiwa tersebut. Sehingga cerita pada bagian akhir tidak saja turun namun terjun drastis. Wajar saja jika anda sebagai penonton pada akhirnya merasa tidak puas, bahkan ada kesan dipaksakan.
---
Keberanian adalah menuju ke tempat yang tidak ada seorang pun berani melangkah ke sana. Seperti halnya Essex yang berani masuk ke lautan luas yang tak seorang pun meyakini tak ada paus, Nickerson seumur hidupnya mencoba mengubur tragedi tersebut bahkan dari istrinya sendiri, hingga ia berani mengungkapkannya pada Melville. Maka, keberanian seperti apakah yang sudah kita buktikan pada diri sendiri?
Victor Frankenstein : Melihat Monster Dalam Sisi Manusia
Sepenggal kalimat ikonik dari
kisah legendaris tentang monster buatan yang
menyedihkan bernama Frankenstein. Setelah beberapa kali difilmkan dan
menjadi ‘cameo’ di beberapa film, kali ini tokoh Frankenstein muncul kembali
dalam film dengan pendekatan yang berbeda.
Dikisahkan, seorang ilmuwan
eksenstrik bernama Victor Frankenstein (James
McAvoy) sedang berburu potongan-potongan tubuh hewan untuk dijadikan bahan
eksperimennya. Perburuannya tersebut membawanya ke sebuah kelompok sirkus, di
mana terdapat seorang ‘joker’ bungkuk, yang ternyata amat terobsesi dengan ilmu
anatomi tubuh manusia. Dengan segara Victor menyadari bakat anak muda tersebut
untuk kemudian membebaskannya dan membawanya ke kehidupannya. Victor pun
memberinya nama : Igor Straussman.
Dengan bakat dan kecerdasannya,
Igor (Daniel Radcliffe)mampu menjadi
asisten yang luar biasa buat Victor. Mereka berhasil menghidupkan kembali
simpanse Victor yang telah mati. Namun terjadi kecelakaan ketika mereka coba
mempresentasikan eksperimen mereka di hadapan Royal Medicine. Simpanse tersebut
tidak hanya hidup, tetapi justru malah mengamuk dan membuat kerusakan. Maka
dengan terpaksa mereka membunuhnya. Sebuah tragedy, namun juga menjadi sebuah
kesempatan. Keluarga Finnegan tertarik dengan ekseperimen tersebut dan bersedia
mensponsori untuk misi yang lebih jauh. Membuat manusia hidup dan beradab.
***
Film ini mengambil sudut pandang
penceritaan dari Igor Straussman, sang asisten, sekaligus menjadi sahabat bagi
Victor Frankenstein. Seperti disebutkan pada awal film, seolah ada sebuah
pertanyaan, apakah Victor membuat sebuah monster? Ataukah ia sendiri yang
menjadi seorang monster?
Daniel Radcliff dengan apik
memerankan sosok bungkuk yang bertransformasi menjadi seorang asisten yang cerdas,
kritis, namun tetap setia. Bisa dibilang, dari penampilannya di beberapa film,
ia sukses menghilangkan imej seorang Harry Potter yang telah melekat pada
dirinya. James McAvoy juga berhasil menggambarkan sosok seorang ilmuwan gila.
Seorang yang jenius sekaligus tenggelam dalam obsesinya akan kehidupan dan
kematian sekaligus. Apatismenya akan kehadiran tuhan dan agama sebagai akibat
tragedy hidupnya di masa lalu, baik diterjemahkan dalam laku gerak dan
kata-katanya. Menggambarkan seorang yang ambisius pada satu hal, namun penuh
keputusasaan pada hal lain.
Menghadirkan sosok Inspektur
Turpin (Andrew Scott), seorang polisi
yang juga penuh obsesi dengan menyelidiki eksperimen yang dilakukan oleh mereka
berdua. Tak hanya hadir sebagai alat hukum, Turpin pun menjadi ‘polisi’ moral
dan agama, yang mempertanyakan kelayakan eksperimen Victor melawan kekudusan
penciptaan Tuhan.
