Benar, judul di atas diambil dari salah sebuah film yang pernah tayang di bioskop di seluruh Indonesia. Ceritanya? Tidak tahu, belum nonton. Tapi film ini dibuat dan diperuntukkan bagi para penggiat lari terutama di Indonesia yang semakin hari semakin banyak dan semakin semarak. Tidak heran jika beberapa korporasi mengadakan kegiatan lari (biasanya 10 km) dalam setiap 'event' hari Minggu mereka.
Tulisan ini tidak berbicara tentang film itu, tentu saja. Tulisan ini adalah tentang gairah saya untuk lari pagi lagi.
Ya, awalnya dulu saya memang termasuk suka lari pagi. Boleh jadi ini diwariskan oleh Bapak yang hingga saat ini masih rutin jalan pagi. Ya, mengingat usianya yang sudah di atas 70 tahun dan dengan segala macam penyakit di tubuhnya, lari tidak lagi menjadi pilihan. Justru kondisi itu yang membuat semangat ini tumbuh lagi. Kesadaran bahwa aktifitas fisik yang kurang sangat beresiko bagi kondisi badan. Belum lagi pekerjaan yang memanjakan hingga malas bangkit dari kursi di depan komputer.
Pernah, beberapa bulan lalu kembali ke gym dan mulai angkat beban, tapi hal ini butuh waktu dan biaya ekstra secara saya termasuk pemilih dalam urusan tempat gym. Maraknya olahraga lari ini semacam pembakar untuk memulai lagi. Apalagi katanya lari bisa cukup membakar lemak untuk selanjutnya lebih menjanjikan menurunkan berat badan dan membentuk perut lebih rata, haha ... Belum lagi cerita salah seorang kawan bahwa 'pacarnya' rutin lari pagi untuk menjaga 'stamina'. Wah ... ini benar-benar godaan yang menarik! Membayangkan bagaimana gagahnya lari di pantai, atau dengan medan yang lebih berat seperti perbukitan menanjak dan menurun. Mengkhayal untuk saat ini boleh-boleh saja, kan?
Tahap awal, saya kembali lari cukuplah 15 menit setiap pagi. Karena saya tinggal di lingkungan militer, tidak sedikit orang-orang yang juga lari, tak hanya pagi tapi sore hari, bahkan dengan jaket parasutnya. Kalo yang ini, teman SMA saya pernah coba karena terobsesi menurunkan berat badan. Hasilnya? Typus!
Jadi, target saya dengan lari adalah :
1. Berharap kondisi tubuh lebih baik (baca : sehat) dengan aktifitas fisik yang moderat hingga berat
2. Meningkatkan stamina dan kebugaran untuk aktifitas pagi hingga malam
3. Menjaga berat badan dan kalau bisa membentuk hingga ke kondisi ideal
Entah benar ada efeknya atau tidak, dengan rutin lari pagi 15 menit selepas Subuh setidaknya 4 hari dalam seminggu, setidaknya stamina buat main futsal selama satu jam dapat terjaga. Terlepas dari pola bermain yang tidak terlalu ngotot, minggu lalu saya main futsal 45 menit tanpa ganti.
Sayangnya, untuk saat ini kondisi sedang tidak bersahabat. Musim kering tiba, kabut asap mulai pekat di pagi hari, tidak ada lagi udara segar. Rasanya mudah sesak nafas. Sungguh, ini benar-benar menggoda buat berhenti lagi. Ah, mungkin ini ujian. Semangat !!!
Bahan bacaan :
- http://www.active.com/running/articles/3-ways-to-burn-fat-effectively-while-running
- http://www.runnersworld.co.za/nutrition/weight-loss/fat-burning-running-workouts/
- http://running.about.com/od/faqsaboutweightloss/f/Can-I-Burn-Fat-By-Running.htm
Tuesday, September 16, 2014
Wednesday, September 3, 2014
Hercules : Kisah Manusia Setengah Dewa Tanpa Dewa-dewa
Siapa yang tidak tau dengan Hercules? Kisahnya sudah sangat melegenda, bahkan serialnya di salah satu televisi swasta pun sempat berjaya. Kini, Brett Ratner meluncurkan remake terbaru dari kisah manusia setengah dewa ini.
