Episod ke tiga dari film Cars hadir di tengah sepinya peredaran film superhero. Sebuah pilihan yang tepat, meski di sini, masih kalah saing dengan Annabelle : The Creation.
Setelah memukau dengan cerita sederhana pada film pertama yang justru menancapkan Cars sebagai film kebut kebutan favorit anak anak, lalu dibumbui kisah detektif dan agen rahasia pada bagian kedua. Kali ini di bagian ketiga, para pembuat film memberikan sesuatu yang baru yang boleh jadi akhir perjalanan Cars, setidaknya buat Lightning McQueen.
***
McQueen telah melampaui masa jayanya sebagai mobil balap bersama rekan/seterunya dalam beberapa puluh lintasan hingga suatu ketika sebuah mobil generasi baru bernama Jackson Storm muncul. Perlahan namun pasti Storm mulai mengambil alih posisi mengejar McQueen di puncak. Sesuatu yang sulit dipahami bagaimana seorang 'rookie' bisa dengan cepat maju sejauh itu.
Sebuah fakta hadir bahwa Storm bukanlah satu satunya. Setelah ia mulai muncullah mobil balap generasi terbaru, dengan teknologi terkini dan pelatihan yang canggih membuat mereka lebih efektif dan efisien dalam membalap. Dan, satu demi satu pula para pebalap generasi McQueen mundur dari lintasan,
McQueen yang tidak mau menyerah pada akhirnya memaksakan diri untuk terus membalap melawan Storm. Bahkan melawan batas kemampuan dirinya yang sayangnya tak mampu ia tanggung. Kecelakaan terjadi, dan McQueen pun rusak parah. Ia pun mundur kembali ke Radiator Spring.
Berusaha kembali ke lintasan, McQueen dibantu perusahaan Rusteeze yang baru, yang lebih canggih dan siap menghadapi balap kekinian. Dan McQueen didampingi sang pelatih, Cruz Ramirez, ia kembali ke metode latihan awal hingga membawanya ke pelatih Doc, sang legenda. Justru di saat latihan inilah McQueen mendapat sebuah pencerahan, tentang perjalanan karirnya sebagai pebalap, penyesalan terbesar Doc, sekaligus mimpi mimpinya.
***
Membawa misi mengembalikan Cars sebagai tontonan favorit bukanlah hal sulit karena McQueen sudah menjadi sosok yang ikonik. Menjadi persoalan ketika penonton semakin dewasa dan tuntutan cerita semakin serius. Namun hal ini bisa dilakukan dengan baik oleh para pembuatnya. Dengan membawa cerita pergantian sebuah generasi, hal yang memang sedang jamak terjadi, bagaimana generasi saat ini akan beralih dengan generasi berikutnya dengan segala kecanggihan dan pola pikir dan sikapnya.
Sejatinya arah cerita sudah bisa diterka saat masuk ke tengah bagian film, namun tentu bagaimana menentukan sebuah momen menjadi sebuah hal yang penting dan gampang diingat adalah yang utama. Dan ini yang layak ditunggu tunggu. Selebihnya, film ini adalah film animasi menghibur khas Disney-Pixar yang boleh ditonton bersama keluarga.
Ahmad Fajar Septian
Apa Yang Terlihat, Terdengar, dapat Terasa
Thursday, August 24, 2017
Thursday, June 22, 2017
Transformer : The Last Knight
Installment kelima Transformer hadir kembali ketika film ini dianggap sudah mencapai riwayatnya pada film terakhir. Sepertinya penggemar setia Robot pengubah bentuk ini masih menanti akan seperti apa film filmnya kemudian. Dan tidak ada yang mempu memuaskan kecuali dosis yang semakin meningkat dengan skala yang lebih masif lagi.
***
Mengambil tajuk The Las Knight, pada bagian ini penulis skenario membawa cerita mengenai King Arthur dan Ksatria Meja Bundar berikut Merlin SI Penyihir ke dalam saga pertempuran para robot alien. Dikisahkan para robot telah ada di tanah Inggris dan membantu Raja Arthur memenangi peperangan demi peperangan. Dan rahasia mereka dilindungi dengan sempurna oleh Ordo Witwiccan.
Salah satu rahasia penting adalah Tongkat Merlin. Sebuah tongkat sihir yang menjadi mitos ternyata adalah sebuah tongkat pembuka kunci dengan kekuatan tak terbatas dari Cybertron, planet para robot. Dan, tidak ada manusia yang mampu menggunakannya kecuali Merlin, atau keturunannya.
Di saat yang sama, robot alien yang terus berdatangan ke bumi telah semakin membuat manusia jenuh dan memilih untuk memerangi mereka, tak peduli apakah mereka Autobot atau Decepticon. Yaeger Cade (Mark Wahlberg) berada di tengah untuk melindungi dan menyembunyikan mereka, hingga salah satu robot menyerahkan sebuah talisman padanya. Yang membawanya pada takdir terbesar dalam perseteruan para robot.
Sementara, Optimus Prime melanglang kembali ke Cybertron untuk menemui pencipta mereka dan menghentikan agresi ke Bumi yang tak kunjung usai. Malang, alih alih mampu mengalahkan Sang Queentessa, ia justru menjadi budak dan harus mengambil Tombak Merlin agar Cybertron dapat pulih dari kehancuran. Dengan satu pengorbanan. Kehancuran dan kiamat untuk Bumi.
***
Mengambil premis cerita yang membawa pada sisi "legenda - sejarah" pada sebuah film memang selalu menarik. Apalagi dengan cerita sepopuler Raja Arthur. Belum lagi film ini beredar tak lama berselang dari King Arthur (yang sebenarnya). Memoles sebuah cerita yang sudah ada dengan "keterbaruan" memang selalu menjadi jagonya Hollywood, khususnya Transformer. Setelah melanglang buana ke Timur Tengah, menjelajah masa Jurasic, hingga sekarang menguak tabir misteri Stonehedge di Inggris, selalu mampu memancing rasa penasaran penonton.
Dengan tampilan kolosal sebuah pertempuran. ledakan yang lebih besar, pertarungan antar robot yang lebih jelas siapa melawan siapa, hingga koreografi dan style "sword fight" menggantikan banyaknya tembak menembak dibanding film terdahulu untuk semakin menegaskan unsur 'Knight' dari film ini, jelas menjadi nilai lebih dari sebuah ekspektasi akan installment. Belum lagi jajaran pendukung semakin ditambah dengan kehandalan Anthony Hopkins sebagai Edmun Burton, sang Witwiccan terakhir, seakan memberi jaminan bahwa film ini tak melulu soal ledakan dan tembakan. Humor dan dialog yang coba ditawarkan bahkan di tengah tengah ketegangan aksi juga menjadi nilai tambah kali ini.
Dengan segala kelebihan yang coba ditawarkan, sisi lemah serial ini masih saja sama. Adegan yang lompat sana sini dengan keterkaitan antar scene yang membingungkan, masih menjadi cacat utama. Beberapa ketidaklogisan alur juga masih mendominasi. Chemistry antara Cade dengan Vivian (Laura Haddock) sebgai keturunan Merlin terakhir juga sangat jauh. Humor yang diharapkan menjadi penghibur malah terkesan 'garing' dan mubazir. Dialog panjang dan bertele nyatanya tak membuat alur cerita semakin dimengerti, apalagi buat mereka yang tak memahami realm Transformer. Hingga akhirnya, dengan segala unsur yang ditawarkan, film ini memang cuma sebatas popcorn movie yang tinggal dinikmati apa adanya.
***
Cade telah kehilangan banyak hal. Sebagai seorang yang mengaku penemu, dia telah gagal karena nyatanya ia tidak mampu membuat banyak hal. Ditinggal mati istri sejak lama. Kemudian menjadi buronan pemerintah karena melindungi para robot (Autobot) membuatnya jauh dari anak gadisnya. Segala penderitaannya berujung kepada takdirnya untuk menjadi ksatria terakhir pelindung (pengampu) Tombak Merlin. Tak ada kemenangan tanpa pengorbanan. Dan premis itulah yang didorong sejak awal mula film ini. Tak mungkin ada kemenangan, kesuksesan, kejayaan, kecuali ada pengorbanan dalam perjalanan mencapainya.
***
Mengambil tajuk The Las Knight, pada bagian ini penulis skenario membawa cerita mengenai King Arthur dan Ksatria Meja Bundar berikut Merlin SI Penyihir ke dalam saga pertempuran para robot alien. Dikisahkan para robot telah ada di tanah Inggris dan membantu Raja Arthur memenangi peperangan demi peperangan. Dan rahasia mereka dilindungi dengan sempurna oleh Ordo Witwiccan.