Adegan yang melegenda dari kisah
Frankenstein apalagi jika bukan saat sang manusia buatan dihidupkan dengan
sambaran petir. Sebuah penggambaran monumental, hingga keluarlah seruan dari
Victor yang terkenal itu. Seruan yang, sayangnya, tidak kita ditemui pada film
Frankenstein versi ini. Apakah ini sebuah nilai minus? Tentu saja! Alih-alih
member perspektif baru dalam sebuah kisah lawas, film ini seolah menjadi cerita
sendiri yang meniru-niru plot Frankenstein.
Pada akhirnya, sosok manusia
berwujud sempurna berhasil dibuat oleh Victor. Sosok yang diharapkan menjadi
sebuah warisan akan namanya tercatat pada lembaran sejarah. Namun, seperti yang
diungkapkan oleh Lorelei, menghidupkan seseorang yang sudah mati dan
menciptakan kehidupan dari sesuatu yang awalnya tidak ada, adalah dua hal yang
berbeda. Victor harus menghadapi kenyataan, bahwa kehidupan yang telah
diciptakannya, tak lantas benar-benar ‘hidup’. Tak lebih dari tulang dan daging
yang berjalan. Sebuah mayat hidup dengan kekosongan jiwa. Hingga Victor
mengerti, satu-satunya ciptaannya yang sempurna adalah Igor Straussman, sang
asisten.
Labels:
daniel radcliffe,
frankenstein,
james mcavoy,
klasik,
monster
Hunger Games : Mockingjay Part II
Babak
terakhir dari perjuangan para pemberontak melawan tirani Presiden Snow. Katniss
Everdeen, Sang Mockingjay, harus memenuhi takdirnya sebagai penentu akhir
peperangan antara Capitol dan para pejuang Distrik.
Pada bagian
pertama ‘Mockingjay’, para pejuang berhasil membebaskan para tawanan, terutama
Peeta yang telah dimanipulasi otaknya oleh tim dokter Capitol. Ini membuat
Peeta tidak dapat membedakan kenyataan dan ilusi, sebagaimana ia telah diberi
ingatan palsu bahwa Katniss adalah penyebab semua kekacauan dan pertumpahan
darah yang terjadi. Antara kecewa dan putus asa, Katniss bertekad untuk
langsung menuju Istana Capitol dan membunuh Snow dengan tangannya sendiri.
Menyusup ke dalam skuadron tempur di baris depan, ia harus menyadari bahwa
Presiden Coin dan Plutarch masih mencoba untuk memanfaatkan dirinya sebagai
senjata propaganda.
***
Film ini
adalah bagian kedua dari Hunger Games : Mockingjay. Seolah semakin mempertegas
tren Hollywood akan sebuah saga film, di mana satu judul buku bisa menjadi dua
film (bahkan tiga untuk film tertentu). Sebagai bagian yang tidak terpisahkan,
film ini masih dengan tone yang sama,
dengan pola penyampaian cerita yang juga sama.
Beban Jennifer Lawrence semakin berat karena ia memegang nyawa film ini
sebagai seorang Mockingjay, yang tidak hanya dituntut harus pandai dalam
bertarung, tetapi juga dalam berorasi.
Berbeda dari
sebelumnya, Mockingjay II dihiasi aksi yang cukup menegangkan. Tiap pemain
semakin teruji kemampuannya dalam adegan peperangan. Pertarungan dengan para
mutan memang mengingatkan akan film-film bertema zombie atau semacam itu. Namun
dengan kealpaan hal ini pada film sebelumnya, justru menjadi penguat bahwa film
ini bergenre aksi. Cerita yang sejak semula mengusung tema propaganda semakin
kental di sini. Memang jika ditelisik, film ini sangat bergantung pada
penceritaan yang harus kuat, selain ditopang oleh karakter dari masing-masing
tokoh itu sendiri. Sebagai sebuah film bergenre young-adult, film ini justru
sarat muatan politik dan moral.