Diperankan oleh Dwayne 'The Rock' Johnson, Hercules memimpin sekumpulan prajurit bayaran yang terdiri dari peramal (Amphiaraus/Ian McShane), ahli melempar pisau (Autolycus/Rufus Sewell), pemanah Amazon (Atalanta/Ingrid Berdal), prajurit tanpa rasa takut (Tydeus/Aksel Hennie), dan sang pencerita ulung (Iolaus/Reese Ritchie). Dibuka dengan cerita seperti biasa, sebagai anak dari Zeus, Hercules dikisahkan harus melaksanakan dua belas tugas yang diembankan dewa kepadanya sebagai wujud kompromi atas perdamaian dirinya dengan Dewi Hera. Kisah lalu berlanjut masuk dalam suasana pertarungan brutal antara Hercules dan rekan melawan para perompak sebagai misinya sebagai pasukan bayaran.
Hercules lalu ditemui oleh Ergenia, anak dari Raja Cotys, yang sedang dalam kesusahan karena harus berperang melawan pemberontak bernama Rheseus yang berdasar desas-desus bekerja sama dengan para Centaur (manusia setengah kuda) dan memiliki begitu banyak pasukan yang kejam. Dengan imbalan emas seberat tubuhnya, Hercules menerima pekerjaan untuk melatih dan mengalahkan Rheseus tersebut. Belum lagi ketika mereka harus kehilangan banyak pasukan karena berperang melawan suku barbar, desa yang seharusnya sudah dihancurkan lebih dulu oleh Rheseus.
Dalam situasi yang pelik ini, ternyata Hercules masih dibayangi masa lalunya, kematian atas istri (Megara/Irins Shayk) dan ketiga anaknya yang misterius. Ini adalah tugas kedua belas yang tak kunjung dituntaskan olehnya, membunuh masa lalu yang menghantuinya.
...
Saya tak pernah membaca sinopsis apapun terkait kehadiran film yang sudah lama kabar akan beredar ini, bahkan sampai ada versi lainnya, Legend of Hercules. Dalam bayangan saya, apa yang bisa dilakukan Hercules ketika saudaranya, Perseus, telah menyita perhatian penonton dengan pertarungan seru antara Tiga Dewa (Zeus, Hades, dan Poseidon) melawan Kronos? Pertarungan para dewa apalagi yang bisa dihadirkannya?
Maka, tidak salah jika pembuat film mengambil sisi yang lebih 'manusiawi' yang mengingatkan saya akan film Troy (2004), cerita tentang manusia keturunan dewa yang terlibat dalam peperangan manusia tanpa sedikit pun menampilkan para dewa, dalam level apapun. Maka, mau tidak mau, saya sudah punya pembandingnya.
The Rock, terlepas dari latar belakangnya sebagai pegulat profesional dengan deretan filmografi sebagai bintang aksi laga, tampangnya yang komikal jelas tidak bisa mengangkat keseriusan karakter Hercules yang kehilangan keluarganya secara tragis ini. Belum lagi film ini mencoba memberi bumbu sisipan lelucon yang harus memaksa untuk sekedar senyum. Plot lain yang coba diabaikan adalah mengenai, benarkah Hercules anak Zeus? Apakah ia memang manusia setengah dewa? Lalu darimana ia punya kekuatan untuk meruntuhkan patung Hera yang begitu besar untuk menumpas pasukan Raja Cotys pada akhirnya? Mungkin ia terlalu banyak nge-gym.
Hal berbeda yang coba ditawarkan oleh film ini, yang justru menjadi daya tarik, adalah kehadiran karakter Iolaus, keponakan Hercules, yang bertugas menceritakan legenda-legenda pertarungan dan kisah hidup Hercules. Tidak hanya menjadi juru bicara, Iolaus justru lebih seperti seorang penebar propaganda, membakar semangat pasukan sendiri dan menakuti lawan-lawannya. Dalam kenyataannya, sosok seperti ini tidak bisa dilupakan begitu saja dari sejarah. Bahkan seorang Hittler punya Goebbels di sampingnya.
Buat saya yang tidak tau seperti apa tampilan pacar dari mega bintang sepakbola Cristiano Ronaldo, bisa melihat sekilah Irina Shayk di sini sebagai istri dari Hercules. Semoga penampilannya yang sekilas ini bukan hasil dari editing Lembaga Sensor Indonesia.
...
'Tidak penting apakah ia manusia setengah dewa atau bukan, ketika ia menilai dirinya pahlawan, ia bisa menjadi pahlawan'. Sebuah kutipan yang coba digambarkan di sepanjang film ini, bahwa ini adalah film tentang Hercules yang dikenal sebagai manusia setengah dewa anak Zeus yang kuat luar biasa, namun tidak sedikit pun memberi gambaran dewa atau bahkan hal-hal ajaib di sini.