Salah satu rahasia penting adalah Tongkat Merlin. Sebuah tongkat sihir yang menjadi mitos ternyata adalah sebuah tongkat pembuka kunci dengan kekuatan tak terbatas dari Cybertron, planet para robot. Dan, tidak ada manusia yang mampu menggunakannya kecuali Merlin, atau keturunannya.
Di saat yang sama, robot alien yang terus berdatangan ke bumi telah semakin membuat manusia jenuh dan memilih untuk memerangi mereka, tak peduli apakah mereka Autobot atau Decepticon. Yaeger Cade (Mark Wahlberg) berada di tengah untuk melindungi dan menyembunyikan mereka, hingga salah satu robot menyerahkan sebuah talisman padanya. Yang membawanya pada takdir terbesar dalam perseteruan para robot.
Sementara, Optimus Prime melanglang kembali ke Cybertron untuk menemui pencipta mereka dan menghentikan agresi ke Bumi yang tak kunjung usai. Malang, alih alih mampu mengalahkan Sang Queentessa, ia justru menjadi budak dan harus mengambil Tombak Merlin agar Cybertron dapat pulih dari kehancuran. Dengan satu pengorbanan. Kehancuran dan kiamat untuk Bumi.
***
Mengambil premis cerita yang membawa pada sisi "legenda - sejarah" pada sebuah film memang selalu menarik. Apalagi dengan cerita sepopuler Raja Arthur. Belum lagi film ini beredar tak lama berselang dari King Arthur (yang sebenarnya). Memoles sebuah cerita yang sudah ada dengan "keterbaruan" memang selalu menjadi jagonya Hollywood, khususnya Transformer. Setelah melanglang buana ke Timur Tengah, menjelajah masa Jurasic, hingga sekarang menguak tabir misteri Stonehedge di Inggris, selalu mampu memancing rasa penasaran penonton.
Dengan tampilan kolosal sebuah pertempuran. ledakan yang lebih besar, pertarungan antar robot yang lebih jelas siapa melawan siapa, hingga koreografi dan style "sword fight" menggantikan banyaknya tembak menembak dibanding film terdahulu untuk semakin menegaskan unsur 'Knight' dari film ini, jelas menjadi nilai lebih dari sebuah ekspektasi akan installment. Belum lagi jajaran pendukung semakin ditambah dengan kehandalan Anthony Hopkins sebagai Edmun Burton, sang Witwiccan terakhir, seakan memberi jaminan bahwa film ini tak melulu soal ledakan dan tembakan. Humor dan dialog yang coba ditawarkan bahkan di tengah tengah ketegangan aksi juga menjadi nilai tambah kali ini.
Dengan segala kelebihan yang coba ditawarkan, sisi lemah serial ini masih saja sama. Adegan yang lompat sana sini dengan keterkaitan antar scene yang membingungkan, masih menjadi cacat utama. Beberapa ketidaklogisan alur juga masih mendominasi. Chemistry antara Cade dengan Vivian (Laura Haddock) sebgai keturunan Merlin terakhir juga sangat jauh. Humor yang diharapkan menjadi penghibur malah terkesan 'garing' dan mubazir. Dialog panjang dan bertele nyatanya tak membuat alur cerita semakin dimengerti, apalagi buat mereka yang tak memahami realm Transformer. Hingga akhirnya, dengan segala unsur yang ditawarkan, film ini memang cuma sebatas popcorn movie yang tinggal dinikmati apa adanya.
***
Cade telah kehilangan banyak hal. Sebagai seorang yang mengaku penemu, dia telah gagal karena nyatanya ia tidak mampu membuat banyak hal. Ditinggal mati istri sejak lama. Kemudian menjadi buronan pemerintah karena melindungi para robot (Autobot) membuatnya jauh dari anak gadisnya. Segala penderitaannya berujung kepada takdirnya untuk menjadi ksatria terakhir pelindung (pengampu) Tombak Merlin. Tak ada kemenangan tanpa pengorbanan. Dan premis itulah yang didorong sejak awal mula film ini. Tak mungkin ada kemenangan, kesuksesan, kejayaan, kecuali ada pengorbanan dalam perjalanan mencapainya.
Labels:
arthur,
bumi,
cybertron,
england,
inggris,
kiamat,
king,
last knight,
merlin,
penyihir,
raja,
robot,
round table,
tombak,
transformer
Tuesday, March 7, 2017
Logan : Akhir Masa X-Men Terfavorit
Setelah lama digaungkan, installment X-Men/Wolverine kembali hadir di awal 2017. Mengusung konklusi sekaligus "menjernihkan" kebingungan lini masa cerita yang diderita banyak penonton non pembaca komik sejak munculnya X-Men Days of The Future, film ini digadang gadang sebagai persembahan trakhir Hugh Jackman dan Patrick Stewart sebagai Wolverine dan Prof. Xavier. Lalu, apakah film ini bisa memuaskan ekspektasi para pecinta serial ini?
---
Dikisahkan, pada tahun 2029, mutan sudah hampir punah dan beberapa tidak menunjukkan diri mereka lagi. Tersebut di dalamnya Logan yang menjalani profesi sebagai supir limo. Tinggal di perbatasan, Ia menyembunyikan Prof. Xavier yang menderita Alzheimer (?) ditemani Caliban, seorang pelacak mutan yang anti dengan sinar matahari.
Seorang wanita kemudian meminta Logan untuk mengantar dirinya dan seorang gadis kecil menuju perbatasan North Dakota demi menghindari pengejaran sebuah organisasi. Tidak ingin terlibat, Logan mengacuhkannya. Xavier berkeras bahwa ia harus menolong wanita itu. Dan masalah terbawa ke kediaman mereka. Diserbu para pasukan swasta, terungkap kemampuan gadis kecil yang persis seperti Logan. Sebuah 'firasat' yang telah digambarkan oleh Xavier sebelumnya. Dan dimulailah pelarian mereka.
---
Berbeda dengan berbagai film superhero sebelumnya, khususnya X-Men, film ini sangat sarat dengan cerita drama. Berat dan kelam, depresif, menghiasi sepanjang jalan cerita film berdurasi dua jam ini. Film ini bukan mengambil masa post apocalypse, sehingga keterpurukan Logan dan penuaan Xavier terasa sangat nyata. Sungguh miris rasanya melihat Xavier setua dan selemah itu. Bahkan keterpurukan Xavier versi McAvoy seolah ringan saja.
Film ini juga tidak direkomendasikan bagi anak anak atau orang tua membawa anaknya mengingat porsi laga yang cukup sadis dan vulgar. Lagi lagi tak sesuai dengan gambaran film Marvel/X Men pada umumnya. Porsi laga yang dibuat relatif natural tanpa efek CGI yang berlebihan menambah rasa 'nyata' dari film ini. Hanya koreo perkelahian yang meningkat dibanding serial Wolverine sebelumnya. Dan yang menarik tentu porsi aksi yang ditampilkan gadis mutan cilik, Laura, sebagai penggambaran Wolverine versi kecil. Buas, lincah, dan penuh insting.
---
Setiap orang punya mimpi untuk masa tuanya. Begitu juga Logan dan Xavier yang berharap memiliki kapal boat untuk mengasingkan diri. Harga yang memang harus diperjuangkan dengan susah payah hanya mengandalkan upahnya sebagai sopir. Mimpi yang dikorbankan ketika harapan akan adanya mutan, yang dikira sudah habis, justru muncul lagi dalam bentuk paling nyata. Seorang "anak" Wolverine.
Di tengah gambaran film MCU yang ceria meski bobotnya semakin berat, dan film fil anti hero yang semakin (di)kelam(kan), 'Logan' memberi porsi yang seimbang di antara keduanya. Cerita, drama, dan aksi yang pas membuat film ini tak hanya layak tonton, tapi juga layak koleksi.
---
Dikisahkan, pada tahun 2029, mutan sudah hampir punah dan beberapa tidak menunjukkan diri mereka lagi. Tersebut di dalamnya Logan yang menjalani profesi sebagai supir limo. Tinggal di perbatasan, Ia menyembunyikan Prof. Xavier yang menderita Alzheimer (?) ditemani Caliban, seorang pelacak mutan yang anti dengan sinar matahari.
Seorang wanita kemudian meminta Logan untuk mengantar dirinya dan seorang gadis kecil menuju perbatasan North Dakota demi menghindari pengejaran sebuah organisasi. Tidak ingin terlibat, Logan mengacuhkannya. Xavier berkeras bahwa ia harus menolong wanita itu. Dan masalah terbawa ke kediaman mereka. Diserbu para pasukan swasta, terungkap kemampuan gadis kecil yang persis seperti Logan. Sebuah 'firasat' yang telah digambarkan oleh Xavier sebelumnya. Dan dimulailah pelarian mereka.