Sama seperti
film sebelumnya, Mockingjay II seolah enggan mengakrabkan diri dengan
peperangan. Hal ini ditunjukkan dengan penceritaan yang menjauh dari pusat
peperangan dan justru focus pada obrolan para karakter itu sendiri. Sebagaimana
yang ditampilkan dalam Mockingjay I ketika Distrik 13 diserbu pesawat Capitol
namun tidak diperlihatkan, malah yang dipertontonkan adalah suasana penduduk
dan pejuang di bunker yang sayangnya justru jauh dari suasana mencekam. Kali
ini, mula peperangan dengan menjatuhkan bom untuk meruntuhkan gunung dan
serangan awal ke Capitol juga dialihkan, lagi-lagi dengan percakapan soal
moralitas dan strategi peperangan. Sebuah film aksi perang yang malu-malu?
Jennifer
Lawrence sebagai Katniss masih belum bisa mengeluarkan aura seorang
‘Mockingjay’, orang yang bisa member pengaruh luas. Bahkan rasa merinding
akibat pesona masih kalah jauh dibandingkan film pertamanya sendiri. Jalan cerita yang bisa ditebak meski tanpa
membaca novelnya, malah diperparah dengan ending yang memanjang dengan beberapa
kali jeda tanpa keterkaitan. Bisa jadi beberapa kali penonton tertipu, mengira
film telah usai, berdiri, untuk kemudian duduk lagi menonton adegan yang
sebenarnya tak harus mereka tonton. Tidak berarti kemudian film ini tidak layak
tonton, terutama bagi Anda penggemar film dengan tema politik dan propaganda.
***
Dengan kemasan
cerita remaja yang dipenuhi kisah roman dan aksi peperangan, film ini justru
memberi pesan kuat soal media framing
dan propaganda. Seperti yang digambarkan, Katniss adalah tokoh propaganda
pembakar semangat pemberontak sekaligus menjadi simbol perlawanan bagi Capitol.
Baik Snow maupun Coin memberi sudut pandangnya sendiri dalam setiap peristiwa
dan hasil pertempuran. Ketika Katniss tertembak, pihak Capitol dengan segera
menayangkannya sebagai bagian propaganda bahwa Sang Mockingjay akhirnya dapat
dijatuhkan dan menyemangati prajurit dan penduduk Capitol. Sebaliknya, bagi
Coin, Katniss ditampilkan sebagai martir yang semakin memicu semangat para
prajurit pemberontak dan memberi harapan. Bahkan ketika pada akhirnya istana
Snow yang penuh anak-anak dijatuhkan bom dan memberikan kemenangan pada pihak
pemberontak, penuh manipulasi dan tipu daya di sana, hingga Katniss menyadari,
masa depan mereka di bawah kepemimpinan Coin yang masih prematur, ternyata
tidak berbeda kondisinya ketika Snow masih berkuasa.
Spectre : Ketika Masa Lalu Bond Mengancam Masa Depan Dunia
James Bond (Daniel Craig) melanjutkan petualangannya
setelah terjadi pergolakan di markas MI6 (seperti yang diceritakan dalam
Skyfall), hingga membawanya ke Meksiko untuk memburu tokoh teroris, Marco
Sciarra, yang berniat mengebom sebuah stadion pada perayaan Hari Orang Mati.
Dalam sebuah aksi yang menegangkan dan berbahaya, Bond berhasil mengambil
cincin yang dianggap sebagai petunjuk atas banyak peristiwa teror di dunia.
Pada waktu yang bersamaan, di London, terjadi sebuah
revolusi besar, di mana pemerintah berniat untuk menggabungkan MI6 dengan
organisasi intelijen dari delapan negara lain dalam sebuah program yang digagas
oleh C (Andrew Scott) juga sekaligus
menghapus program “00” karena dianggap telah ketinggalan jaman dan akan
digantikan dengan berbagai piranti teknologi yang jauh lebih canggih dan dapat
lebih dikendalikan. Maka M (Ralph Fiennes)
yang posisinya tertekan mendesak Bond untuk kembali dan tetap berada di London
tanpa membuat masalah.