Ketika perang kolosal antara ribuan pasukan Cotys dari Thrace dan Rheseus bertemu, kita akan melihat banyak orang namun terlalu sedikit untuk mengatakannya ribuan. Sepertinya pihak produksi benar-benar menggunakan banyak pemain figuran tanpa tambahan efek visual. Kembali lagi, jika harus membandingkan dengan dua seri Perseus, film ini jelas ketinggalan dari keberlimpahan efek visual.
Apakah saya ikut merasakan kesedihan Hercules yang kehilangan keluarganya? Atau kepuasan ketika ia akhirnya tau siapa dalam di balik tragedi itu? Tidak. Apakah saya merasakan hal yang getir dari Tydeus yang katanya hidup seperti hewan sebelum ditemukan oleh Hercules? Lalu sedih ketika ia mengorbankan dirinya? Tidak. Apakah ada rasa-rasa cinta antara Megara dan Hercules? Juga tidak. Film ini terlalu kering akan jalinan kisah dan emosi. Bahkan ketika hendak mengumbar aksi juga masih terlalu tanggung. Kecuali anda memang penggemar berat The Rock, atau penasaran dengan penampilan Irina Shayk, atau memang penggemar kisah-kisah Yunani, maka baiknya letakkan film ini di urutan bawah daftar film yang wajib Anda tonton.
The Fault in Our Stars : One Hell of a 'Sick' Movie, Trully
Demi apa sehingga aku harus nonton film cinta remaja? *mehh* Yah, anggap saja khilaf di penghujung kepenatan.
The Fault in Our Stars berkisah seorang gadis penderita kanker tiroid, Hazel Grace Lancaster (Shailenne Woodley) yang sudah mengancam paru-parunya dan membuatnya depresi, hingga orang tuanya yang begitu mencintainya mendorongnya bergabung dalam komunitas pendukung penderita kanker di kotanya. Di sanalah ia berjumpa dengan Augustus Waters (Ansel Elgort), penderita 'osteosarcoma' yang telah kehilangan kaki kanannya. Ikatan pertemanan di antaranya perlahan menguat, hingga Hazel merekomendasikan novel favoritnya, An Imperial Affection, kisah seorang gadis penderita kanker yang dianggapnya memiliki pengalaman hidup yang sama dengan dirinya. Gus demikian penasaran dengan akhir kisah pada novel yang mereka anggap menyisakan banyak pertanyaan. Sayangnya, penulis novel, Peter Van Houten (Willem Dafoe) telah meninggalkan Amerika menuju Amsterdam.
Gus, dengan optimisnya, menjanjikan bahwa mereka bisa ke Amsterdam untuk berjumpa Van Houten dan bertanya banyak hal tentang novel tersebut. Sesuatu yang sempat menjadi angan-angan saja ketika penyakit Hazel tiba-tiba kembali menyerang. Sang Ibu, dengan cintanya yang amat sangat, mencoba meyakinkan bahwa semua keinginannya bisa saja terwujud, meski untuk ke mana mana Hazel harus membawa tabung oksigen sendiri, hingga akhirnya mimpi Hazel (dan Gus) bisa tercapai.
....
Setelah 'Dying Young' pada tahun 1991 yang menyentuh tentang penderita kanker, tahun 2014 ini sebuah film yang diangkat dari novel tulisan John Green kembali mencoba bicara tentang kisah cinta remaja, sama sama penderita kanker, untuk mengisi hari dan hidup mereka yang bisa dibilang tinggal menunggu waktu saja. Awalnya aku merasa bahwa film ini akan sangat klise, dan memang benar, film ini plotnya sangat sederhana : kisah cinta dua remaja yang mengejar impian (terakhir) mereka hingga akhirnya dipisahkan oleh maut.
Apa yang membuat sesuatu yang klise menjadi istimewa? Pertama, pilihan kata yang memikat namun tak mencoba puitis membuat dialog antar karakter utama menjadi indah sekaligus cerdas. Personifikasi yang tidak berlebihan tapi bisa menjelaskan situasi yang mereka hadapi. Film ini juga tidak mencoba mengeksploitasi penyakit dan kesedihan mereka, bahkan justru memberikan lelucon segar (namun tanpa melecehkan) terhadap kondisi diri mereka. Keceriaan dan kesedihan dihadirkan silih berganti tanpa kesan dipaksakan, tidak menghadirkan konflik yang dibuat-buat antar karakter. Bahkan bisa dibilang, kecuali karakter Van Houten, tidak ada konflik antar karakter, misal ketidaksetujuan orang tua terhadap hubungan Hazel dengan Gus. Oke, yang ini terlalu sinetron Indonesia.
