Menampilkan Leonardo di Caprio dan Tom Hardy, film ini menjanjikan sesuatu yang wah, tampaknya. Setelah performa ciamik keduanya di Inception sebagai rekan, kali ini mereka berpasangan lagi, namun sebagai lawan.
Dikisahkan, Hugh Glass (di Caprio) seorang pemandu dan pencari jejak lihai sedang memandu sekelompok pasukan pencari bulu berang berang, ketika tiba-tiba mereka diserang oleh Suku Arikara. Memutuskan mundur, mereka akhirnya harus meninggalkan bulu-bulu yang telah diperoleh di tepian sungai demi kembali ke perkemahan mereka. Sebuah keputusan yang ditentang keras oleh John Fitzgerald (Tom Hardy), yang merasa ketergantungan mereka terhadap Glass terlalu berlebihan. Namun, keputusan telah diambil. Hingga dalam satu malam, Glass diserang beruang grizly yang mengamuk, membuat ia terluka parah, robek pada punggung dan leher, belum lagi tulang belulang yang patah di beberapa bagian.
Kapten Henry (Gleeson) menolak meninggalkan Glass. Tidak hanya karena ia satu satunya yang tahu jalan di tengah belantara Utara Amerika, tetapi juga sikap terhormatnya untuk tidak meninggalkan siapa pun di bawah komandonya, selagi Ia bisa. Maka perjalanan tanpa arah sambil memboyong Glass menjadi sebuah mimpi buruk bagi rombongan ini. Hingga keputusasaan melanda. Henry terpaksa meninggalkan Glass didampingi Hawk, anak Glass, Bridger, dan Fitzgerald sendiri. Mereka diperintahkan untuk mendampingi Glass hingga kematian menjemputnya dan memberinya pemakaman yang layak. Untuk upah yang menggiurkan, mereka menerimanya. Sampai tragedi itu kemudian terjadi. Fitz merasa sudah cukup bersabar untuk kemudian membunuh Glass. Sayang usahanya digagalkan Hawk, yang justru terbunuh. Khawatir dengan resiko ketahuan oleh Bridger, Fitz membuat skenario palsu yang membuat mereka meninggalkan Glass sendirian, terikat ditandu, di tengah musim dingin, meratapi kematian sang anak.
***
Diangkat dari sebuah novel berdasarkan kisah nyata. film ini menggambarkan dengan apik perjuangan seorang laki-laki yang juga seorang ayah dalam memperjuangkan dendamnya. Bertahan hidup dengan luka yang teramat parah dan menyakitkan. Hanya makan daun dan rumput kering. Tidur di dalam perut rusa. Atau makan ikan dan daging bison mentah. Semua kejadian ditampilkan seolah nyata dan sekaligus memukau.
Di Caprio, tak pelak menjadi sosok sentral kali ini tak diragukan totalitas perannya. Sudah jauh lama imaji pretty boy lepas dari dirinya. Dan karakter Glass menegaskan ia memang seorang aktor yang layak berhadiah Oscar. Tom Hardy, di sisi lain, semakin memikat. Berbagai peran sebelumnya juga semakin mengukuhkan dirinya sebagai aktor yang layak diperhitungkan, meski tampaknya karakter antagonis terlanjur dan semakin melekat padanya. Yang memang menarik bagaimana aksen Amerika begitu kental alih-alih aksen British yang sempat ia pertontonkan dengan fasih dalam film Locke, misalnya. Pertemuan keduanya menjadikan kemistri film ini, terutama pada bagian akhir begitu kuat, meski harus diakui, terlalu singkat bahkan anti-klimaks.
Pemandangan dalam film ini juga menjanjikan sebuah tontonan yang memanjakan mata. Panorama hijau hutan Amerika berpadu basah dan saljunya musim dingin membuat film ini semakin mencekam, meski drama sepanjang 2.5 jam ini jauh dari kata membosankan, namun tampaknya menular pada suhu AC di ruang studio. Sebuah film yang patut diperhitungkan dan layak tonton.
***
Seorang suku Pawnee, berbagi daging bison (mentah tentunya) pada Glass, pada suatu malam. Ia, juga sama seperti Glass, telah kehilangan keluarganya. Namun, alih-alih naik darah membalas dendam, ia seolah menasihati Glass, "Pembalasan ada di tangan Sang Pencipta". Sebuah kata-kata bijak yang pada bagian akhirnya memberi pencerahan dan meringankan beban Glass. Perjuangannya sejauh ini terlalu suci untuk dikotori dendam.
No comments:
Post a Comment