Di lain pihak, mengemban sebuah misi pribadi dari M
terdahulu, Bond mencari berbagai petunjuk hingga ke Roma, untuk kemudian
mendapati adanya sebuah organisasi rahasia yang mengatur berbagai teror yang
telah dan akan terjadi di berbagai belahan dunia. Bond meyakini bahwa
Oberhauser (Christoph Waltz),
pemimpin organisasi ini, memiliki kaitan dengan dirinya di masa lalu.
Petualangan membawanya kepada Madeleine Swann (Lea Seydoux), putri dari seorang anggota organisasi tersebut, yang
bisa menunjukkan padanya kunci misteri dari organisasi kejahatan misterius :
SPECTRE.
***
Sejak tokoh James Bond diserahkan pada Daniel Craig mulai
dari Casino Royal (2006), kisahnya selalu berkaitan dan berkelanjutan, termasuk
untuk film keempatnya ini. Kali ini sineas mengangkat musuh klasik Bond yaitu
Spectre, sebuah organisasi kejahatan misterius yang namanya bahkan sudah
disebut sejak film pertama Bond, Dr. No (1962), yang mendalangi berbagai
kejahatan dan hampir tidak ada satu pun tokoh antagonis dalam cerita James Bond
yang tidak terafiliasi dengan Spectre. Maka pada ‘Spectre’ kali ini, penegasan
tersebut coba ditunjukkan dengan menampilkan hubungan semua tokoh jahat sejak
Casino Royal, Quantum of Solace, hingga Skyfall.
Sebagaimana banyak cerita detektif dan intelijen, film ini
menawarkan berbagai pemandangan dari berbagai negara, mulai dari keriuhan
Meksiko, eksotisme Italia, hingga gurun antah berantah Maroko. Sebuah nilai
lebih dari film bergenre seperti ini. Sementara itu, tak banyak teknologi
canggih yang dipertontonkan. Maklum, seperti inilah Bond era Craig, yang
berbeda dengan Bond sebelumnya. Dengan hadirnya Q yang makin dominan dibanding
kemunculan perdananya di Skyfall, Bond kali ini digambarkan bisa bekerja dalam
tim, termasuk keterlibatan langsung M dalam kancah pertarungan.
Film ini semakin memberi hiburan bagi para penggemar James
Bond. Selain kisahnya yang tetap setia pada novel (sama seperti ketiga film
sebelumnya), film ini juga menggambarkan perkembangan karakter seorang James
Bond hingga ia menjadi seorang agen 007 yang terkenal tersebut. Sementara itu,
bagi mereka para penonton pemula, justru diberi kesempatan mengenal sosok James
Bond secara utuh, karena sejak Casino Royal memang mengambil lini masa awal
mula James Bond. Bagi beberapa penonton, film ini bisa jadi kurang memuaskan
dahaga mereka akan aksi seperti ketiga film sebelumnya, meski pada adegan
pembuka telah berhasil memberi ketegangan. Jalan ceritanya sendiri mudah
ditebak.
Salah satu teknologi yang diperkenalkan Q kali ini adalah
robot nano yang ditanamkan pada darah James Bond, sehingga ia bisa melacak
keberadaan Bond di mana pun di seluruh belahan dunia, pada saat kapan pun.
Namun, Bond bisa lepas dari pengawasan selama 48 jam pertama karena berhasil
berkompromi dengan Q. Sebuah penegasan, bahwa secanggih apapun teknologi, yang
memegang peranan tetap orang di baliknya.
PAN : Sebelum Melegenda
Setelah puluhan tahun menjadi kisah legenda, sejak ditulis
novelnya hingga diangkat ke layar lebar dalam bentuk film panjang atau pun
serial animasi, kali ini Peter Pan kembali dihadirkan dalam format ‘live
action’. Mengambil waktu sebelum pertentangannya dengan Capt. James Hook, Peter
harus berhadapan dengan sosok bajak laut bernama Blakcbeard.