Hazel, digambarkan sebagai gadis yang telah menerima kenyataan bahwa ia bisa meninggal kapan saja, tetap ceria dan realistis. Sementara Gus adalah sosok pria yang positif, optimis, penuh humor yang membuat 'chemistry' di antara mereka menjadi kuat.
Yang menarik adalah ketika Gus, yang sadar tidak mungkin menikah dan membuat acara pra-pernikahan, memilih membuat acara pra-pemakaman, karena ia tidak mungkin bisa melihat acara pemakamannya sendiri. Menarik, karena ini sesuatu yang boleh jadi belum pernah diperlihatkan sebelumnya. Memberikan kesadaran pada kita bahwa kematian seharusnya lah dipersiapkan dengan matang. Lalu, bagaimana mereka membuat pidato perpisahan yang indah untuk Gus, mengharukan tapi tidak mengumbar air mata. Hingga pada pemakamannya sendiri, ketika Hazel memilih untuk tidak membacakan lagi pidato perpisahan itu karena menurutnya, "Upacara pemakaman itu untuk mereka yang masih hidup, bukan yang telah mati".
Jika kita telusuri mesin pencari semacam Google, akan banyak kita jumpai kutipan-kutipan dari novel ini begitu banyak, yang mengingatkan pada beberapa novel baik lainnya. Walau aku sendiri belum pernah membaca novelnya (sudah ada versi Indonesianya?), sepertinya film ini telah dieksekusi dengan baik. Ingin menyaksikan film remaja tapi tak murahan? Roman yang tidak picisan? Sebuah keharuan tanpa perlu mempertontokan tangis meraung? Film ini ibarat makanan ringan yang mengenyangkan, yang layak jadi pilihan.
The Fault in Our Stars berkisah seorang gadis penderita kanker tiroid, Hazel Grace Lancaster (Shailenne Woodley) yang sudah mengancam paru-parunya dan membuatnya depresi, hingga orang tuanya yang begitu mencintainya mendorongnya bergabung dalam komunitas pendukung penderita kanker di kotanya. Di sanalah ia berjumpa dengan Augustus Waters (Ansel Elgort), penderita 'osteosarcoma' yang telah kehilangan kaki kanannya. Ikatan pertemanan di antaranya perlahan menguat, hingga Hazel merekomendasikan novel favoritnya, An Imperial Affection, kisah seorang gadis penderita kanker yang dianggapnya memiliki pengalaman hidup yang sama dengan dirinya. Gus demikian penasaran dengan akhir kisah pada novel yang mereka anggap menyisakan banyak pertanyaan. Sayangnya, penulis novel, Peter Van Houten (Willem Dafoe) telah meninggalkan Amerika menuju Amsterdam.
Gus, dengan optimisnya, menjanjikan bahwa mereka bisa ke Amsterdam untuk berjumpa Van Houten dan bertanya banyak hal tentang novel tersebut. Sesuatu yang sempat menjadi angan-angan saja ketika penyakit Hazel tiba-tiba kembali menyerang. Sang Ibu, dengan cintanya yang amat sangat, mencoba meyakinkan bahwa semua keinginannya bisa saja terwujud, meski untuk ke mana mana Hazel harus membawa tabung oksigen sendiri, hingga akhirnya mimpi Hazel (dan Gus) bisa tercapai.
....
Setelah 'Dying Young' pada tahun 1991 yang menyentuh tentang penderita kanker, tahun 2014 ini sebuah film yang diangkat dari novel tulisan John Green kembali mencoba bicara tentang kisah cinta remaja, sama sama penderita kanker, untuk mengisi hari dan hidup mereka yang bisa dibilang tinggal menunggu waktu saja. Awalnya aku merasa bahwa film ini akan sangat klise, dan memang benar, film ini plotnya sangat sederhana : kisah cinta dua remaja yang mengejar impian (terakhir) mereka hingga akhirnya dipisahkan oleh maut.