---
Berbeda dengan berbagai film superhero sebelumnya, khususnya X-Men, film ini sangat sarat dengan cerita drama. Berat dan kelam, depresif, menghiasi sepanjang jalan cerita film berdurasi dua jam ini. Film ini bukan mengambil masa post apocalypse, sehingga keterpurukan Logan dan penuaan Xavier terasa sangat nyata. Sungguh miris rasanya melihat Xavier setua dan selemah itu. Bahkan keterpurukan Xavier versi McAvoy seolah ringan saja.
Film ini juga tidak direkomendasikan bagi anak anak atau orang tua membawa anaknya mengingat porsi laga yang cukup sadis dan vulgar. Lagi lagi tak sesuai dengan gambaran film Marvel/X Men pada umumnya. Porsi laga yang dibuat relatif natural tanpa efek CGI yang berlebihan menambah rasa 'nyata' dari film ini. Hanya koreo perkelahian yang meningkat dibanding serial Wolverine sebelumnya. Dan yang menarik tentu porsi aksi yang ditampilkan gadis mutan cilik, Laura, sebagai penggambaran Wolverine versi kecil. Buas, lincah, dan penuh insting.
---
Setiap orang punya mimpi untuk masa tuanya. Begitu juga Logan dan Xavier yang berharap memiliki kapal boat untuk mengasingkan diri. Harga yang memang harus diperjuangkan dengan susah payah hanya mengandalkan upahnya sebagai sopir. Mimpi yang dikorbankan ketika harapan akan adanya mutan, yang dikira sudah habis, justru muncul lagi dalam bentuk paling nyata. Seorang "anak" Wolverine.
Di tengah gambaran film MCU yang ceria meski bobotnya semakin berat, dan film fil anti hero yang semakin (di)kelam(kan), 'Logan' memberi porsi yang seimbang di antara keduanya. Cerita, drama, dan aksi yang pas membuat film ini tak hanya layak tonton, tapi juga layak koleksi.
Thursday, October 13, 2016
Inferno : (Semoga) Bukan Neraka Bagi Franchise Film Langdon
Setelah Da Vinci Code dan Angel & Demon, film ketiga tentang Robert Langdon pun diangkat. Kali ini adalah Inferno, buku yang paling akhir diterjemahkan dan beredar di Indonesia. Bagaimana Ron Howard mengadaptasinya kali ini?
----
Seperti dikisahkan pada bukunya, Langdon terbangun di sebuah Rumah Sakit dalam kondisi terluka tanpa memiliki ingatan bagaimana ia bisa tiba di sana. Dan seketika ia harus berhadapan dengan polisi yang tiba tiba menembakinya. Dibantu sang dokter, Sienna Brooks, ia pun melarikan diri. Di tengah pelariannya, ia mendapati sebuah petunjuk, petunjuk Faraday, yang berisi sketsa lukisan Boticelli. Lukisan yang menggambarkan neraka versi penyair kenamaan Italia, Dante. Menyadari ada petunjuk di dalam lukisan itu, Langdon, bersama Brooks, berkelana ke penjuru Italia hingga tiba di Istanbul untuk mengupas misteri mengerikan : pemusnahan umat manusia.
----
Mengangkat kisah dari novel Dan Brown, dibutuhkan kejelian yang sangat karena cerita cerita yang disusun memuat deskripsi yang sangat detil. Sebuah keunggulan bagi setiap novel karyanya. Pada sisi lain, kisah yang harus diangkat harus menghadirkan konflik sedemikian rupa agar dapat memenuhi durasi yang tepat. Ron Howard, setelah menangani dua film sebelumnya, seolah belajar dari pengalaman. Alih alih terjebak dalam deskripsi, katakanlah seperti Da Vinci Code, ia langsung masuk dalam kisah pelarian sekaligus pemecahan misterinya. Langdon dan Brooks dikisahkan langsung menuju kastil untuk mencari topeng Dante, langsung ke bagian pertengahan buku, juga dengan 'pace' yang cukup tinggi. Menghadirkan ketegangan yang instens. Satu sisi yang sangat beresiko.
Seperti disinggung sebelumnya, film ketiga Langdon kali ini justru sangat minim informasi deskripsi detil. Padahal jika membaca novelnya, dengan ditemani mesin pencari pada laptop atau gadget, kita akan dapat semakin menikmati keindahan detil dari lukisan neraka Boticelli/Dante. Atau topeng Dante, atau keindahan museum, dan lain lain. Sayang, pada film ini semuanya sepintas lalu saja. Kemistri di antara Langdon dan Brooks pun tak terjalin. Sobrist, sebagai antagonis, juga seolah sempalan. Belum lagi WHO sebagai lembaga kesehatan yang membuat kita bertanya tanya, "Apa yang dilakukan organisasi ini? Mengejar ngejar orang dengan senjata api?"
----
Ide Sobrist, mengenai manusia sebagai wabah bagi kehidupan, sejatinya bukanlah sesuatu yang baru, setidaknya dalam film. Penambahan populasi yang berlipat lipat dalam kurun waktu singkat, menghabiskan tak hanya ruang untuk tinggal namun juga sumber daya untuk penghidupan. Hingga yang terjadi adalah pemusnahan kehidupan yang lain. Meski terdengar ekstrem, "Apakah kita harus menderita sekarang dengan jutaan kematian, atau kemusnahan manusia dalam 100 tahun?", jelas menjadi tanda tanya menarik, Apa yang akan dilakukan umat manusia andai mereka tahu akan punah? Apakah berdiam diri? Atau justru melipatgandakan usaha pelestarian diri?
----
Seperti dikisahkan pada bukunya, Langdon terbangun di sebuah Rumah Sakit dalam kondisi terluka tanpa memiliki ingatan bagaimana ia bisa tiba di sana. Dan seketika ia harus berhadapan dengan polisi yang tiba tiba menembakinya. Dibantu sang dokter, Sienna Brooks, ia pun melarikan diri. Di tengah pelariannya, ia mendapati sebuah petunjuk, petunjuk Faraday, yang berisi sketsa lukisan Boticelli. Lukisan yang menggambarkan neraka versi penyair kenamaan Italia, Dante. Menyadari ada petunjuk di dalam lukisan itu, Langdon, bersama Brooks, berkelana ke penjuru Italia hingga tiba di Istanbul untuk mengupas misteri mengerikan : pemusnahan umat manusia.
----
Mengangkat kisah dari novel Dan Brown, dibutuhkan kejelian yang sangat karena cerita cerita yang disusun memuat deskripsi yang sangat detil. Sebuah keunggulan bagi setiap novel karyanya. Pada sisi lain, kisah yang harus diangkat harus menghadirkan konflik sedemikian rupa agar dapat memenuhi durasi yang tepat. Ron Howard, setelah menangani dua film sebelumnya, seolah belajar dari pengalaman. Alih alih terjebak dalam deskripsi, katakanlah seperti Da Vinci Code, ia langsung masuk dalam kisah pelarian sekaligus pemecahan misterinya. Langdon dan Brooks dikisahkan langsung menuju kastil untuk mencari topeng Dante, langsung ke bagian pertengahan buku, juga dengan 'pace' yang cukup tinggi. Menghadirkan ketegangan yang instens. Satu sisi yang sangat beresiko.
Seperti disinggung sebelumnya, film ketiga Langdon kali ini justru sangat minim informasi deskripsi detil. Padahal jika membaca novelnya, dengan ditemani mesin pencari pada laptop atau gadget, kita akan dapat semakin menikmati keindahan detil dari lukisan neraka Boticelli/Dante. Atau topeng Dante, atau keindahan museum, dan lain lain. Sayang, pada film ini semuanya sepintas lalu saja. Kemistri di antara Langdon dan Brooks pun tak terjalin. Sobrist, sebagai antagonis, juga seolah sempalan. Belum lagi WHO sebagai lembaga kesehatan yang membuat kita bertanya tanya, "Apa yang dilakukan organisasi ini? Mengejar ngejar orang dengan senjata api?"
----
Ide Sobrist, mengenai manusia sebagai wabah bagi kehidupan, sejatinya bukanlah sesuatu yang baru, setidaknya dalam film. Penambahan populasi yang berlipat lipat dalam kurun waktu singkat, menghabiskan tak hanya ruang untuk tinggal namun juga sumber daya untuk penghidupan. Hingga yang terjadi adalah pemusnahan kehidupan yang lain. Meski terdengar ekstrem, "Apakah kita harus menderita sekarang dengan jutaan kematian, atau kemusnahan manusia dalam 100 tahun?", jelas menjadi tanda tanya menarik, Apa yang akan dilakukan umat manusia andai mereka tahu akan punah? Apakah berdiam diri? Atau justru melipatgandakan usaha pelestarian diri?