Dikisahkan, Peter (Levi
Miller) adalah anak yatim piatu penderita disleksia yang tinggal di sebuah
panti asuhan yang menampung banyak anak, dijaga oleh para suster yang bengis.
Peter percaya bahwa ia tak seharusnya berada di situ, bahwa ia memiliki orang
tua yang menyayanginya. Sementara itu, Peter meyakini ada sebuah misteri yang
menyelimuti panti asuhan tersebut. Karena, tidak jarang anak-anak yang ada di
sana menghilang dalam satu malam. Dan para suster tahu bahkan terlibat dalam
peristiwa itu.
Penasaran dengan keadaan ini, Peter bersama teman-temannya
mencoba menyelidiki, dengan pura-pura tidur untuk mengintip kejadian di kamar
tersebut. Sebuah peristiwa yang menggemparkan terjadi. Dari atas atap,
sekelompok orang mengambil satu demi satu anak-anak yang ada di sana, termasuk
Peter. Mereka diculik oleh para bajak laut yang mengendarai kapal laut yang
bisa terbang! Mereka pun dibawa menuju Neverland.
Anak-anak yang diculik ini rupanya kemudian dijadikan
pekerja tambang oleh Blackbeard (Hugh
Jackman). Di sini, Peter berjumpa dengan James Hook (Garret Hedlund), yang ogah-ogahan
menjadi temannya. Hingga dalam satu kejadian, ketika Peter dilempar dari kapal
yang mengapung sebagai sebuah hukuman, Peter dapat terbang! Blakcbeard
tercengang dan mengingatkannya akan sebuah cerita legenda, bahwa akan ada
seorang anak yang bisa terbang yang akan melindungi dunia para peri dan
menaklukkan Blackbeard.
***
***
Sebagai sebuah film bergenre fantasi, film ini memiliki
semua hal untuk sukses dan enak ditonton. Dengan teknologi CGI yang mumpuni
saat ini, semua adegan-adegan yang hanya bisa dibayangkan dapat diwujudkan
dengan baik. Bahkan, sang sutradara mencoba menembus batas imaji penonton,
dengan menggambarkan kapal bajak laut terbang berkejar-kejaran dengan pesawat
angkatan udara Inggris. Lalu suasana pertambangan Neverland yang kering dan
suram lengkap dengan kapal kapal laut-terbang yang bersandar, hingga
warna-warni keceriaan suku terdalam Neverland ditampilkan dengan apik.
Mengambil masa sebelum permusuhannya dengan Hook, film ini
mencoba menjelaskan siapa sebenarnya Peter, mengapa ia bisa terbang, dan
bagaimana perjumpaannya dengan Tiger Lily (Rooney Mara) dan Tinkerbell. Dengan
alur cerita yang padat, durasi 111 menit menjadi tak bisa terlewat begitu saja
hingga Anda sebagai penonton akan kehilangan beberapa detil yang diceritakan
dalam film ini.
Dengan kelebihannya dari sisi tampilan visual, film ini
justru menyimpan kelemahan dari segmen penonton itu sendiri. Ceritanya terlalu
kelam dan berat untuk anak-anak, bahkan mungkin cenderung kejam dan sadis,
namun di saaat bersamaan malah membosankan dan terlalu bertele-tele untuk orang
dewasa. Kisah awal berusaha mengangkat karakter Peter Pan justru habis dikuasai
oleh karakter Blackbeard yang dominan. Bisa jadi, memang begini tren film
Hollywood masa kini, di mana tokoh antagonis dimunculkan lebih kuat dari
protagonis. Sementara James Hook di sini bukanlah Capt. Hook yang kita kenal
selama ini, atau mungkin belum. Sebagaimana biasa, film ini pun menyimpan
potensi sekuel untuk mengetengahkan perubahan hubungan persahabatan antara
Peter dengan Hook menjadi sebuah permusuhan.
Labels:
anak-anak,
kapten hook,
klasik,
legenda,
peter pan
Subscribe to:
Posts (Atom)