Apa yang membuat sesuatu yang klise menjadi istimewa? Pertama, pilihan kata yang memikat namun tak mencoba puitis membuat dialog antar karakter utama menjadi indah sekaligus cerdas. Personifikasi yang tidak berlebihan tapi bisa menjelaskan situasi yang mereka hadapi. Film ini juga tidak mencoba mengeksploitasi penyakit dan kesedihan mereka, bahkan justru memberikan lelucon segar (namun tanpa melecehkan) terhadap kondisi diri mereka. Keceriaan dan kesedihan dihadirkan silih berganti tanpa kesan dipaksakan, tidak menghadirkan konflik yang dibuat-buat antar karakter. Bahkan bisa dibilang, kecuali karakter Van Houten, tidak ada konflik antar karakter, misal ketidaksetujuan orang tua terhadap hubungan Hazel dengan Gus. Oke, yang ini terlalu sinetron Indonesia.
Hazel, digambarkan sebagai gadis yang telah menerima kenyataan bahwa ia bisa meninggal kapan saja, tetap ceria dan realistis. Sementara Gus adalah sosok pria yang positif, optimis, penuh humor yang membuat 'chemistry' di antara mereka menjadi kuat.
Yang menarik adalah ketika Gus, yang sadar tidak mungkin menikah dan membuat acara pra-pernikahan, memilih membuat acara pra-pemakaman, karena ia tidak mungkin bisa melihat acara pemakamannya sendiri. Menarik, karena ini sesuatu yang boleh jadi belum pernah diperlihatkan sebelumnya. Memberikan kesadaran pada kita bahwa kematian seharusnya lah dipersiapkan dengan matang. Lalu, bagaimana mereka membuat pidato perpisahan yang indah untuk Gus, mengharukan tapi tidak mengumbar air mata. Hingga pada pemakamannya sendiri, ketika Hazel memilih untuk tidak membacakan lagi pidato perpisahan itu karena menurutnya, "Upacara pemakaman itu untuk mereka yang masih hidup, bukan yang telah mati".
Jika kita telusuri mesin pencari semacam Google, akan banyak kita jumpai kutipan-kutipan dari novel ini begitu banyak, yang mengingatkan pada beberapa novel baik lainnya. Walau aku sendiri belum pernah membaca novelnya (sudah ada versi Indonesianya?), sepertinya film ini telah dieksekusi dengan baik. Ingin menyaksikan film remaja tapi tak murahan? Roman yang tidak picisan? Sebuah keharuan tanpa perlu mempertontokan tangis meraung? Film ini ibarat makanan ringan yang mengenyangkan, yang layak jadi pilihan.
Tuesday, September 2, 2014
Donor Darah Edisi Perdana
-- Cerita ini terjadi pada tanggal 15 Agustus 2014 silam --
'Saya lagi butuh darah buat anak saya. Butuh empat kantong, tapi baru dapat satu kantong. Makanya minta tolong Mas-mas pegawai bank situ buat donor'
Itu adalah sepenggal obrolan dari salah seorang Ibu yang duduk di depan saya saat menunggu antrian di Unit Donor Darah (UDD) PMI Kota Palembang, tadi pagi jelang siang. Ini adalah pengalaman perdana saya donor darah, setelah beberapa kali di beberapa kesempatan sejak masa kuliah, saya ditakdirkan selalu melewatkan kesempatan tersebut.
Pagi hari itu, tiba-tiba pesan pop-up di layar komputer saya muncul. Dari salah seorang teman. "Jar, kamu golongan darahnya apa, ya?". Berlanjut obrolan singkat, intinya ia butuh darah buat salah satu anggota keluarganya yang hendak operasi cesar. Maka begitu jam lewat pukul sepuluh, kami segera bergegas menuju UDD PMI.
Tidak terlalu ramai, hanya lima sampai enam orang saja di kursi tunggu. Sejenak isi formulir, tidak lama kemudian nama saya pun dipanggil. Duduk berhadapan dengan seorang ibu yang dengan tangkas menusuk ujung jari tengah tangan kanan saya hingga berdarah. Lalu, ketika saya lengah, ia tempelkan tabung kecil di sana dan dengan seksama dan dalam tempo yang singkat menekan ujung jari tersebut, "creett", darah segar mengalir deras mengisi rongga tabung itu, yang kemudian dengan indahnya ditepuk-tepukkan ke bilah kaca kecil, diberi warna biru, kuning, dan merah membentuk pola gradasi warna. Coretan-coretan dibuatnya pada formulir isian saya. Hb, oke. Golongan darah, A. Lalu saya disuruh masuk.
