Siapa
yang merindukan film aksi menawan nan cerdas seperti Collateral? Atau
remake serial klasik Miami Vice? Michael Mann layaknya seorang yang tau
bagaimana menyajikan sebuah film aksi alternatif, tidak membosankan,
bahkan memberi suasana berbeda.
Blackhat berkisah tentang
peretasan yang mengakibatkan terjadi kerusakan pada mesin pembangkit di
Cina (ya, Cina, bukan Tiongkok), menyebabkan pembangkit tersebut
meledak, meleleh, dan menimbulkan korban. Kapten Chen Da Wai (Wong
Leehom) yang menjadi penanggung jawab kasus ini meminta pada atasannya
agar dapat bekerja sama dengan FBI, karena Amerika Serikat ternyata
mengalami serangan yang sama. Hanya saja, AS lebih baik dalam bertahan
sehingga tidak terjadi kekacauan. Di saat melihat kode yang dibuat
peretas, Chen menyadari satu hal, kode tersebut dibuat oleh ia dan
kolega kampusnya semasa di MIT dulu, Nicholas Hathaway (Chris
Hemsworth). Masalahnya, Nick sedang ditahan di penjara karena kejahatan
transaksi elektronik yang dilakukannya. Maka, Chen secara khusus meminta
Nick dibebaskan dan masuk dalam tim mengejar 'Blackhat'.
Plot
yang disajikan pada film ini sebenarnya sederhana. Tidak ada yang baru
juga. Tema peretasan dan kecanggihan teknologi daring sudah beberapa
kali ditampilkan Hollywood, mulai dari Enemy Of The State hingga Eagle
Eye. Boleh jadi yang menarik perhatian, bagaimana Mann menggiring film
ini menjadi layak tonton.
Sayangnya, untuk durasi 130 menit,
film ini terlalu lama. Lama, karena banyaknya adegan yang tidak perlu
dan tak seharusnya berpanjang-panjang. Pembukaan film yang menampilkan
arus data mulai dari kabel, motherboard, hingga bagian mikroskopik dari
chip memang menarik, jika saja tidak menghabiskan hampir 10 menit hanya
untuk itu saja. Lagipula, film-film tentang peretas di masa lalu sudah
pernah melakukannya. Atau, adegan helikopter penyerbuan Chen dan tim
menuju kediaman Elias Kassar, terlalu lama durasinya. Sementara, begitu
banyak cerita yang justru melompat-lompat, seolah tidak runut.
Keseruan
Chen dan Nick dalam mengejar 'blackhat' diperparah dengan solusi yang
muncul begitu saja di depan mata. Seberapa hebatnya seorang Nick? Jika
melihat dari film ini, rasanya ada begitu banyak peretas yang bisa
melakukan apa yang ia lakukan. Bahkan usahanya menembus keamanan NSA
untuk mengambil program Black Widow pun terasa kacangan. Lagi-lagi,
semua solusi, termasuk arus uang bank yang berputar keliling dunia bisa
dengan gampangnya dipindahkan ke satu rekeningnya.
Hal menarik
dari Mann adalah olah visualnya dengan shaky cam, biasanya menggunakan
camera digital yang menampilkan gambar video yang seolah tidak diolah
khusus untuk tayangan sebuah film besar, lebih seperti kameramen amatir.
Parahnya, ini terjadi di adegan tembak-tembakan yang paling banyak dan
lama, di dermaga. Hampir tidak bisa dibedakan dengan tampilan visual
sinetron Indonesia. Serial keluaran barat bahkan jauh lebih baik terasa.
Sementara kamera gerak sangat apik ditampilkan di Collateral, di sini,
malah mengganggu kenikmatan.
Jika ada yang menghibur dari film
ini, tentunya ketika Jakarta tidak hanya disebut, tetapi menjadi bagian
penting, karena puncak film ini justru terjadi di depan patung selamat
datang. Walaupun, penggambaran Jakarta lagi lagi terlihat kotor dan
kumuh, jauh dari tampilan yang layak untuk mempromosikan diri, itu pun
jika pihak Indonesia dilibatkan dalam ajang promosi kota. Sepertinya
tidak. Parade tari bali di Papua Square di Jakarta? Sebelumnya,
memangnya Papua Square betul ada? Lagipula, ada bule main pukul masa'
sekian ratus orang tidak marah dan membalas? Malah cuek saja? Belum
lagi kemudian jadi korban tembak-tembakan di tengah lapangan?
Pada akhirnya, satu pesan dari film ini adalah, jika Anda tertembak, obati saja dengan Betadin!
No comments:
Post a Comment