'Titik bifurkasi (bifurcation point)
atau yang biasanya disebut "Titik percabangan dua" adalah fenomena
dimana sebuah sistem terbagi kedalam dua kemungkinan perilaku (behavior)
akibat perubahan kecil pada satu parameter. Perubahan lebih lanjut
akan mengakibatkan percabangan dua dalam interval regular, sampai pada
akhirnya masuk ke kondisi Chaos*. Rangkaian dari instabilitas
melalui peningjatan kompleksitas, menjadiakan chaos merupakan fenomena
dari suatu sistem kompleks.' Demikian pendahuluan yang layak dari saya
atas film Supernova ini. Bifurkasi menjadi kata yang paling asing ketika
menyaksikan film ini.
Film ini saya tonton tanpa ada
pengetahuan sedikit pun akan jalan ceritanya. Satu-satunya informasi
yang saya pegang adalah film ini diangkat dari novel karya Dewi 'Dee'
Lestari yang disebut-sebut sangat 'canggih', karena bisa mengangkat
sebuah tema yang berat dalam jalinan kisah cinta yang melibatkan sains.
Bingung? Sama.
Satu pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran
saya adalah, ketika menyaksikan sebuah video klip lagu, bisa dibuat
dengan begitu hebat. Baik dari segi narasi cerita, animasi yang
imajinatif, dan visualisasi yang cantik. Sesuatu yang boleh dibilang
hampir tidak pernah ditemukan dalam versi film full. Dalam 15 menit
pertama, terus terang saya langsung suka dengan film ini, karena apa
yang menjadi pertanyaan dan bayangan saya bisa diwujudkan di sini.
Sebuah film dengan olah rasa video klip.
Memang, karena
ketidaktahuan saya tentang novel yang memang belum saya baca. Sedari
awal duduk, saya lansung dijejali berbagai susunan kalimat, kata, dan
istilah yang membuat kening berkerut, hingga berpikir, "Sudahlah, tak
usah dipikirkan, nikmati saja filmnya". Pada titik ini juga saya
langsung merasa tidak perlu lagi baca novelnya, karena hanya dengan
kalimat-kalimat yang sepertinya dikutip dari buku saja, sudah susah
mencerna filmnya, apalagi harus membaca novelnya secara keseluruhan.
Bisa
jadi, kalimat kalimat puitis dan indah yang dibalut istilah sains itu
memang memiliki makna terdalam yang membantu memahami maksud cerita ini.
Sayangnya, para pemain, khususnya tokoh Ferre/Re, membuat seolah
gelontoran kalimat itu sesuatu yang ringan saja. Ringan, jika berarti
memudahkan pemahanan, tentu baik. Tapi, jika ringan berarti tidak
penting? Ya, jadi malah terabaikan. Begitulah para tokoh terutama Re
memperlakukannya. Kata-kata yang mengalir snagat cepat beradu satu sama
lain malah mengaburkan setiap katanya.
Tampilan futuristik dari
media obrolan Supernova awalnya adalah sesuatu yang 'keren' di film ini.
Sayangnya, ketika 'petuah' Supernova dituangkan bulat-bulat dalam
bentuk tulisan memenuhi layar, apalagi yang bisa dinikmati? Membacanya
saja belum tuntas, sudah harus berkonsentrasi pada adegan berikutnya,
sementara otak masih memroses apa maksud dari tulisan tersebut.
Siapa
atau apakah Supernova itu? Saya seperti tidak ikhlas kalo jawabnya
adalah 'Diva'. Ya, dia bisa jadi siapapun tokoh yang penting di fiilm
ini. Tapi Diva? Di mana keterlibatannya yang katanya menghubungkan
begitu banyak orang dalam jalinan kisah ini? Beberapa chat-nya tidak
menggambarkan seperti itu. Lalu, sosok Diva sebagai model sekaligus
pelacur papan atas jelas tidak memberikan keterlibatan apa pun dalam
cerita ini. Sepertinya, biarkan sajalah Supernova menjadi misterius.
Secara
keseluruhan. film ini memenuhi banyak harapan akan visualisasi
sinematik yang indah, animatif, imajinatif, dan futuristik. Hanya saja,
menyajikan bentuk novel secara bulat, dialog puitis dalam bahasa
keseharian, mungkin akan sangat asing bagi sebagian kita. Tidak nyata,
bahkan. Anda pernah menyaksikan film Coriolanus (2011)? Film ini
berpotensi seperti itu dalam kerumitan pemahaman diksinya. Pun begitu,
film ini layak tonton, terutama sebagai penyadaran, bahwa Indonesia ada
seorang penulis dengan konsep yang luar biasa seperti ini, dan usahanya
untuk menampilkan bahasa tulis ke dalam media visual seperti film.
'Jika Anda masih melihat dunia dengan hitam dan putih, bersiaplah mengalami turbulensi'
No comments:
Post a Comment