Di ruangan ukuran 3x5 meter, ada tiga pasang pembaringan yang masing-masing telah diisi tiga orang. Tiap lengannya terpasang selang yang berwarna merah, dengan kantong darah tergeletak di atas timbangan (sayur). Oke, suasananya semakin mencekam ini. Demi menghilangkan kegugupan, saya sejenak ke toilet, menuntaskan apa yang tertahan, untuk kemudian masuk lagi dan dengan elegannya berbaring. Lengan kiri sepertinya pilihan yang baik buat 'diinfus'.
Seorang Ibu menunjukkan pengalamannya dengan tidak butuh setengah menit untuk memasang jarum. Jujur saja, saya tak berani melihat, biarkan saja sistem yang bekerja. Sekitar sepuluh menit berbaring, seorang mbak perawat mendekat.
"Masih lama lagi?", saya tanya
"Ini sudah selesai, mau dicabut", jawabnya
"Berapa banyak?"
"350"
Wah, 350 mL untuk donor perdana, hehe...
....
Kembali ke awal obrolan bersama ibu tadi. Saya bertanya juga pada teman ini, yang ternyata sudah membawa dua orang teman satu ruangan untuk donor juga kemarin. Jadi, demi kelancaran operasi tersebut yang membutuhkan tambahan darah, teman ini harus swalayan, mencari sendiri darah yang dibutuhkan. Begitupun dengan sang Ibu tadi. Menjadi bertanya-tanya, demikian tipis kah stok darah? Sehingga keluarga pasien harus mencari sendiri?
Semoga saja, ini bukan pengalaman saya yang pertama dan terakhir. Semoga saja saya tetap sehat sehingga darah saya aman buat didonorkan. Seperti kutipannya : Setetes darah Anda membawa kehidupan bagi sesama.
'Saya lagi butuh darah buat anak saya. Butuh empat kantong, tapi baru dapat satu kantong. Makanya minta tolong Mas-mas pegawai bank situ buat donor'
Itu adalah sepenggal obrolan dari salah seorang Ibu yang duduk di depan saya saat menunggu antrian di Unit Donor Darah (UDD) PMI Kota Palembang, tadi pagi jelang siang. Ini adalah pengalaman perdana saya donor darah, setelah beberapa kali di beberapa kesempatan sejak masa kuliah, saya ditakdirkan selalu melewatkan kesempatan tersebut.
Pagi hari itu, tiba-tiba pesan pop-up di layar komputer saya muncul. Dari salah seorang teman. "Jar, kamu golongan darahnya apa, ya?". Berlanjut obrolan singkat, intinya ia butuh darah buat salah satu anggota keluarganya yang hendak operasi cesar. Maka begitu jam lewat pukul sepuluh, kami segera bergegas menuju UDD PMI.
Tidak terlalu ramai, hanya lima sampai enam orang saja di kursi tunggu. Sejenak isi formulir, tidak lama kemudian nama saya pun dipanggil. Duduk berhadapan dengan seorang ibu yang dengan tangkas menusuk ujung jari tengah tangan kanan saya hingga berdarah. Lalu, ketika saya lengah, ia tempelkan tabung kecil di sana dan dengan seksama dan dalam tempo yang singkat menekan ujung jari tersebut, "creett", darah segar mengalir deras mengisi rongga tabung itu, yang kemudian dengan indahnya ditepuk-tepukkan ke bilah kaca kecil, diberi warna biru, kuning, dan merah membentuk pola gradasi warna. Coretan-coretan dibuatnya pada formulir isian saya. Hb, oke. Golongan darah, A. Lalu saya disuruh masuk.
Di ruangan ukuran 3x5 meter, ada tiga pasang pembaringan yang masing-masing telah diisi tiga orang. Tiap lengannya terpasang selang yang berwarna merah, dengan kantong darah tergeletak di atas timbangan (sayur). Oke, suasananya semakin mencekam ini. Demi menghilangkan kegugupan, saya sejenak ke toilet, menuntaskan apa yang tertahan, untuk kemudian masuk lagi dan dengan elegannya berbaring. Lengan kiri sepertinya pilihan yang baik buat 'diinfus'.
Seorang Ibu menunjukkan pengalamannya dengan tidak butuh setengah menit untuk memasang jarum. Jujur saja, saya tak berani melihat, biarkan saja sistem yang bekerja. Sekitar sepuluh menit berbaring, seorang mbak perawat mendekat.
