Kembali, film bertema young-adult diangkat ke layar lebar dari sebuah
novel yang boleh jadi -seperti biasa- tidak terlalu dikenal. Bisa jadi
juga sudah tidak ada lagi ide segar dari para sineas Hollywood sehingga
mereka berlomba menjadikan novel sebagai materi film. Atau, ini justru
sebuah ujian kreatifitas?
Film ini bercerita tentang seorang remaja laki-laki bernama Thomas (Dylan O'Brien)
yang terbangun tiba-tiba di antara sekumpulan remaja laki-laki lainnya
di sebuah tempat yang asing yang disebut dengan The Glade. Tanpa
memiliki ingatan apapun tentang dirinya, termasuk namanya sendiri hingga
muncul dalam ingatan kemudian, Thomas berada dalam kebingungan dan
ketakutan saat menyadari tempat itu terkurung tembok-tembok tinggi dan
mereka yang ada di sana berjuang bertahan hidup dengan caranya sendiri.
The Gladers ini dipimpin oleh Alby (Aml Ameen), disebut-sebut
sebagai orang pertama yang dikirim ke tempat terpencil ini, membuat
aturan agar komunitas ini tetap bersatu dan bertahan hidup sambil
mencari cara untuk keluar menembus kuruang tembok-tembok ini.
Salah
satu aturan yang mengikat The Gladers adalah larangan untuk masuk ke
dalam celah dinding yang terbuka, yang hanya boleh dimasuki mereka yang
tergabung dalam Runner. Tugas mereka khusus, masuk ke dalam labirin di
balik dinding, mencatat semua jalan sambil terus mencoba mencari jalan
keluar. Hal sulit dari labirin ini adalah, setiap malam susunannya
selalu berubah, seperti hidup, dan membentuk susunan baru. Disebutkan
bahwa tidak ada seorang pun yang bisa bertahan satu malam di dalam
labirin. Ini dikarenakan pintu gerbang labirin ini terbuka setiap pagi
dan menutup menjelang matahari terbenam.
Suasana semakin tidak
menentu ketika salah seorang Runner bernama Ben tiba-tiba dalam keadaan
seperti kerasukan menyerang Thomas sambil bergumam bahwa ini semua
salahnya. Kondisi ini adalah sesuatu yang lazim ketika seseorang
disengat Griever, makhluk yang menguasai labirin dan senantiasa menjadi
ancaman bagi setiap Runner ketika masuk ke dalam sana. Dengan kondisi
yang semakin memburuk dan tidak mungkin terobati, Ben, sesuai tradisi,
akhirnya dibuang ke dalam labirin. Merasa keadaan semakin tidak menentu,
Alby ditemani Minho (Ki Hong Lee), ketua regu Runner, masuk ke
dalam labirin hingga menjelang senja, ketika sebagian menganggap mereka
sudah tidak mungkin pulang, mereka berdua kembali dalam keadaan Alby
tengah sekarat tersengat. Tidak dapat berdiam diri menghadapi
kemungkinan keduanya bermalam di dalam labirin, Thomas memaksa masuk ke
dalam labirin tepat ketika akhirnya gerbang tertutup. Untuk pertama
kalinya, ia harus menghadapi ancaman sebenarnya dari Labirin.
....
Di angkat dari novel berjudul sama karya James Dashner, tema yang
diusung adalah keadaan ketika kondisi bumi telah mengalami kehancuran
luar biasa (post-apocalyptic). Bermain di wilayah young-adult,
berbeda dengan genre yang sama yang telah diangkat beberapa kali dalam
film di mana jagoannya adalah perempuan dan sepertinya menyasar penonton
perempuan dengan kisah kasih khas remaja, film ini justru menggambarkan
keadaan yang jauh dari manis dan romantis. Suasana yang keras dan
mencekam tergambarkan di hampir 1.5 jam durasi film ini. Tidak ada ruang
untuk menampilkan kisah percintaan (dan itu bagus, mengingat hampir
semua karakter dalam film ini adalah (remaja) laki-laki) dan
menggantinya dengan gambaran betapa pentingnya aturan dan persatuan
dalam sebuah komunitas, apalagi ketika berhadapan dengan situasi
hidup-mati.
Menarik mencermati bagaimana karakter Gally (Will Poulter)
saat mengambil alih kepemimpinan The Gladers ketika Alby tengah
sekarat. Ia mencoba tetap bertahan dengan aturan yang mereka buat dan
jaga selama tiga tahun demi keutuhan mereka. Kekeraskepalaannya
menghukum Thomas dan lain-lain yang mencoba lari ke dalam Labirin,
bahkan selepas rombongan Grieve menyerang desa mereka, menunjukkan
bagaimana seseorang bisa begitu bertahan dengan ide, prinsip, dan aturan
yang dibuat sendiri, justru ketika mereka berada di dalam kungkungan
tembok tinggi, hingga merasa lebih baik dan nyaman berada di dalam
sebuah penjara tersebut, alih-alih mencoba keluar dan meraih kebebasan
mereka. Atau mati ketika mencobanya. Jika menggunakan istilah 'zona
nyaman', bisa jadi ini gambarannya. Kita berada di zona nyaman yang
awalnya mengurung kita, membatasi pikiran dan diri kita dengan
tembok-pemikiran sehingga kita tidak bisa berkembang dan maju, stagnan
di tempat. Lalu kita membuat alasan dan pembenaran mengapa kita tidak
seharusnya mencoba keluar mencari jalan meninggalkan zona nyaman
tersebut. Kita bisa jadi gagal dan terbuang, tapi kita juga telah
membuka kesempatan untuk maju.
...
Perlu mencari beberapa
referensi sebelum memastikan diri menyaksikan film ini, agar tidak
terjebak dalam film-film bertema sejenis yang memang sedang tren. Dan
ketika ceritanya memang tidak sama seperti yang lain, maka buat Anda
yang ingin menyaksikan sebuah film remaja, tanpa laki-laki bertelanjang
dada dan berotot kekar, ataupun cerita 'menye-menye' romantis
yang memuakkan, ini adalah pilihan yang, sampai saat ini, tepat. Dan
karena film ini diangkat dari sebuah novel yang bisa dibilang berseri,
jangan kaget jika di akhir film akan ada kesan film ini harus ada
sekuelnya. Yah, buat saya, memang harus.
No comments:
Post a Comment