Labels:
angel and demon,
boticelli,
da vinci code,
dan brown,
dante,
inferno,
langdon,
lukisan,
neraka,
syair
Tuesday, August 2, 2016
Jason Bourne : Saat Sang Agen Super Mulai Lelah
Setelah sepuluh tahun, Matt Damon kembali sebagai
Jason Bourne. Dengan kembali digawangi Paul Grengrass di kursi sutradara,
diharapkan saga Bourne kembali ke jalurnya setelah sempat 'flop' dengan Bourne
: Legacy.
------
Berkisah sepuluh tahun sejak ia menghilang dan
mengasingkan diri ke dunia bawah tanah, Bourne kembali masuk radar CIA ketika Nicky Paarson terungkap menyusup dalam informasi rahasia CIA dan berusaha
menjual dan membongkar informasi tersebut. Sejak program Threadstone hingga
yang terbaru Iron Hand. Bourne, di satu sisi, telah mengingat kembali siapa dia
sebenarnya sebagai seorang David Webb.
Usahanya menyelamatkan Nicky berujung pada sebuah fakta mengejutkan, ayahnya adalah otak di balik proyek Threadstone yang telah merekrut dan menjadikan dirinya mesin pembunuh yang efektif. Dengan ingatannya yang telah kembali, ia memburu mereka yang berada di belakang proyek tersebut. Namun usahanya kali ini tidak mudah.
Direktur CIA Robert Dewey (Tommy Lee Jones) bukanlah orang sembarangan. Ditunjang direktur analis kejahatan siber Heather Lee (Alicia Vikander), Bourne kali ini berhadapan dengan lawan dan medan tempur yang sama sekali baru. Bukan hanya soal kecanggihan teknologi CIA yang sudah sangat terkenal, tapi kemampuan analisa siber dan pemanfaatan media sosial membuat Bourne harus mengatur langkah dengan cermat.
-------
Setelah banyak yang dikecewakan (termasuk saya) akan hadirnya Bourne Ultimatum, kehadiran Jason Bourne 'asli' versi Matt Damon ini seharusnya bisa menyembuhkan kekecewaan tersebut. Dengan segala hormat kepada Ian Flemming dan James Bond-nya, Matt Damon dan Paul Greengrass telah menghadirkan spy movie ke level yang berbeda melalui Jason Bourne, sehingga wajar bagi saya untuk menyebut, tidak ada film agen mata mata terbaik selain Bounre, yang kali ini adalah film keempat yang dibintangi oleh Damon.
Masih dengan plot yang sama dengan film film sebelumnya, dengan musuh berupa para pejabat CIA dengan segala rahasianya, aset yang siap memburunya ke mana saja, dan agen baik yang membantunya. Sentuhan baru dan kekinian tak terlewatkan pada kesempatan kali ini. Upaya CIA dengan proyek Iron Hand yang melibatkan teknologi dan media sosial adalah bentuknya. Selain itu, Heather Lee sebagai kepala divisi siber juga menunjukkan bahwa dunia telah berubah sedemikian rupa. Semua update ini semakin membuat film ini mengikuti jamannya.
Sayangnya, jika memang harus dibandingkan, film keempat ini masih belum bisa menyamai level ketiga film sebelumnya. Damon jelas semakin menua, seolah sama dengan Liam Neeson di Taken 3 dan Tom Cruise pada Rogue Nation. Porsi aksi kali ini tidak intens lagi. Namun sinematografi dan naskah menyelamatkannya. Si cantik Julia Stiles pun seolah disia-siakan begitu juga, dengan porsi peran yang jsutru tak lebih banyak dibanding film sebelumnya. Sementara aset, yang biasanya bergerak sendiri, kali ini justru sangat terikat dengan perintah Dewey, yang seolah sangat yakin bertelepon ria di saluran aman. Heather Lee, pada sisi lain, banyak yang mempertanyakannya. Usia semuda itu namun menjadi orang kedua tertinggi di CIA?
------
Mengingat sesuatu, semua di masa lalu, tak serta merta membuat Bourne memahami apa yang telah terjadi. Ketika kematian sang ayah menjadi misteri baginya, jalan kembali adalah menelusuri masa lalu dan menerima semua kenyataan, sepahit apa pun.
Labels:
agen,
aset,
bourne,
CIA,
cyber,
jason,
masa lalu,
mata mata,
matt damon,
media sosial,
spy,
threadstone,
tommy lee jones
Tuesday, July 12, 2016
Legend Of Tarzan : Remake-Sekuel Yang (Seharusnya Bisa) Lebih Bagus
Tarzan, sebuah kisah yang melegenda tak lekang oleh masa kembali diangkat ke layar lebar dengan mengusung judul yang menegaskan statusnya : Legend. Tak hanya me-remake, film ini mencoba mengangkat satu sisi hidup seorang Tarzan setelah ia menjalani kehidupan dalam peradaban barat.
---
Tarzan (Alexander Skarsgard) atau dengan nama aslinya John Clayton III hidup bersama sang istri, Jane (Margot Robbie), di Inggris dengan tenang dan damai. Namun tak perlu lama kemudian tiba undangan dari King Leopold dari Belgia yang menguasai tanah Kongo di Afrika. Sementara pihak kerajaan Inggris berkepentingan terhadap kependudukan tersebut, Tarzan diminta untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat Kongo di bawah kendali kerajaan King Leopold tersebut. Semula menolak, George Washington Williams (Samuel L Jackson) membujuknya untuk tetap berangkat memenuhi undangan tersebut karena ia yakin ada sesuatu yang busuk yang harus ia ungkap pada dunia.
Sementara di Kongo, Leon Rom (Christoph Waltz) menjadi orang kepercayaan King Leopold dari Belgia untuk membangun pasukan dan mengeruk kekayaan di sana guna menutup kebangkrutan yang diderita negaranya. Menyewa 20 ribu bayaran membutuhkan dana yang tidak sedikit, dan Rom mengetahui bahwa terdapat berlian Opar yang mampu membayar semua kebutuhannya tersebut. Sayangnya berlian itu dikuasai oleh Mbonga (Djimon Honsou) yang menghendaki balas dendam terhadap Tarzan. Maka, diaturlah siasat oleh Rom agar Tarzan kembali ke tanah Afrika.
Kembali ke Afrika, bersama sang istri, Jane, dan ditemani George, Tarzan bertemu dengan masa lalunya, suku yang telah menerimanya sebagai manusia, dan keluarga keranya. Pertemuan yang berarti banyak karena kekacauan yang dibawa Rom mengancam kelangsungan hidup dengan perbudakan dan eksploitasi atas nama kemajuan dan peradaban. Sekali lagi, Tarzan sang Raja Rimba menunaikan tugasnya melindungi tanah Afrika dari tangan tangan serakah, sekaligus mempertahankan orang yang dicintainya.
---
Setelah sebelumnya penikmat film disuguhi kehidupan rimba oleh The Jungle Book, maka sulit untuk tidak membandingkan Legend of Tarzan ini dengan film tersebut. Film ini nyatanya tak kalah memanjakan mata dengan CGI yang wah untuk visualisasi hewan dan alam hutan yang hijau, dalam artian, sama seperti TJB, film ini tidak menggunakan satu hewan buas hidup pun. Dan lagi lagi, kita seolah tak mampu membedakan antara nyata dan efek spesial di sini. Benar benar spesial!
Kisah ceritanya sendiri memiliki premis yang menarik. Tak mengulang secara bulat kisah Tarzan sang anak terlantar yang diperlihara kawanan kera, film ini menceritakan bagaimana Tarzan hidup beberapa tahun setelah kepulangannya ke peradaban barat dan menjadi sensasi di sana. Namun sepertinya penulis skenario tak memiliki pilihan lain kecuali mengulang kembali kisah lama tersebut melalui jalinan kilas balik dan cerita yang berkembang menuju pengulangan.
Setelah ditopang efek CGI yang melimpah, adegan aksi seharusnya menjadi prioritas selanjutnya, yang sayangnya justru menjadi kelemahan. Beberapa adegan baku hantam seolah tak penting, dikemas seadanya dengan koreografi yang lemah, membuat kita bertanya tanya, sehebat dan sekuat apa sebenarnya sosok Tarzan yang melegenda ini? Tak terkecuali pertarungannya melawan Mangani, sang penguasa kera, seharusnya bisa menjadi lebih epic. Bagaimana kemampuannya sebagai Raja Rimba memimpin hewan buas juga hanya membuat penasaran tanpa kepuasan. Pada bagian ini, sangat wajar jika penonton mendapati kekecewaan.