"Masih lama lagi?", saya tanya
"Ini sudah selesai, mau dicabut", jawabnya
"Berapa banyak?"
"350"
Wah, 350 mL untuk donor perdana, hehe...
....
Kembali ke awal obrolan bersama ibu tadi. Saya bertanya juga pada teman ini, yang ternyata sudah membawa dua orang teman satu ruangan untuk donor juga kemarin. Jadi, demi kelancaran operasi tersebut yang membutuhkan tambahan darah, teman ini harus swalayan, mencari sendiri darah yang dibutuhkan. Begitupun dengan sang Ibu tadi. Menjadi bertanya-tanya, demikian tipis kah stok darah? Sehingga keluarga pasien harus mencari sendiri?
Semoga saja, ini bukan pengalaman saya yang pertama dan terakhir. Semoga saja saya tetap sehat sehingga darah saya aman buat didonorkan. Seperti kutipannya : Setetes darah Anda membawa kehidupan bagi sesama.
Lucy : A Female 'Limitless'
Bagaimana jika manusia, yang selama ini dibilang baru menggunakan 10% kemampuan otaknya, ternyata bisa menggunakan hingga 100%? Itulah tema utama dari film ini.
Lucy, bercerita tentang seorang perempuan biasa bernama Lucy (Scarlett 'ScarJo' Johansson) yang sedang kuliah di Taipei dan dalam sebuah kesempatan harus dengan terpaksa membawa sebuah koper kepada seorang mafia bernama Mr. Jang (Choi Min Sik) yang berisi sebuah narkotika jenis baru yang akan diedarkan ke Eropa. Bersama tiga orang lainnya, perut mereka dibedah dan diisi dengan narkotika berlabel CHP4 tersebut untuk diselundupkan ke Amerika, Italia, Jerman, dan Perancis.
Dalam sebuah sekapan sekelompok preman, Lucy dipukuli yang membuat kemasan narkotik tersebut bocor dan mengkontaminasi tubuhnya, membuatnya mampu meningkatkan kemampuan penguasaan terhadap otaknya sehingga ia bisa dengan segera menggunakan senjata, berkelahi, berbahasa Mandari, dan lain-lain. Dalam sebuah kecelakaan tersebut, ia tiba-tiba menjadi seperti super hero.
.....
Sebuah obat-obatan ternyata mampu meningkatkan kemampuan pemakainya secara signifikan? Bukan sesuatu yang baru sebenarnya. Dalam sebuah film, Limitless (2011) yang diperankan oleh Bradley Cooper juga telah digambarkan bagaimana hanya dengan mengkonsumsi obat tertentu, ia bisa dengan segera menjadi lebih cerdas, lebih kuat, dan lebih cepat. Lalu apa yang membuat Lucy menjadi berbeda?
Faktor utama tentu pada tokoh utama, Scarlett Johansson, yang memang telah menarik perhatian peminat film, terutama sejak perannya sebagai Black Widow dalam The Avengers semakin membuat kehadirannya semakin dinanti. Lagipula, tokoh utama perempuan sebagai jagoan, di luar genre young-adult seperti Hunger Games ataupun Divergent masih jarang.
Yang kedua adalah hipotesis mengenai kemampuan manusia yang baru menggunakan 10% kemampuan otaknya, dan kemungkinan yang akan timbul jika manusia bisa memaksimalkan semua potensi otak. Untuk memberikan gambaran pemahamannya, film ini menggunakan karakter Profesor Samuel Norman (Morgan Freeman) yang memberikan presentasi tentang otak manusia dalam sebuah kelas seminar.
Berbeda dengan Limitless, Lucy dilengkapi dengan tampilan visual mirip seperti film superhero terbitan Marvel atau lainnya, yang sayangnya justru kurang ditunjang dengan penceritaan yang kuat. Kehadiran sosok polisi Pierre del Rio (Amr Waked) sebagai partnernya untuk mencapai misi malah terkesan basa basi, mengingat dengan kemampuannya dalam telekinesis yang menandingi kehebatan Prof. Xavier dari X-Men, ia justru harus mengorbankan banyak polisi untuk menghadapi serbuan Mr. Jang dan anak buahnya.
...
'Aku tidak bisa merasakan sakit, tidak memiliki keinginan. Aku tidak merasa bahwa aku manusia' Dalam prosesnya mencapai 100% kemampuan otaknya sebagai manusia, ditunjang dengan kemampuan super yang luar biasa, Lucy justru merasa bahwa ia tidak menjadi manusia seperti adanya. Ketika ia bisa mengingat rasa saat ia bahkan masih bayi, ia justu tidak bisa benar-benar merasakan. Pertanyaannya, apakah memang dengan menguasai diri, dalam hal ini kemampuan otak, hingga 100%, membuat manusia benar-benar menjadi manusia. Seperti pertanyaan Lucy pada Prof. Norman, "Lalu apa tujuanku hidup?"
Ya, untuk apa kita hidup?
Lucy, bercerita tentang seorang perempuan biasa bernama Lucy (Scarlett 'ScarJo' Johansson) yang sedang kuliah di Taipei dan dalam sebuah kesempatan harus dengan terpaksa membawa sebuah koper kepada seorang mafia bernama Mr. Jang (Choi Min Sik) yang berisi sebuah narkotika jenis baru yang akan diedarkan ke Eropa. Bersama tiga orang lainnya, perut mereka dibedah dan diisi dengan narkotika berlabel CHP4 tersebut untuk diselundupkan ke Amerika, Italia, Jerman, dan Perancis.
Dalam sebuah sekapan sekelompok preman, Lucy dipukuli yang membuat kemasan narkotik tersebut bocor dan mengkontaminasi tubuhnya, membuatnya mampu meningkatkan kemampuan penguasaan terhadap otaknya sehingga ia bisa dengan segera menggunakan senjata, berkelahi, berbahasa Mandari, dan lain-lain. Dalam sebuah kecelakaan tersebut, ia tiba-tiba menjadi seperti super hero.
.....
Sebuah obat-obatan ternyata mampu meningkatkan kemampuan pemakainya secara signifikan? Bukan sesuatu yang baru sebenarnya. Dalam sebuah film, Limitless (2011) yang diperankan oleh Bradley Cooper juga telah digambarkan bagaimana hanya dengan mengkonsumsi obat tertentu, ia bisa dengan segera menjadi lebih cerdas, lebih kuat, dan lebih cepat. Lalu apa yang membuat Lucy menjadi berbeda?
Faktor utama tentu pada tokoh utama, Scarlett Johansson, yang memang telah menarik perhatian peminat film, terutama sejak perannya sebagai Black Widow dalam The Avengers semakin membuat kehadirannya semakin dinanti. Lagipula, tokoh utama perempuan sebagai jagoan, di luar genre young-adult seperti Hunger Games ataupun Divergent masih jarang.
Yang kedua adalah hipotesis mengenai kemampuan manusia yang baru menggunakan 10% kemampuan otaknya, dan kemungkinan yang akan timbul jika manusia bisa memaksimalkan semua potensi otak. Untuk memberikan gambaran pemahamannya, film ini menggunakan karakter Profesor Samuel Norman (Morgan Freeman) yang memberikan presentasi tentang otak manusia dalam sebuah kelas seminar.
Berbeda dengan Limitless, Lucy dilengkapi dengan tampilan visual mirip seperti film superhero terbitan Marvel atau lainnya, yang sayangnya justru kurang ditunjang dengan penceritaan yang kuat. Kehadiran sosok polisi Pierre del Rio (Amr Waked) sebagai partnernya untuk mencapai misi malah terkesan basa basi, mengingat dengan kemampuannya dalam telekinesis yang menandingi kehebatan Prof. Xavier dari X-Men, ia justru harus mengorbankan banyak polisi untuk menghadapi serbuan Mr. Jang dan anak buahnya.
...
'Aku tidak bisa merasakan sakit, tidak memiliki keinginan. Aku tidak merasa bahwa aku manusia' Dalam prosesnya mencapai 100% kemampuan otaknya sebagai manusia, ditunjang dengan kemampuan super yang luar biasa, Lucy justru merasa bahwa ia tidak menjadi manusia seperti adanya. Ketika ia bisa mengingat rasa saat ia bahkan masih bayi, ia justu tidak bisa benar-benar merasakan. Pertanyaannya, apakah memang dengan menguasai diri, dalam hal ini kemampuan otak, hingga 100%, membuat manusia benar-benar menjadi manusia. Seperti pertanyaan Lucy pada Prof. Norman, "Lalu apa tujuanku hidup?"
Ya, untuk apa kita hidup?
Subscribe to:
Posts (Atom)