---
Kembali ke 'akar', kembali ke tempat di mana tumbuh dan berkembang, Tarzan menemukan kembali jati dirinya. Bukan sebagai selebritis atau bintang pertunjukan, melainkan sebagai manusia. Sebagai Raja sekaligus pelindung bagi bangsanya.
---
Tarzan (Alexander Skarsgard) atau dengan nama aslinya John Clayton III hidup bersama sang istri, Jane (Margot Robbie), di Inggris dengan tenang dan damai. Namun tak perlu lama kemudian tiba undangan dari King Leopold dari Belgia yang menguasai tanah Kongo di Afrika. Sementara pihak kerajaan Inggris berkepentingan terhadap kependudukan tersebut, Tarzan diminta untuk melihat bagaimana kehidupan rakyat Kongo di bawah kendali kerajaan King Leopold tersebut. Semula menolak, George Washington Williams (Samuel L Jackson) membujuknya untuk tetap berangkat memenuhi undangan tersebut karena ia yakin ada sesuatu yang busuk yang harus ia ungkap pada dunia.
Sementara di Kongo, Leon Rom (Christoph Waltz) menjadi orang kepercayaan King Leopold dari Belgia untuk membangun pasukan dan mengeruk kekayaan di sana guna menutup kebangkrutan yang diderita negaranya. Menyewa 20 ribu bayaran membutuhkan dana yang tidak sedikit, dan Rom mengetahui bahwa terdapat berlian Opar yang mampu membayar semua kebutuhannya tersebut. Sayangnya berlian itu dikuasai oleh Mbonga (Djimon Honsou) yang menghendaki balas dendam terhadap Tarzan. Maka, diaturlah siasat oleh Rom agar Tarzan kembali ke tanah Afrika.
Kembali ke Afrika, bersama sang istri, Jane, dan ditemani George, Tarzan bertemu dengan masa lalunya, suku yang telah menerimanya sebagai manusia, dan keluarga keranya. Pertemuan yang berarti banyak karena kekacauan yang dibawa Rom mengancam kelangsungan hidup dengan perbudakan dan eksploitasi atas nama kemajuan dan peradaban. Sekali lagi, Tarzan sang Raja Rimba menunaikan tugasnya melindungi tanah Afrika dari tangan tangan serakah, sekaligus mempertahankan orang yang dicintainya.
---
Setelah sebelumnya penikmat film disuguhi kehidupan rimba oleh The Jungle Book, maka sulit untuk tidak membandingkan Legend of Tarzan ini dengan film tersebut. Film ini nyatanya tak kalah memanjakan mata dengan CGI yang wah untuk visualisasi hewan dan alam hutan yang hijau, dalam artian, sama seperti TJB, film ini tidak menggunakan satu hewan buas hidup pun. Dan lagi lagi, kita seolah tak mampu membedakan antara nyata dan efek spesial di sini. Benar benar spesial!
Kisah ceritanya sendiri memiliki premis yang menarik. Tak mengulang secara bulat kisah Tarzan sang anak terlantar yang diperlihara kawanan kera, film ini menceritakan bagaimana Tarzan hidup beberapa tahun setelah kepulangannya ke peradaban barat dan menjadi sensasi di sana. Namun sepertinya penulis skenario tak memiliki pilihan lain kecuali mengulang kembali kisah lama tersebut melalui jalinan kilas balik dan cerita yang berkembang menuju pengulangan.
Setelah ditopang efek CGI yang melimpah, adegan aksi seharusnya menjadi prioritas selanjutnya, yang sayangnya justru menjadi kelemahan. Beberapa adegan baku hantam seolah tak penting, dikemas seadanya dengan koreografi yang lemah, membuat kita bertanya tanya, sehebat dan sekuat apa sebenarnya sosok Tarzan yang melegenda ini? Tak terkecuali pertarungannya melawan Mangani, sang penguasa kera, seharusnya bisa menjadi lebih epic. Bagaimana kemampuannya sebagai Raja Rimba memimpin hewan buas juga hanya membuat penasaran tanpa kepuasan. Pada bagian ini, sangat wajar jika penonton mendapati kekecewaan.
---
Kembali ke 'akar', kembali ke tempat di mana tumbuh dan berkembang, Tarzan menemukan kembali jati dirinya. Bukan sebagai selebritis atau bintang pertunjukan, melainkan sebagai manusia. Sebagai Raja sekaligus pelindung bagi bangsanya.
Friday, June 24, 2016
Independence Day : Resurgence. Sekuel 'Nanggung' Berbujet Besar
Setelah dua puluh tahun, sekuel dari film legendaris The Independence Day (1996) akhirnya hadir ke layar lebar. Bertajuk Independence Day : Resurgence, film ini, seperti banyak disebutkan berbagai sumber, mengambil masa sama persis dengan kondisi nyata, yaitu dua puluh tahun setelah percobaan invasi alien pada Tahun 1996.
Setelah invasi tersebut, manusia bumi hidup bersatu dalam damai. Meski begitu, mereka sadar akan adanya ancaman dari luar angkasa, sehingga dengan memanfaatkan teknologi alien yang tertinggal, mereka memajukan teknologi umat manusia, khususnya militer dalam perlindungan diri. Pos pos penjagaan dibangun di orbit Saturnus dan Bulan. Di bulan inilah, terdapat Jake (Liam Hemsworth), pilot urakan namun dapat diandalkan oleh Direktur Levinson (Jeff Goldblum). Selain itu terdapat Dylan (Jessie T. Usher) yang merupakan anak dari Pilot Tempur Hiller (dahulu diperankan oleh Will Smith). Namun masa damai mereka tak berlangsung lebih lama. Ternyata sinyal pertolongan telah dikirimkan dari bumi ke markas para alien sebelum mereka dihancurkan. Dan pasukan yang lebih besar pun datang. Satu per satu pos penjagaan jatuh, dan mereka menggantungkan harapan pada satu pesawat alien asing yang diselamatkan oleh Levinsone.
***
Masih menggunakan premis yang sama, sebuah sekuel tentu harus menawarkan sesuatu yang lebih megah dan lebih besar. Dari jajaran bintang, nyaris tidak ada perubahan signifikan kecuali penambahan karakter yang lebih muda. Sementara dalam efek khusus tentu ada peningkatan dibandingkan dua puluh tahun lalu. Namun apakah itu cukup?
Jika menilik cerita, bisa dibilang jalannya sungguh membosankan. Terkecuali unsur nostalgia, sejatinya tidak ada yang benar benar baru di sini. Bahkan horor akan serangan alien pun tidak terasa. Seolah hanya numpang lewat saja. Padahal masif benar serangannya. Pesawat yang begitu besar justru tak ditopang oleh pasukan pesawat tempur yang meneror manusia. Seakan bola besar yang menunggu dihancurkan. Biaya 200 juta dolar katanya yang digunakan untuk film ini tak tergambar dari efek khusus yang ditampilkan. Kurang wah dan megah, kurang ramai, kurang memberikan kemewahan sinematik.
Independence Day identik dengan pidato mengagumkan dari Presiden Withmore (Bill Pullman). Dan, meski sutradara mencoba untuk memainkan lagi trik ini, mereka gagal. Bisa jadi memang orang yang sama tidak bisa memberikan impak yang sama. Sementara emosi justru gagal terbangun. Withmore dan sang putri adalah objek menarik bagaimana seharusnya sebuah hubungan emosional dibangun dalam jalinan cerita. Sayangnya dangkal dan garing. Pun begitu dengan sang putri dengan Jake, sebagai sepasang tunangan. Bahkan ketika Dylan harus kehilangan sang Ibu dalam serangan alien, hapus begitu saja.
***
Sekali lagi, Independence Day mencoba mengajak penonton untuk merenungkan betapa pentingnya nilai kemanusiaan. Perbedaan ras, negara antar bangsa, dan agama tak seharusnya menjadi pembeda. Apalagi ketika ada musuh yang sama yang mengancam kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
***
Sebagai sebuah tontonan. film ini cukup menarik, namun tak mampu mengungguli film pertama, kecuali dari teknologi yang digunakan saja. Tak perlu berharap terlalu banyak. Meski kreator filmnya optimis dengan memberikan kemungkinan munculnya sekuel kedua.
Setelah invasi tersebut, manusia bumi hidup bersatu dalam damai. Meski begitu, mereka sadar akan adanya ancaman dari luar angkasa, sehingga dengan memanfaatkan teknologi alien yang tertinggal, mereka memajukan teknologi umat manusia, khususnya militer dalam perlindungan diri. Pos pos penjagaan dibangun di orbit Saturnus dan Bulan. Di bulan inilah, terdapat Jake (Liam Hemsworth), pilot urakan namun dapat diandalkan oleh Direktur Levinson (Jeff Goldblum). Selain itu terdapat Dylan (Jessie T. Usher) yang merupakan anak dari Pilot Tempur Hiller (dahulu diperankan oleh Will Smith). Namun masa damai mereka tak berlangsung lebih lama. Ternyata sinyal pertolongan telah dikirimkan dari bumi ke markas para alien sebelum mereka dihancurkan. Dan pasukan yang lebih besar pun datang. Satu per satu pos penjagaan jatuh, dan mereka menggantungkan harapan pada satu pesawat alien asing yang diselamatkan oleh Levinsone.
***
Masih menggunakan premis yang sama, sebuah sekuel tentu harus menawarkan sesuatu yang lebih megah dan lebih besar. Dari jajaran bintang, nyaris tidak ada perubahan signifikan kecuali penambahan karakter yang lebih muda. Sementara dalam efek khusus tentu ada peningkatan dibandingkan dua puluh tahun lalu. Namun apakah itu cukup?
Jika menilik cerita, bisa dibilang jalannya sungguh membosankan. Terkecuali unsur nostalgia, sejatinya tidak ada yang benar benar baru di sini. Bahkan horor akan serangan alien pun tidak terasa. Seolah hanya numpang lewat saja. Padahal masif benar serangannya. Pesawat yang begitu besar justru tak ditopang oleh pasukan pesawat tempur yang meneror manusia. Seakan bola besar yang menunggu dihancurkan. Biaya 200 juta dolar katanya yang digunakan untuk film ini tak tergambar dari efek khusus yang ditampilkan. Kurang wah dan megah, kurang ramai, kurang memberikan kemewahan sinematik.
Independence Day identik dengan pidato mengagumkan dari Presiden Withmore (Bill Pullman). Dan, meski sutradara mencoba untuk memainkan lagi trik ini, mereka gagal. Bisa jadi memang orang yang sama tidak bisa memberikan impak yang sama. Sementara emosi justru gagal terbangun. Withmore dan sang putri adalah objek menarik bagaimana seharusnya sebuah hubungan emosional dibangun dalam jalinan cerita. Sayangnya dangkal dan garing. Pun begitu dengan sang putri dengan Jake, sebagai sepasang tunangan. Bahkan ketika Dylan harus kehilangan sang Ibu dalam serangan alien, hapus begitu saja.
***
Sekali lagi, Independence Day mencoba mengajak penonton untuk merenungkan betapa pentingnya nilai kemanusiaan. Perbedaan ras, negara antar bangsa, dan agama tak seharusnya menjadi pembeda. Apalagi ketika ada musuh yang sama yang mengancam kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
***
Sebagai sebuah tontonan. film ini cukup menarik, namun tak mampu mengungguli film pertama, kecuali dari teknologi yang digunakan saja. Tak perlu berharap terlalu banyak. Meski kreator filmnya optimis dengan memberikan kemungkinan munculnya sekuel kedua.
Labels:
alien,
bumi,
independence day,
invasi,
jeff goldblum,
kemanusiaan,
kiamat,
teknologi
Thursday, June 9, 2016
Now You See Me 2 : Selalu Ada Sesuatu Di Balik Yang Terlihat
Setelah menyaksikan Now You See Me pada tahun 2013 lalu, apakah Anda cukup puas dengan konklusi filmnya? Masihkah Anda merasa ada hal hal penting yang belum diceritakan? Atau Anda termasuk yang berpikir, "Oke, sudah baik seperti ini saja". Jika Anda termasuk yang menginginkan lebih dari kisah Atlas dkk, maka tahun ini rasa penasaran Anda akan terpuaskan.
---
Dikisahkan, berjarak satu setengah tahun sejak mereka menghilang selepas aksi terakhirnya, The Four Horsemen masih menjadi buronan FBI sehingga harus bergerak di diam diam. Atlas, dalam hal ini, mulai tidak sabar untuk segera tampil. Namun Dylan mendesak mereka untuk tetap sabar menunggu perintah The Eye selanjutnya. Dan perintah itu akhirnya tiba.
Sebuah perusahaan teknologi komunikasi bernama Octa disinyalir hendak menjual data pribadi pengguna jasa mereka pada pihak luar. The Eye memerintahkan para Horsemen untuk memboikot acara peluncuran program terbaru sekaligus mengungkap modus kejahatan Octa dan pemiliknya, Owen Case. Menggenapi anggota keempat, hadir Lula menggantikan Henley. Sementara FBI masih terus memburu mereka. Namun apa yang bisa dilakukan FBI jika agen terdepan mereka, Dylan Rhodes, adalah justru penghubung antara The Eye dan Horsemen? Sementara, Thadeus Bradley telah mengeluarkan ancamannya dari dalam penjara untuk membalasa perlakuan Dylan dkk.
Seketika, saat mereka memboikot acara Octa, justru mereka diboikot balik dan diculik oleh Walter Mabry, mantan rekanan Case yang juga pendiri Octa, yang diklaim telah mati setahun sebelumnya. Walter menginginkan Chip yang dimiliki Octa untuk keuntungan dirinya dan ia menyuruh Horsemen mengambil chip tersebut. Maka para Horsemen dihadapkan pada situasi harus mencuri kembali untuk kepentingan orang yang lebih jahat. Namun apa motif Walter sebenarnya? Lalu apa hubungannya dengan Dylan dan Thadeus?
---
Setelah penyajian yang menawan akan dunia sulap yang berbeda dibandingkan The Prestige dan The Illusionist yang cenderung kelam dan kejam, kali ini sebuah sekuel dihadirkan. Harapan dari sebuah sekuel tentu lah lebih baik, entah lebih besar, lebih mewah, lebih banyak aksi, dll. Pilihan jatuh pada lebih banyak lagi karakter yang dominan bermain di sini.
Lawan berat kali ini tidak berada pada pundak Bradley, yang perannya dalam kisah kali ini masih misterius, apakah berpihak pada Horsemen atau memang hendak menjatuhkan mereka. Sementara Mark Ruffalo sepertinya sudah kehilangan kharismanya, baik sebagai Dylan agen FBI yang cerdas maupun Shrike pemimpin Horsemen. Sejujurnya, semua karakter tersebut tereduksi yang bisa jadi akibat harus memberikan porsi yang lebih besar. Salah satunya tentu Daniel Radcliffe yang berperan sebagai Walter, jenius teknologi namun juga berperilaku menyimpang. Belum lagi kehadiran Jay Chou sebagai penjaga toko alat sulap yang patut dinanti peran dan kemampuannya.
Menyajikan trik dan permainan muslihat lebih besar dari film awal adalah sebuah tantangan. Sayang, bagi mereka yang berharap serupa (termasuk saya), bisa jadi kekecewaan yang muncul. Efek kejutan seolah sudah terantisipasi meski kita tetap bertanya tanya, "Bagaimana cara melakukannya?". Yang menarik adalah semua keraguan dan pertanyaan tersebut seolah sudah dijawab dari dialog dialog cerdas yang dibangun para karakter. Sayang memang, seolah pembuat film tau pikiran penonton, namun kurang lugas dalam mengeksekusi.
Hal positif dalam sekuel kali ini tentu kehadiran Lizzy Chaplan sebagai pesulap keempat yang justru menarik perhatian dengan karakter uniknya. Mckinney mendapati lawan sepadan. Kekocakan yang dibuatnya masih mengundang tawa. Sebaliknya, seperti diulas diatas, Ruffalo dan Eisenberg malah meredup. Tidak dalam artian mengurangi pesona persona mereka, tentu saja.
Sebagai sebuah film dengan paket hiburan yang kental namun juga memancing untuk berpikir, film ini layak tonton. Lebih wah, namun tak jauh lebih baik daripada film pertamanya.
---
Selalu ada sesuatu di balik yang terlihat di permukaan.
Sebuah nasihat sekaligus pelajaran terutama bagi Dylan, dan semua pesulap, bahwa terdapat trik di balik trik, dan harus senantiasa ada rencana cadangan. Faktanya, banyak hal memang dalam hidup yang tak seperti yang terlihat. Pertunjukan sulap yang menipu mata adalah hasil kreasi latihan berulang selama bertahun tahun, kadang bertemu kecanggihan sains, yang sayangnya tak pernah kita hargai prosesnya. Jika kita merasa telah tau sesuatu, semua hal, maka sadarilah, belum semua hal kita tau.
---
Dikisahkan, berjarak satu setengah tahun sejak mereka menghilang selepas aksi terakhirnya, The Four Horsemen masih menjadi buronan FBI sehingga harus bergerak di diam diam. Atlas, dalam hal ini, mulai tidak sabar untuk segera tampil. Namun Dylan mendesak mereka untuk tetap sabar menunggu perintah The Eye selanjutnya. Dan perintah itu akhirnya tiba.
Sebuah perusahaan teknologi komunikasi bernama Octa disinyalir hendak menjual data pribadi pengguna jasa mereka pada pihak luar. The Eye memerintahkan para Horsemen untuk memboikot acara peluncuran program terbaru sekaligus mengungkap modus kejahatan Octa dan pemiliknya, Owen Case. Menggenapi anggota keempat, hadir Lula menggantikan Henley. Sementara FBI masih terus memburu mereka. Namun apa yang bisa dilakukan FBI jika agen terdepan mereka, Dylan Rhodes, adalah justru penghubung antara The Eye dan Horsemen? Sementara, Thadeus Bradley telah mengeluarkan ancamannya dari dalam penjara untuk membalasa perlakuan Dylan dkk.
Seketika, saat mereka memboikot acara Octa, justru mereka diboikot balik dan diculik oleh Walter Mabry, mantan rekanan Case yang juga pendiri Octa, yang diklaim telah mati setahun sebelumnya. Walter menginginkan Chip yang dimiliki Octa untuk keuntungan dirinya dan ia menyuruh Horsemen mengambil chip tersebut. Maka para Horsemen dihadapkan pada situasi harus mencuri kembali untuk kepentingan orang yang lebih jahat. Namun apa motif Walter sebenarnya? Lalu apa hubungannya dengan Dylan dan Thadeus?
---
Setelah penyajian yang menawan akan dunia sulap yang berbeda dibandingkan The Prestige dan The Illusionist yang cenderung kelam dan kejam, kali ini sebuah sekuel dihadirkan. Harapan dari sebuah sekuel tentu lah lebih baik, entah lebih besar, lebih mewah, lebih banyak aksi, dll. Pilihan jatuh pada lebih banyak lagi karakter yang dominan bermain di sini.
Lawan berat kali ini tidak berada pada pundak Bradley, yang perannya dalam kisah kali ini masih misterius, apakah berpihak pada Horsemen atau memang hendak menjatuhkan mereka. Sementara Mark Ruffalo sepertinya sudah kehilangan kharismanya, baik sebagai Dylan agen FBI yang cerdas maupun Shrike pemimpin Horsemen. Sejujurnya, semua karakter tersebut tereduksi yang bisa jadi akibat harus memberikan porsi yang lebih besar. Salah satunya tentu Daniel Radcliffe yang berperan sebagai Walter, jenius teknologi namun juga berperilaku menyimpang. Belum lagi kehadiran Jay Chou sebagai penjaga toko alat sulap yang patut dinanti peran dan kemampuannya.
Menyajikan trik dan permainan muslihat lebih besar dari film awal adalah sebuah tantangan. Sayang, bagi mereka yang berharap serupa (termasuk saya), bisa jadi kekecewaan yang muncul. Efek kejutan seolah sudah terantisipasi meski kita tetap bertanya tanya, "Bagaimana cara melakukannya?". Yang menarik adalah semua keraguan dan pertanyaan tersebut seolah sudah dijawab dari dialog dialog cerdas yang dibangun para karakter. Sayang memang, seolah pembuat film tau pikiran penonton, namun kurang lugas dalam mengeksekusi.
Hal positif dalam sekuel kali ini tentu kehadiran Lizzy Chaplan sebagai pesulap keempat yang justru menarik perhatian dengan karakter uniknya. Mckinney mendapati lawan sepadan. Kekocakan yang dibuatnya masih mengundang tawa. Sebaliknya, seperti diulas diatas, Ruffalo dan Eisenberg malah meredup. Tidak dalam artian mengurangi pesona persona mereka, tentu saja.
Sebagai sebuah film dengan paket hiburan yang kental namun juga memancing untuk berpikir, film ini layak tonton. Lebih wah, namun tak jauh lebih baik daripada film pertamanya.
---
Selalu ada sesuatu di balik yang terlihat di permukaan.
Sebuah nasihat sekaligus pelajaran terutama bagi Dylan, dan semua pesulap, bahwa terdapat trik di balik trik, dan harus senantiasa ada rencana cadangan. Faktanya, banyak hal memang dalam hidup yang tak seperti yang terlihat. Pertunjukan sulap yang menipu mata adalah hasil kreasi latihan berulang selama bertahun tahun, kadang bertemu kecanggihan sains, yang sayangnya tak pernah kita hargai prosesnya. Jika kita merasa telah tau sesuatu, semua hal, maka sadarilah, belum semua hal kita tau.
Tuesday, May 24, 2016
Self/Less : Dirimu Bukanlah Milikmu
Betapa pun hebatnya seseorang. Walau ia berada di puncak dunia, pada akhirnya ia tak mampu melawan kenyataan. Tubuhnya memiliki batasan dan akan mati. Lalu bagaimana jika ada orang yang bisa menyediakan sarana untuk melawan kematian tersebut? Berapa harga yang harus dibayar untuk itu?
Damian Hall (Ben Kingsley) adalah seorang pengusaha dengan keberhasilan luar biasa. Terbaik dan terhebat. Meski begitu, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia mengidap kanker. Usianya bahkan tak lebih dari enam bulan lagi. Sementara, ia masih memiliki persoalan yang belum terselesaikan dengan putri satu-satunya, Claire.
Di tengah keputusasaannya, ia ditawarkan seorang peneliti bernama Albright (Matthew Goode) sebuah solusi medis yang masih sangat rahasia. Sebuah teknik "shedding", yaitu memindahkan kesadarannya pada tubuh orang lain, yang lebih sehat dan kuat. Membayar mahal untuk itu, Damian menerima tawaran dan memulai proses pemindahannya. Setelah proses rehabilitasi yang demikian panjang, Ia akhirnya kembali ke dunia nyata untuk hidup sebagai Edward Skinner (Ryan Reynolds). Berkewajiban meminum pil tertentu setiap periodik, ia akhirnya terlupa dan memberikan efek luar biasa. Mimpi buruk yang teramat nyata.
Menelusuri mimpi, Damian mendapati bahwa sebenarnya adalah ingatan yang tersisa dari tubuh orang yang ia gunakan saat ini. Maka ia, melompati semua prosedur pengobatan, berbalik melawan Albright, untuk mencari fakta akan siapa sesungguhnya Edward ini.
---
Melawan kematian dan menuju kebadian bisa jadi impian banyak orang. Tema ini pun maka sangat menarik untuk selalu diangkat dan diulang dalam berbagai film. Mengedepankan dunia medis dan teknologi yang maju, keabadian ditawarkan dengan menggunakan tubuh orang lain yang telah didonorkan kepada pengguna. Hanya dengan memindahkan ingatan dan kesadaran pengguna saja. Simpel.
Film ini, dengan tema yang sangat menjanjikan, sayangnya gagal di banyak lini. Teknik shedding yang dilakukan seolah hanya MRI Scan belaka, tak ada singgungan akan kecanggihan dan teknologi apa pun. Seolah hanya dengan menjentikkan jari dan "voila!", semua terjadi. Pergulatan etis, yang awalnya seolah hendak diangkat melalui pertanyaan Albright, "Kau mengajukan pertanyaan yang salah", pun memudar begitu saja. Motif Albright masih samar, apakah keuntungan finansial, idealisme, atau lain lain. Begitu juga dengan Skinner, yang dalam penglihatan Damian telibat dalam peperangan. Mengapa ia terpilih? Acak kah? Kebetulan kah jika ia memiliki kemampuan taktis militer? Yang sayangnya menjatuhkan film ini dalam kisah action standar. Tembak menembak dan selesai.
---
Pada akhirnya, Damian sadar ia harus mengembalikan apa yang bukan menjadi miliknya, dan memberikan kepada orang lain apa yang sudah menjadi hak mereka. Mengembalikan Edward kepada keluarganya. Memberikan kepada putrinya, Claire, apa yang tak pernah ia sampaikan secara langsung semasa hidupnya. Dan secara etis menghadapi fakta, ia tak bisa hidup abadi tanpa mengambil kehidupan orang lain. Dan, bukankah kita semua begitu?
Labels:
abadi,
ben kingley,
hidup,
kanker,
kesadaran,
mati,
perpindahan,
ryan reynold,
shedding,
slef less
Monday, May 16, 2016
Solace (2015) : Memahami Masa Lalu dengan Melihat Masa Depan
Seorang agen FBI sekaligus doktor dan juga paranormal dalam satu karakter? Bisa jadi ini premis yang menarik. Dan memang, trailernya saja sungguh menggoda. Belum lagi aktor utamanya adalah Anthony Hopkins dan Colin Farrell. Bagaimana hasilnya?
---
Anthony Hopkins berperan sebagai John Clancy, seorang agen FBI yang mengundurkan diri dan memilih menyepi setelah dirundung kesedihan mendalam akibat kematian putrinya karena leukimia. Di saat bersamaan, Joe (Jeffrey Dean Morgan), sahabatnya yang juga agen FBI sedang menghadapi kasus yang pelik. Sebuah pembunuhan serial yang rapi dan misterius. Ditemani mitranya, dr. Cowles (Abbie Cornish), mereka berdua memaksa John untuk kembali ke lapangan, mencari hal hal yang terlewat dari perhatian mereka. Ini berkat kemampuan John untuk 'melihat' masa lalu dan mendatang sekaligus. Sesuatu yang awalnya dengan skeptis dihadapi Cowles.
Kasus pembunuhan serial ini juga membangkitkan ingatan John akan kematian putrinya yang sudah lama. Bersamaan dengan itu, sang pembunuh, Charles (Colin Farrell), ternyata memiliki kemampuan paranormal yang sama dengan John, bahkan lebih baik lagi. Motifnya yang unik dan misterius membuatnya selalu berada beberapa langkah di depan FBI yang mengincarnya. Pengejaran yang John lakukan yang membawanya kepada fakta sebenarnya akan kematian sang putri.
---
Berperan sebagai agen FBI dengan kemampuan paranormal yang mampu melihat masa depan, Hopkins mengulang peran karakternya sebagai dr. Hannibal Lecter dengan sempurna. Kesan çreepy' masih terasa meski di sini dalam posisi protagonis. Mungkin tak terbayangkan bagaimana ia, dengan usia setua itu, akan beradu aksi dengan Colin Farrel. Tenang, karena memang tak ada. Bukan aksi kebut-kebutan, berkelahi, atau pun tembak-tembakan yang menjadi menu utama film ini. Meski darah tetap saja tumpah. Peran seolah fotokopi ini, meski bagus, justru seolah menghilangkan nyawa dari film ini sendiri. Silence of The Lambs wannabe, mungkin? Ditimpali dengan Abbie Cornish sebagai dr. Cowles yang sebelas dua belas dengan det. Starlingnya Jodie Foster. Selesai sudah.
Tema cerita sendiri sungguhlah menarik. Sayang, sinematografinya, yang berusaha menampilkan 'penampakan' dari John, justru mengganggu. Serial tv Hannibal bahkan lebih baik dalam menggambarkan sebuah 'penglihatan'. Padalah semua yang ditampilkan dalam penglihatan tersebut dibutuhkan dalam bangunan cerita secara keseluruhan. Termasuk teka teki akan kematian putri John. Apakah itu sebuah teka-teki yang coba dihadirkan pada penonton, atau memang hanya serangkaian alur cerita saja? Meski memang, twist yang dihadirkan cukup memberikan kejutan, ketika penonton seperti saya sudah kepalang mencoba menebak maksudnya.
---
Kehilangan putri satu-satunya yang begitu ia sayangi dengan cara yang tragis, berpisah dengan istri tercinta karenanya, membuat hidup John Clancy lebih sepi dari sunyi. Tanya dan simpati dari orang sekitar tak lebih menghibur, meski masih juga meninggalkan luka dan misteri. Dan, John harus menghadapi kenyataan jika setiap korban Charles adalah mereka yang sedang sekarat, putus asa dalam hidupnya, kesakitan dalam kenyataannya. Dilema John, sebagai penegak hukum sekaligus sebagai ayah, dihadirkan dengan apik di sini. Bagaimana ia memutuskan dilemanya, menjadi konklusi film ini. Termasuk kematian sang anak.
---
"Aku memberikan mereka kematian yang cepat. Meringankan mereka dari sakit dan sekarat". Charles, meski memberikan kematian bagi mereka yang merasa membutuhkan, tetap menolak tudingan John bahwa ia sedang "playing God". Dan bahkan dalam titik etis sekali pun, seseorang dengan wewenang penuh, terkadang terdorong kuasa yang ia miliki untuk bermain-main sebagai tuhan. Mungkin kita salah satunya.
Sebagai sebuah tontonan, dengan premis yang menarik, film ini bisa menjadi pilihan di kala senggang anda. Tentu dengan catatan, anda tak perlu memberi harapan tinggi.
---
Anthony Hopkins berperan sebagai John Clancy, seorang agen FBI yang mengundurkan diri dan memilih menyepi setelah dirundung kesedihan mendalam akibat kematian putrinya karena leukimia. Di saat bersamaan, Joe (Jeffrey Dean Morgan), sahabatnya yang juga agen FBI sedang menghadapi kasus yang pelik. Sebuah pembunuhan serial yang rapi dan misterius. Ditemani mitranya, dr. Cowles (Abbie Cornish), mereka berdua memaksa John untuk kembali ke lapangan, mencari hal hal yang terlewat dari perhatian mereka. Ini berkat kemampuan John untuk 'melihat' masa lalu dan mendatang sekaligus. Sesuatu yang awalnya dengan skeptis dihadapi Cowles.
Kasus pembunuhan serial ini juga membangkitkan ingatan John akan kematian putrinya yang sudah lama. Bersamaan dengan itu, sang pembunuh, Charles (Colin Farrell), ternyata memiliki kemampuan paranormal yang sama dengan John, bahkan lebih baik lagi. Motifnya yang unik dan misterius membuatnya selalu berada beberapa langkah di depan FBI yang mengincarnya. Pengejaran yang John lakukan yang membawanya kepada fakta sebenarnya akan kematian sang putri.
---
Berperan sebagai agen FBI dengan kemampuan paranormal yang mampu melihat masa depan, Hopkins mengulang peran karakternya sebagai dr. Hannibal Lecter dengan sempurna. Kesan çreepy' masih terasa meski di sini dalam posisi protagonis. Mungkin tak terbayangkan bagaimana ia, dengan usia setua itu, akan beradu aksi dengan Colin Farrel. Tenang, karena memang tak ada. Bukan aksi kebut-kebutan, berkelahi, atau pun tembak-tembakan yang menjadi menu utama film ini. Meski darah tetap saja tumpah. Peran seolah fotokopi ini, meski bagus, justru seolah menghilangkan nyawa dari film ini sendiri. Silence of The Lambs wannabe, mungkin? Ditimpali dengan Abbie Cornish sebagai dr. Cowles yang sebelas dua belas dengan det. Starlingnya Jodie Foster. Selesai sudah.
Tema cerita sendiri sungguhlah menarik. Sayang, sinematografinya, yang berusaha menampilkan 'penampakan' dari John, justru mengganggu. Serial tv Hannibal bahkan lebih baik dalam menggambarkan sebuah 'penglihatan'. Padalah semua yang ditampilkan dalam penglihatan tersebut dibutuhkan dalam bangunan cerita secara keseluruhan. Termasuk teka teki akan kematian putri John. Apakah itu sebuah teka-teki yang coba dihadirkan pada penonton, atau memang hanya serangkaian alur cerita saja? Meski memang, twist yang dihadirkan cukup memberikan kejutan, ketika penonton seperti saya sudah kepalang mencoba menebak maksudnya.
---
Kehilangan putri satu-satunya yang begitu ia sayangi dengan cara yang tragis, berpisah dengan istri tercinta karenanya, membuat hidup John Clancy lebih sepi dari sunyi. Tanya dan simpati dari orang sekitar tak lebih menghibur, meski masih juga meninggalkan luka dan misteri. Dan, John harus menghadapi kenyataan jika setiap korban Charles adalah mereka yang sedang sekarat, putus asa dalam hidupnya, kesakitan dalam kenyataannya. Dilema John, sebagai penegak hukum sekaligus sebagai ayah, dihadirkan dengan apik di sini. Bagaimana ia memutuskan dilemanya, menjadi konklusi film ini. Termasuk kematian sang anak.
---
"Aku memberikan mereka kematian yang cepat. Meringankan mereka dari sakit dan sekarat". Charles, meski memberikan kematian bagi mereka yang merasa membutuhkan, tetap menolak tudingan John bahwa ia sedang "playing God". Dan bahkan dalam titik etis sekali pun, seseorang dengan wewenang penuh, terkadang terdorong kuasa yang ia miliki untuk bermain-main sebagai tuhan. Mungkin kita salah satunya.
Sebagai sebuah tontonan, dengan premis yang menarik, film ini bisa menjadi pilihan di kala senggang anda. Tentu dengan catatan, anda tak perlu memberi harapan tinggi.
Labels:
Anthony Hopkins,
Colin Farrell,
Hannibal,
kanker,
paranormal,
penglihatan,
Psychic,
sakit,
sekarat.,
Silence of The Lambs,
Solace,
visi,
vision
Subscribe to:
Posts (Atom)